pendidikan multikultur
Tuesday, 17 September 2013
Add Comment
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Masyarakat Multikultur. Dengan selesainya makalah ini, kami ucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunannya terutama kepada:
1. Nur Hidayah, M.Si selaku dosen mata kuliah Masyarakat Multikultur
2. Teman-teman dan semua pihak yang
telah membantu di dalam proses penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah
yang ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharap kritik dan
saran yang membangun.
Yogyakarta,
September 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keragaman budaya
dalam satu komunitas merupakan modal pemberdayaan, terutama dalam proses
pendidikan. Meski demikian sekolah belum dilihat sebagai institusi budaya dan
sebagai ajang interaksi antaranggota masyarakat. Padahal sekolah dapat
berfungsi menjadi tempat bertemunya berbagai kepentingan kelembagaan, seperti
keluarga, manajemen birokrasi pendidikan dan pasar kerja. Pergumulan berbagai
lembaga ini akan memberi warna terhadap pemecahan masalah fungsional dalam
pendidikan yang dihadapi masyarakatnya.
Pada zaman
pemerintah kolonial Belanda sekalipun Indonesia memiliki beragam suku dan
kepentingan namun pemerintah tidak melakukan tugas untuk mengubah gaya hidup
yang ada. Pendidikan di Indonesia sejak awal tidak digunakan sebagai sarana
mendorong integrasi dalam masyarakat, tetapi sarana yang berfungsi untuk setiap
kelompok sosial menurut tingkat kemajuan sosialnya. Disengaja ataupun tidak, sistem pendidikan
mencerminkan atau mempertahankan keanekaragaman masyarakat Indonesia.
Adanya
stratifikasi dalam dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak
zaman dahulu. Hal itu bisa kita lihat ketika zaman colonial Belanda. Pada zaman
itu pendidikan di Indonesia sudah terdapat stratifikasi sosial, dimana warga
pribumi tidak boleh sekolah di tempat milik Belanda, kecuali orang-orang yang
berasal dari keluarga yang setara dengan kehidupan orang Belanda. Adanya
stratifikasi dalam dunia pendidikan itulah yang menghambat pendidikan
multikultur di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
masyarakat multikultur di Indonesia?
b.
Bagaimana pendidikan multikultur di Indonesia?
c.
Bagaimana pendidikan multikultur di luar
negeri (Malaysia)?
d. Apa contoh pendidikan multikultur yang sudah
diterapkan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
a.
Untuk mengetahui keadaan masyarakat
multikultur di Indonesia
b.
Untuk mengetahui pendidikan multikultur
di Indonesia
c.
Untuk mengetahui pendidikan multikultur
di luar negeri (Malaysia)
d.
Untuk mengetahui contoh pendidikan
multikultur yang sudah diterapkan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Andersen dan Cusher
mengatakan bahwa pendidikan multikutural dapat diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks mendefinisikan pendidikan
multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan
multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
Tuhan). Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma’hady berpendapat,
bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai
pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis
dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan ( global ).
Banyak para ilmuan
yang sudah menjelaskan mengenai pengertian pendidikan multikultur, namun
bagaimana dengan penerapannya Indonesia? Di awal kemerdekaan Indonesia sekolah
multikultur memang belum dikembangkan dalam bentuk kebijakan nasional
pemerintah. Baru pada pemerintahan Republik, muncul upaya memberi peluang
kepada berbagai etnis untuk memasuki pendidikan di sekolah negeri, yang mana
murid di sekolah ini berasal dari berbagai kalangan. Pada saat ini banyak juga
sekolah swasta yang diselenggarakan oleh misi Katolik yang melayani pendidikan
bagi masyarakat terbuka. Pada awalnya sekolah swasta memiliki tujuan sosial dan
kemanusiaan, sehingga sekolah swasta di beberapa pemukiman menjadi pelopor
pergaulan multikultur. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, karena setelah
terjadi peningkatan pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto,
pendidikan mulai mengalami segregasi sosial yang tajam. Anak-anak dari keluarga
yang kaya kemudian memilih sekolah yang dapat melayani kebutuhan mereka, banyak
sekolah swasta yang secara alamiah berubah sesuai dengan tuntutan pasar.
