masalah sosial budaya tentang homoseksual.
Monday, 23 September 2013
1 Comment
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada
dasarnya setiap masyarakat yang ada di muka bumi ini dalam hidupnya dapat
dipastikan akan mengalami apa yang dinamakan dengan masalah-masalah sosial
budaya. Adanya masalah-masalah tersebut akan dapat diketahui bila kita
melakukan suatu perbandingan dengan menelaah suatu masyarakat pada masa
tertentu yang kemudian kita bandingkan dengan keadaan masyarakat pada waktu
yang lampau. Masalah-masalah akan selalu timbul didalam kehidupan sosial kita
semua.
Masalah-masalah tersebut biasanya
bersifat negatif, seperti yang saat ini akan kami bahas yaitu tentang
homoseksual, perilaku yang menyimpang ini adalah sebuah sikap atau sifat yaitu
pria yang menyukai sesama jenis atau dengan kata lain gay.
Kami
akan membahas tentang hal itu sebagai pengetahuan untuk kita semua tentang
homoseksual, dan bagaimana kasus tersebut dipandang dari kacamata sosiologi.
Biasanya sifat homoseksual maupun lesbi (menyukai sesama jenis perempuan),
dapat bersifat menular, sihingga makalah ini juga bertujuan agar kita semua
berhati-hati dengan hal itu. Oleh karena itu kami akan membahas tentang
homoseksual.
A.
Rumusan
Masalah
1. Apa
itu homoseksual ?
2. Bagaimana
pandangan homoseksual di bidang sosiologi ?
B.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
apa itu homoseksual.
2. Mengetahui
pandangan homoseksual di bidang sosiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Apa
itu homoseksual
Homoseksualitas berasal dari bahasa
yunani yaitu (homoios=sama) dan bahasa latin
(sexus=jenis kelamin) merupakan pengertian umum mencakup banyak macam
kecenderungan seksual terhadap kelamin yang sama, atau secara lebih halus
adalah suatu keterarahan kepada kelamin yang sama (homotropie; tropos=arah,
haluan). Istilah homoseksualitas tampak terlalu menekankan aspek seksual dalam
arti sempit. Maka dianjurkan menggunakan istilah ’homophili’
(philein=mencintai).
Sedangkan definisi umum
adalah seorang homophil ialah seorang pria atau wanita, tua atau muda,
yang tertarik atau jatuh cinta kepada orang yang berjenis kelamin sama, dengan
tujuan mengadakan persatuan hidup, baik untuk sementara maupun untuk selamanya.
Dalam persatuan ini, mereka mengahayati cinta dan menikmati kebahagiaan seksual
yang sama seperti dialami oleh orang heteroseksual.
Homoseksualitas sendiri adalah rasa
ketertarikan romantis dan atau seksual atau perilaku antara individu
berjenis kelamin atau gender yang sama.
Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada
"pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang,
atau ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang dari
jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu
tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku
ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu.”
Kartono
(1989:247) mendefinisikan homoseksual sebagai relasi seks jenis kelamin yang
sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama. Homoseksual dapat dimasukkan
ke dalam kajian abnormalitas seksual yang terdapat dalam psikologi abnormal.
Dede
Oetomo memberikan definisi homoseksual sebagai orientasi atau pilihan seks yang
diarahkan kepada seseorang yang berjenis kelamin sama atau ketertarikan orang
secara emosional dan seksual kepada seseorang dari jenis kelamin yang sama
(Oetomo, 2001:6-7).
Homoseksualitas adalah salah satu
dari tiga kategori utama orientasi seksual, bersama dengan biseksualitasdan heteroseksualitas, dalam kontinum
heteroseksual-homoseksual. Konsensus ilmu-ilmu perilaku dan sosial dan juga profesi
kesehatan dan kesehatan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas adalah aspek
normal dalam orientasi seksual manusia. Homoseksualitas bukanlah penyakit
kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis negatif; prasangka terhadap kaum
biseksual dan homoseksual-lah yang menyebabkan efek semacam itu. Meskipun
begitu banyak sekte-sekte agama dan organisasi "mantan-gay" serta beberapa asosiasi
psikologi yang memandang bahwa kegiatan homoseksual adalah dosa atau kelainan.
Bertentangan dengan pemahaman umum secara ilmiah, berbagai sekte dan organisasi
ini kerap menggambarkan bahwa homoseksualitas merupakan "pilihan".
