dilema dan problema multikulturalisme di Indonesia
Tuesday, 17 September 2013
1 Comment
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kelompok minoritas merupakan orang-orang yang
karena ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya dipisahkan dari orang-orang
lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam
masyarakat dimana mereka hidup. Oleh karena
itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi. Keberadaan kelompok
minoritas tidak dapat dipisahkan dari pertentangan dengan
kelompok dominan.
Di Indonesia masih sering
terjadi tindakan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang dilakukan oleh kaum
mayoritas. Hingga saat ini masalah HAM
di Indonesia masih dalam kondisi yang menyedihkan. Masih sering terjadi
pelanggaran HAM di Indonesia. Salah satu pelanggaran yang paling krusial dan
ironis adalah lemahnya perlindungan terhadap kaum minoritas di Indonesia.
Dengan adanya realita tersebut sangatla di
butuhkan pemahaman tentang multikulturasmi tentunya dalam mhal problematikanya
di Indonesia. Maka dengan itu kelompok kami membahas tentang minoritas dan
dilemma multicultural di indonesia
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian minoritas dan
multikulturalisme?
2. Bagaimana keadaan kelompok
minoritas di Indonesia?
3.
Seperti apa dilema dan problema multikulturalisme di
Indonesia?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui arti minoritas dan
multikulturalisme.
2. Untuk mengetahui bagaimana kelompok minoritas di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui dilemma dan problematika di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak
Minoritas dan Multikulturalisme
1. Pengertian Hak Minoritas
Menurut
Parsudi Suparlan, kelompok minoritas merupakan orang-orang yang diperlakukan
secara diskriminatif dalam masyarakat karena ciri fisik tubuh atau asal-usul
keturunannya atau kebudayaannya berbeda. Mereka tidak hanya diperlakukan
sebagai orang luar dalam masyarakat tempat hidup mereka, namun juga menempati
posisi yang tidak menguntungkan, karena mereka tidak memperoleh akses terhadap
sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Hikmat Budiman terdapat empat hal yang menyisakan persoalan
yang cukup mengelisahkan. Pertama, batasan tentang minoritas sangat tergantung
pada jumlah numeriknya. Kedua, minoritas mengandaikan posisinya berada pada
posisi yang tidak dominan, sementara istilah “dominan’ itu sendiri tidak
didefinisikan secara spesifik. Ketiga, menjadi minoritas berarti terdapatnya
perbedaan yang cukup spesifik dari segi etnik, agama, dan bahasa. Keempat,
menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok untuk memiliki solidaritas
terhadap kultur, tradisi, agama, dan bahasa serta membagi keinginan untuk
meraih persamaan hukum di hadapan populasi yang lain.
2. Pengertian Mulikulturalisme
Multikulturalisme
berasal dari kata multi (banyak atau beragam), kultur (budaya atau kebudayaan),
dan isme (paham atau aliran). Secara hakiki, dalam
kata multikulturalisme terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup
dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan
sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya,
maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia.
Menurut
Irwan, multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan
dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi
budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah
kesetaraan budaya.
Multikulturalisme
adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat
mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis,
agama, dsb. Bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok
etnik atau budaya yang ada, dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip
co existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
Menurut
Parekh, dalam bukunya National Culture
and Multiculturalism, ia membedakan multikulturalisme menjadi lima macam,
yaitu:
a.
Multikulturalisme isolasionis, yang mengacu pada masyarakat di mana
berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam
interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
b.
Multikulturalisme akomodatif, yakni
masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan
akomodasi-akomodasi bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
c.
Multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat
plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan
dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik
yang secara kolektif dapat diterima.
d.
Multikulturalisme kritikal atau interaktif,
yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan
kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif
yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
e.
Multikulturalisme cosmopolitan, yakni paham
yang berusaha menghapuskan batas-batas cultural sama sekali untuk menciptakan
sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat pada budaya
tertentu.
Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan bahwa
multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Menurut Pasurdi
Suparlan, akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan
yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.
B. Keadaan
Kelompok Minoritas di Indonesia
Kelompok minoritas merupakan
orang-orang yang karena ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya dipisahkan
dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak
adil hdalam masyarakat dimana mereka hidup. Oleh karena itu mereka merasakan adanya tindakan
diskriminasi. Keberadaan kelompok minoritas tidak dapat dipisahkan dari pertentangan dengan
kelompok dominan. Kebanyakan dari kelompok
mdominan ini mengembangkan
seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya.
Prasangka ini berkembang berdasarkan adanya (1) perasaan superioritas dari
kelompok yang dominan, (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam
keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu adalah
berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing, (3) adanya klaim pada
golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada merupakan hak mereka,
dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah
derajatnya itu akan mengambil sumber daya tersebut.
Di Indonesia masih sering
terjadi tindakan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang dilakukan oleh kaum
mayoritas. Hingga saat ini masalah HAM
di Indonesia masih dalam kondisi yang menyedihkan. Masih sering terjadi
pelanggaran HAM di Indonesia. Salah satu pelanggaran yang paling krusial dan
ironis adalah lemahnya perlindungan terhadap kaum minoritas di Indonesia.
Dalam hal agama juga masih
terdapat banyak tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Padahal kita
ketahui bahwa sudah terdapat aturan atau pasal yang mengatur mengenai kehidupan
beragama yaitu Pasal 29 UUD 1945. Namun aturan-aturan yang ada nampaknya belum
mampu untuk melindungi kaum minoritas. Pemerintah pusat dan daerah justru
terkesan tunduk terhadap aspirasi kelompok mayoritas dan mengabaikan hak-hak
minoritas.