Anak-anak keturunan Cina, keluarga Kristen, keluarga kaya kemudian memilih
sekolah mereka sendiri. Mereka meninggalkan sekolah negeri karena menganggap
sekolah tersebut diperuntukkan bagi keluarga pribumi dan kelas menengah (Salim,
2007).
A. Pendidikan Multikultur di Indonesia
Keragaman budaya
dalam satu komunitas merupakan modal pemberdayaan, terutama dalam proses
pendidikan. Meski demikian sekolah belum dilihat sebagai
institusi budaya dan sebagai ajang interaksi antaranggota masyarakat. Padahal
sekolah dapat berfungsi menjadi tempat bertemunya berbagai kepentingan
kelembagaan, seperti keluarga, manajemen birokrasi pendidikan dan pasar kerja.
Pergumulan berbagai lembaga ini akan memberi warna terhadap pemecahan masalah
fungsional dalam pendidikan yang dihadapi masyarakatnya.
Di
Indonesia keberadaan sekolah unggulan masih menjadi suatu polemik bagi
terwujudnya pendidikan multikultur. Hal ini dikarenakan pendidikan unggulan
yang berkembang di Indonesia justru sangat jauh dari sistem komunikasi dan
interaksi sosial yang bersifat demokratis. Pendidikan unggulan yang diwakili
sekolah unggulan dan favorit, sangat memihak pada kepentingan kelompok-kelompok
tertentu di masyarakat sehingga tidak berhasil menumbuhkan “social competition”. Di sekolah unggulan yang terjadi adalah
saling menguatnya sistem pergaulan dalam stratifikasi yang homogeny (ras, kelas
sosial, dll), sehingga tidak memberi peluang adanya interaksi sosial yang sehat
dan wajar (alamiah).
Pendidikan
nasional sudah saatnya diwawas dalam bentuk kepentingan pengembangan budaya
masyarakat. Persoalan mengenai konsep integrasi mungkin lebih penad sebagai
filosofi dasar persoalan pendidikan bangsa. Sistem pendidikan nasional, secara empiric
harus berusaha menganyam berbagai perbedaan cultural, aspirasi dan status.
Pendidikan yang dibutuhkan bagi bangsa ini adalah pendidikan kebangsaan yang
terintegrasi untuk memupuk semangat persatuan (the sense of oneness) dan
kemerdekaan berfikir.
Pendidikan
multikultur di Indonesia pernah berlangsung pada masa pemerintahan Soekarno
(sebelum 1965), yaitu ketika banyak sekolah swasta didirikan oleh kalangan
minoritas keturunan Cina di berbagai kota besar di Indonesia. Ternyata jenis
sekolah itu banyak diminati oleh kelompok masyarakat pribumi dari kelompok
agama Kristen dan masyarakat berpenghasilan menengah. Sekolah multikultur juga
pernah ada di Indonesia pada awal pemerintahan Republik, pada saat ini muncul upaya memberi peluang
kepada berbagai etnis untuk memasuki pendidikan di sekolah negeri, yang mana
murid di sekolah ini berasal dari berbagai kalangan. Namun karena adanya
kebutuhan tertentu dari masyarakat maka sekolah inipun lambat laun mulai
ditinggalkan (Salim, 2007).