Istilah umum dalam homoseksualitas
yang sering digunakan adalah lesbian untuk perempuan pecinta sesama
jenis dan gay untuk pria pecinta sesama jenis, meskipun gay dapat
merujuk pada laki-laki atau perempuan. Bagi para peneliti, jumlah individu yang
diidentifikasikan sebagai gay atau lesbian — dan perbandingan individu yang
memiliki pengalaman seksual sesama jenis — sulit diperkirakan atas berbagai
alasan. Dalam modernitas Barat, menurut berbagai penelitian, 2% sampai 13%
dari populasi manusia adalah homoseksual atau pernah melakukan hubungan sesama
jenis dalam hidupnya.
Sebuah studi tahun 2006 menunjukkan
bahwa 20% dari populasi secara anonim melaporkan memiliki perasaan homoseksual,
meskipun relatif sedikit peserta dalam penelitian ini menyatakan diri mereka
sebagai homoseksual. Perilaku homoseksual juga banyak diamati pada hewan.
Banyak individu gay dan lesbian
memiliki komitmen hubungan sesama jenis, meski hanya baru-baru ini terdapat
sensus dan status hukum/politik yang mempermudah enumerasi dan keberadaan mereka. Hubungan
ini setara dengan hubungan heteroseksual dalam hal-hal penting secara
psikologis.
Hubungan dan tindakan homoseksual
telah dikagumi, serta dikutuk, sepanjang sejarah, tergantung pada bentuknya dan
budaya tempat mereka didapati. Sejak akhir abad ke-19, telah ada gerakan
menuju hak pengakuan keberadaan dan hak-hak legal bagi orang-orang homoseksual,
yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi dan
pengasuhan, hak kerja, hak untuk memberikan pelayanan militer, dan hak untuk
mendapatkan jaminan sosial kesehatan.
Di negara Indonesia, data statistik
menunjukkan 8-10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu terlibat
pengalaman homoseksual. Dari jumlah ini, sebagian dalam jumlah bermakna terus
melakukannya. (Kompas Cyber Media, 2003 1).
Hasil survei YPKN menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000
penyuka sesama jenis di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan,
260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Angka-angka itu belum
termasuk kaum homo di kota-kota besar. Dede memperkirakan, secara nasional
jumlahnya mencapai sekitar 1% dari total penduduk Indonesia. Dr. Dede Oetomo,
adalah “presiden” gay Indonesia, yang telah 18 tahun mengarungi hidup bersama
dengan pasangan homonya, beliau juga seorang “pentolan” Yayasan Gaya Nusantara.
(Gatra, 2003 2)
Data ini menunjukkan eksistensi
keberadaan kaum homoseksual di Indonesia. Homoseksual hingga saat ini masih
menjadi issue yang kontrakdiktif di masyarakat, tidak hanya kontradiktif dalam
hal genealogi nya, akan tetapi sampai pada perdebatan apakah kaum homoseksual
bisa di terima di masyarakat.
Ketika seseorang menyebutkan
homoseksual, kata-kata homoseksual ini dapat mengacu pada tiga aspek 3:
a. Orientasi
Seksual / Sexual Orientation
Orientasi seksual – homoseksual
yang dimaksud disini adalah ketertarikan / dorongan / hasrat untuk terlibat
secara seksual dan emosional (ketertarikan yang bersifat romantis) terhadap
orang yang berjenis kelamin sama. American Psychiatric Association (APA)
menyatakan bahwa orientasi seksual berkembang sepanjang hidup seseorang.
Sebagai informasi tambahan, dalam
taraf tertentu, pada umumnya setiap orang cenderung memiliki rasa ketertarikan
terhadap sesama jenis. Seperti misalnya saja: pria yang mengidolakan aktor /
musisi / tokoh pria tertentu dan juga sebaliknya wanita yang mengidolakan
aktris / musisi / tokoh wanita tertentu. Kadar ketertarikan seperti ini umum
dimiliiki oleh banyak orang dan tidak termasuk dalam orientasi homoseksual.
b. Perilaku
Seksual / Sexual Behavior
Homoseksual dilihat dari aspek ini
mengandung pengertian perilaku seksual yang dilakukan antara dua orang yang
berjenis kelamin sama.
Perilaku seksual manusia melingkupi
aktivitas yang luas seperti strategi untuk menemukan dan menarik perhatian
pasangan (perilaku mencari & menarik pasangan), interaksi antar individu,
kedekatan fisik atau emosional, dan hubungan seksual (Wikipedia).
c. Identitas
Seksual / Sexual Identity
Sementara homoseksual jika dilihat
dari aspek ini mengarah pada identitas seksual sebagai gay atau lesbian.