Pembiaran kasus-kasus kekerasan
dan diskriminasi yang terjadi di sejumlah daerah membuktikan bahwa negara belum
mampu memenuhi dan bahkan cenderung mengabaikan hak-hak kelompok minoritas,
sekaligus berlawanan dengan keadaan Indonesia yang dianggap sebagai sebuah
negara yang multikultural.
Peran pemerintah yang
seharusnya melindungi kaum minoritas dari tindakan diskriminatif justru
terkadang menjadi pelaku diskriminasi tersebut. Contohnya, tindakan pemerintah
yang menangkap begitu saja orang-orang yang dianggap menyimpang dalam hal keyakinan
beragama. Definisi menyimpang hanya didasarkan pada pendapat kelompok
mayoritas. Sementara itu, argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas tidak
mendapat perhatian sama sekali.
Tidak dapat dipungkiri
lagi, kini keberagaman dan pluralisme di Indonesia justru menjadi semacam
realitas yang menyedihkan bagi kaum minoritas. Banyak kasus yang ditangani dan
diselesaikan secara berat sebelah dan mudah untuk dilupakan begitu saja.
C. Dilema
Multikulturalisme dan
Problema Multikulturalisme di Indonesia
a.
Dilema Multikulturalisme di Indonesia
Untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang
multikultural tentu tidak mudah. Dalam ideologi multikulturalisme,
kelompok-kelompok budaya berada dalam kesederajatan, demokratis, dan toleransi
sejati. Dengan sendirinya, masyarakat majemuk belum tentu dapat dinyatakan sebagai
masyarakat multikultural, karena bisa saja di dalamnya terdapat hubungan
antarkekuatan masyarakat yang
memiliki bermacam- macam budaya
yang tidak simetris yang hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni, dan
konstestasi.
Bagi masyarakat Indonesia yang telah melewati reformasi,
konsep masyarakat multikultural bukan hanya sebuah wacana, tetapi sebagai
konsep ini merupakan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena
dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan
kesejahteraan masyarakat. Kondisi multikultur sebuah negara tidak dengan
serta merta meniscayakan warganya hidup dalam tatanan multikultural. Satu
negara hanya dapat dikatakan sebagai sebuah negara multikultur jika berbagai
budaya yang eksis memiliki kesetaraan dalam arena publik.
Indonesia memang merupakan sebuah negara dengan kondisi
multikultur, tetapi belum semua warganya bisa menerima gagasan tentang sebuah
tatanan multikultural, sehingga semua
anak bangsa harus
menyadari bahwa negara ini adalah milik bersama dan bukan milik etnik dan agama
tertentu. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan publik yang bisa melindungi semua kelompok dan mewujudkan integrasi
sosial. Dalam hal ini, hak-hak minoritas dan multikulturalisme dapat menjadi
alternatif dan solusi bagi masa depan Indonesia yang lebih baik.
2. Problema Multikulturalisme di Indonesia
Keberagaman
letak geografis, demografi, sejarah, dan kemajuan sosial ekonomi di Indonesia
dapat memicu problema multikultural di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
a.
Keragaman Identitas
Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal
sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah
budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural.
Namun kondisi aneka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi
potensi bagi terjadinya konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika
tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Sebab dari konflik-konflik yang
terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman
identitas etnis, agama dan ras. Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang
ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh
sewajarnya.
b.
Pergeseran
Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus
reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru
yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan
budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan
keragamannya. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka
berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan
kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan. Konsep pembagian wilayah
menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu
digunakan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga
masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini.
Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang
tertindas dan kurang beruntung.
c.
Kurang Kokohnya
Nasionalisme
Keragaman budaya ini
membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh
pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian
nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi
dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang
mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin
semarak. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu
ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan
dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang
kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat
nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah
persatuan dan kesatuan bangsa ini.
d. Fanatisme Sempit
Fanatisme
dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit,
yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan
kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan
korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Terjadinya perseteruan dan
perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional
Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari
fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama
(misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat
menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
e. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara
Kelompok Budaya
Beberapa peristiwa
di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan
kesejahteraan ekonomi. Orang akan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan
yang anarkis ketika mereka terhimpit oleh faktor ekonomi. Mereka akan meluapkan
kekesalan mereka pada kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia
tidak mampu meraihnya. Hal tersebut Nampak pada gejala perusakan mobil-bobil
mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Mobil mewah seakan
menjadi sombol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi
kelompok tertentu, sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan.
f.
Keberpihakan yang
salah dari Media Massa
Di
antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan
dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui
hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka
juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan media untuk
kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus
perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dimuat media
massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun
sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan
yang luhur. Memang berita selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau
terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini
akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang
bertentangan dengan budaya ketimuran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
kelompok
minoritas merupakan orang-orang yang diperlakukan secara diskriminatif dalam
masyarakat karena ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau
kebudayaannya berbeda. Mereka tidak hanya diperlakukan sebagai orang luar dalam
masyarakat tempat hidup mereka, namun juga menempati posisi yang tidak
menguntungkan, karena mereka tidak memperoleh akses terhadap sosial, ekonomi,
dan politik.
Multikulturalisme
berasal dari kata multi (banyak atau beragam), kultur (budaya atau kebudayaan),
dan isme (paham atau aliran). Secara hakiki, dalam
kata multikulturalisme terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup
dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan
sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya,
maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia.
ini daftar pustaka nya mana?????
ReplyDelete