Pendidikan nasional yang ideal harus mengacu kepada peningkatan
kesejahteraan umat manusia yang bertolak dari keserasian intrinsik dan juga
bertolak dari upaya penggabungan perbedaan-perbedaan yang ada namun, pendidikan
multikultur harus memperhatikan basis kultural. Dan kini hal itu mulai di
praktikkan dalam dunia pendidikan kita. sistem pendidikan di Indonesia kini
banyak yang mengacu pada pendidikan multikultur, terutama pada perguruan
tinggi. Seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat Indonesia akan pendidikan,
kini banyak masyarakat Indonesia yang rela menempuh pendidikan di luar kota
bahkan di luar negeri demi menyelesaikan studi nya. Hal ini bisa dilihat di
salah satu Universitas di Yogyakarta, sebagain besar mahasiswanya berasal dari
luar kota, selain itu, di Universitas tersebut juga tidak hanya ada mahasiswa
dari lapisan sosial yang sama, namun mereka berasal dari berbagai lapisan
sosial yang berbeda, mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah. Hal ini
telah membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia kini sudah mulai mengacu pada
pendidikan multikultur.
Di dunia pendidikan kini juga sudah dikembangkan konsep ‘living together’ dengan asumsi bahwa
masyarakat dunia akan dapat mempersamakan perbedaan bahasa, nilai-nilai, norma,
tradisi, dan pandangan hidup yang terbangun dari perbedaan di dalam kehidupan
masyarakat. Pengertian ‘living together’ menempatkan
adanya aspek pergaulan yang bersifat ‘heterokultural’.
Konsep ‘living together’ tampaknya
lebih dekat untuk menggambarkan adanya proses interrelasi antara unsur-unsur
terkecil dalam budaya lokal untuk membangaun karakteristik multikultur dalam
masyarakat. Contoh dari konsep ‘living
together’ dalam dunia pendidikan adalah adanya pertukaran pelajar antar
sekolah ataupun universitas dalam negeri maupun
luar negeri. Dan juga adanya program kerjasama. Kedua contoh ini telah
menunjukkan bahwa kini sistem pendidikan di Indonesia telah mengembangkan
pendidikan multikultur (Yulaelawati, 2002 dalam Indonesia Belajarlah!).
Paradigma
multikultural secara implisit menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari
pendidikan multikultur adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Tujuan lain dari pendidikan multikultur
adalah untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang
berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya.
Aspek yang menjadi kunci dalam
melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak
adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan
terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan
terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan
kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan
hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh
terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis (http://pendidikanmultikulturalku.blogspot.com/).
B. Pendidikan Multikultur di Luar Negeri (Malaysia)
Di
Malaysia, saat DR. Mahatir Mohamad menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan
(1974-1978) kebijakan dasar untuk bidang pendidikan mengarah kepada persatuan
nasional (national unity). Malaysia menyadari bahwa kejayaan bangsa bertolak
dan dibangun dari perbedaan rasial atau kemajemukan masyarakat. Bangsa Malaysia
terdiri dari beragam etnik (Melayu, Cina, India, dan Arab), sehingga perlu
dipersatukan dengan nilai kebangsaan yang jelas (values system of the Malays).
Kebijaksanaan pendidikan dimasa DR. Mahatir Mohamad adalah mendirikan banyak
sekolah multikultural yang mengatasi perbedaan suku, agama, ideology, dan
kepemilikan modal. Perkara yang lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan
multikultural adalah bagaimana didalam sekolah itu akhirnya tumbuh secara
alamiah perasaan emosional yang menyatu antara warga masyarakat dari berbagai
stratifikasi sosial. Didalam lembaga sekolah itu terjadi pergaulan antar-budaya
yang sangat intensif, sehingga terjadi proses integrasi nasional dengan
menciptakan persamaan (commonality) dan keserasian menerapkan ciri-ciri
persamaan dan menghargai adanya perbedaan. Dengan membangun landasan kebangsaan
melalui sekolah multikultural, Malaysia berhasil menyikapi dengan tepat
masalah-masalah besar yang cukup mendasar dibidang ekonomi, politik, ideology,
dan agama.
Tampaknya di Malaysia pembangunan
pendidikan yang berbasis pada pengembangan kebangsaan dapat dirunut sebagai
upaya pembudayaan pendidikan nasional. Pembangunan yang mengutamakan keragaman
kultural, pendidikan yang pada tingkat mikro menumbuhkembangkan basis kultural
lokal secara optimal tetapi memiliki tujuan makro yang jangka panjang dengan
menciptakan emosi dan toleransi bersama. Pendidikan multikultural menjadi
komoditas strategis bagi pembangunan bangsa, yaitu menghubungkan langsung
antara pembangunan kognisi, emosi, dan memadukanya dalam perilaku dibidang
ekonomi, sosial, dan politik (Salim, 2007).
C.
Permasalahan
Pendidikan Multikultur di Indonesia
Penyelenggarakan
pendidikan multikultur di Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Banyak permasalahan yang di hadapi oleh Indonesia, masalah tersebut
antaralain (http://snb.or.id/article/16/problema-pendidikan-multikultural-di-indonesia):
a. Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik.
Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal
yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi
budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik
dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar
budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok
budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Konflik-konflik yang terjadi
selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas
etnis, agama dan rasa, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat digunakan
oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu,
keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan
tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi
konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah
pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Adanya
Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah
tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
b. Kurang Kokohnya
Nasionalisme
Nasionalisme dan rasa cinta terhadap
Pancasila kini perlu ditegakkan kembali dalam kehidupan masyarakat Indonesia
karena Bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat nasionalisme dari para
generasi mudanya. Semangat nasionalisme yang kokoh mampu untuk meredam dan
menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini. Sejarah
juga telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh mampu untuk menyatukan primordial
kedaerahan.
c.
Fanatisme Sempit
Fanatisme sempit yaitu seseorang yang menganggap bahwa
kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi.
Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di
tanah air ini. Contoh dari fanatisme sempit adalah kecintaan pada klub sepak
bola idolanya yang berlebihan. Kecintaan yang berlebihan terhadap
kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta adalah suatu hal
yang tidak sehat apalagi sampai terjadi pelemparan terhadap pemain lawan, pengrusakan
mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya
kalah.
D.
Contoh penerapan pendidikan
multikultur di Indonesia
Pendidikan multikultur kini sudah
banyak diterapkan di Indonesia terlebih di perguruan tinggi. Di bawah ini
beberapa contoh pendidikan multikultur yang diterapkan di perguruan tinggi:
Sebanyak 40 mahasiswa asing penerima beasiswa KNB/Darmasiswa,
dan dosen tamu internasional yang tengah belajar/membantu mengajar di UNY, yang
bekerjasama dengan para dosen dan tutor UNY menyelenggarakan International Day.
International Day dilaksanakan Selasa, 14/12 di hall rektorat UNY. Mereka
menyuguhkan seni dan masakan khas Negara mereka masing-masing. Dalam
penyelenggaraannya acara ini sudah diwarnai semangat diversity.
Pada
kesempatan tersebut disuguhkan tarian oleh mahasiswa asing dari berbagai negara
yaitu tari Lum Tung Waiy dari Laos, tari The Wak Nakhon shi phak dari Thailand,
dan tari Tobi dari Papua Nugini (http://uny.ac.id/berita/sebanyak-40-mahasiswa-asing-international-day-di-uny.html).
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kedatangan enam mahasiswa
asing dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Volunteers in Asia (VIA). Mereka
mengikuti kegiatan Summer Course di Kantor Urusan Internasional dan Kemitraan
(KUIK) UNY pada 10 Juni hingga 12 Juli 2013. "Keenam mahasiswa tersebut
tidak hanya akan belajar Bahasa Indonesia saja, tetapi juga kebudayaannya.
Untuk itu, pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) ini juga
dikemas dengan beberapa workshop tentang budaya yang diajarkan oleh
dosen mata kuliah terkait seperti batik, gamelan, pencak silat, dan memasak
makanan tradisional," ujarnya yang dikutip dari laman UNY (http://www.tempo.co/read/news/2012/11/13/079441499/UNY-Ajak-Mahasiswa-Asing-Jadi-Duta-Budaya).
Universitas Negeri Yogyakarta menggelar Culture Camp 2012
pada 12-21 November 2012. Acara ini mengundang puluhan mahasiswa asing yang
kuliah di kampus-kampus di Kota Yogyakarta, Semarang, dan Bandung untuk
mengenal kekayaan seni dan budaya Indonesia melalui forum seminar, workshop,
tinggal di perkampungan, dan festival (http://uny.ac.id/berita/sebanyak-40-mahasiswa-asing-international-day-di-uny.html).
Berbagai contoh di atas menunjukkan
bahwa pendidikan multikultur telah diterapkan di Indonesia. Dan kini yang
digencarkan bukan hanya pendidikan multikultur antar orang-orang Indonesia
saja, namun kini sudah banyak Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
multikultur lintas Negara atau bekerja sama dengan Negara lain. Program
kerjasama tersebut bisa dikatakan sebagai pendidikan multikultur karena di
dalam program tersebut antarmahasiswa saling belajar budaya dari Negara lain
tanpa adanya pembeda-bedaan atau stratifikasi.
BAB III
KESIMPULAN
Andersen dan Cusher
mengatakan bahwa pendidikan multikutural dapat diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan. Penerapan penidikan multikultur di Indonesia
dimulai pada pemerintahan Republik, saat itu muncul upaya memberi peluang
kepada berbagai etnis untuk memasuki pendidikan di sekolah negeri, yang mana
murid di sekolah ini berasal dari berbagai kalangan. Pada saat ini banyak juga
sekolah swasta yang diselenggarakan oleh misi Katolik yang melayani pendidikan
bagi masyarakat terbuka. Pada awalnya sekolah swasta memiliki tujuan sosial dan
kemanusiaan, sehingga sekolah swasta di beberapa pemukiman menjadi pelopor
pergaulan multikultur. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, karena setelah
terjadi peningkatan pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto,
pendidikan mulai mengalami segregasi sosial yang tajam. Anak-anak dari keluarga
yang kaya kemudian memilih sekolah yang dapat melayani kebutuhan mereka, banyak
sekolah swasta yang secara alamiah berubah sesuai dengan tuntutan pasar.
Anak-anak keturunan Cina, keluarga Kristen, keluarga kaya kemudian memilih
sekolah mereka sendiri. Sedangkan di Malaysia penyelenggaraan pendidikan
multikultur sudah ada sejak 1974-1978 pada pemerintahan DR.
Mahatir Mohamad dan dengan adanya hal itu Malaysia mampu mengatasi
masalah-masalah yang cukup mendasar dibidang ekonomi, politik, ideology, dan
agama.
Masalah-masalah yang
dihadapi oleh Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur
antaralain, Keragaman Identitas Budaya Daerah, kurang kokohnya nasionalisme,
fanatisme sempit, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Salim,
Agus. 2007. Indonesia Belajarlah!.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sunarjo. 2012. Pendidikan
Multikultur (http://pendidikanmultikulturalku.blogspot.com/)
diakses pada 7 September 2013.
Phierquinn. 2013. Problema pendidikan multikultur (http://snb.or.id/article/16/problema-pendidikan-multikultural-di-indonesia)
diakses pada 7 September 2013.
Ade. 2013. Mahasiswa luar negeri di uny.
(http://kampus.okezone.com/read/2013/06/17/373/823357/6-mahasiswa-amerika-jadi-sukarelawan-di-uny)
diakses pada 10 September 2013.
Witono.
2012. Mahasiswa luar negeri di uny (http://uny.ac.id/berita/sebanyak-40-mahasiswa-asing-international-day-di-uny.html)
diakses pada 10 September 2013.
Idhom,
addi mawahibun. 2012. Mahasiswa
luar negeri di uny.
(http://www.tempo.co/read/news/2012/11/13/079441499/UNY-Ajak-Mahasiswa-Asing-Jadi-Duta-Budaya)
diakses pada 10 September 2013.
0 Response to "pendidikan multikultur"
Post a Comment