Sebutan gay digunakan pada homoseksual pria, dan sebutan lesbian digunakan pada
homoseksual wanita.
B.
Penyebab Homoseksual
Timbulnya sifat homoseksual pada diri seseorang
dapat disebabkan bermacam-macam faktor, seperti kekurangan hormon laki-laki
selama masa pertumbuhan, mendapatkan pengalaman homoseksual yang menyenangkan
pada masa remaja atau sesudahnya, memandang perilaku heteroseksual sebagai
sesuatu yang menakutkan atau tidak menyenangkan, atau karena dibesarkan
ditengah-tengah keluarga yang didominasi oleh ibu sedangkan ayah lemah atau
bahkan tidak ada.
Menurut Kartini
(1989:248) sebab-sebab perilaku homoseksual, antara lain:
1. Faktor
dalam berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks di dalam tubuh seseorang.
2.
Pengaruh lingkungan
yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual
yang normal.
3.
Seseorang selalu
mencari kepuasan relasi homoseksual karena pernah menghayati pengalaman
homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja.
4.
Seorang anak laki-laki
pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibunya sehingga timbul kebencian
atau antipati terhadap ibunya dan semua wanita.
Seseorang
menjadi homoseksual karena pengaruh orang-orang sekitarnya, seperti faktor
keluarga dan lingkungan yang kurang mendukung. Sikap-tindaknya yang kemudian menjadi
pola seksualnya dianggap sebagai sesuatu yang dominan sehingga menentukan
segi-segi kehidupan lainnya. Selain itu, homoseksual juga dapat disebabkan
sering mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis sehingga
mereka melampiaskan kekecewaan itu dengan menjalin hubungan dengan sesama
jenisnya.
Lingkungan
dapat memengaruhi perkembangan seseorang untuk menjadi homoseksual. Menurut
Kartono (1989:248), penjara dan asrama-asrama putra, tempat para pemuda dan
kaum pria berdiam terpisah dengan kaum wanita, banyak menghasilkan peristiwa
homoseksual.
Pada
proses perkembangan anak remaja yang normal, biseksualitas remaja akan
berkembang menjadi heteroseksual. Sebaliknya, apabila proses tersebut menjadi
abnormal yang dapat disebabkan oleh faktor-faktor eksogen atau endogen
tertentu, maka biseksualitas tersebut akan berkembang menjadi homoseksualitas.
Oleh karena itu, yang menjadi objek erotiknya adalah benar-benar seorang dengan
jenis kelamin yang sama (Kartono, 1989:249).
Ayah
mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan peran seksual anak. Jika peran ayah
kecil atau tidak berperan sama sekali dalam perkembangan anak, terutama dalam
hal pola asuh, maka akan muncul kesimpangsiuran peran jenis kelamin anak
(Dagun, 1990:104-105).
Mavis
Hetherington (melalui Dagun, 1990:105) mengatakan, anak laki-laki yang
ditinggalkan ayahnya sejak dini berperilaku tidak maskulin. Selain itu anak
menjadi kurang mandiri, ketergantungan, kurang tegas, dan tidak menyukai
permainan yang melibatkan fisik. Keadaan tersebut bagi anak laki-laki akan
mengakibatkan kurang memperlihatkan sikap sebagai seorang laki-laki.
Menurut Adelsa (2009), faktor lingkungan keluarga yang dapat
memengaruhi terbentuknya homoseksual, yaitu: (1)
pola asuh, dan (2) figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan
lawan jenis.
Dalam
proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama akan melihat
pada orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama dengannya. Anak
laki-laki melihat pada ayahnya, dan anak perempuan melihat pada ibunya, dan
kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin sama
dengannya.
Terdapat berbagai faktor penyebab
seseorang dapat menjadi penganut homoseksualitas, Deti Rianti dan Sinly Evan
Putra mengungkapkan faktor-faktor penyebab seseorang menjadi homoseksual
berdasarkan kajian biologis, antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Susunan Kromosom
Perbedaan homoseksual dan
heteroseksual dapat dilihat susunan kromosomnya yang berbeda. Pada dasarnya
seorang wanita memiliki satu kromosom (x) dari ibu dan kromosom (x) dari ayah,
sedangkan pria memiliki kromosom (x) dari ibu dan kromosom (y) dari ayah.
Kromosom (y) adalah penentu orientasi seks untuk pria, jika seorang pria
memiliki lebih banyak kromosom (x) dibanding (y) maka ia dapat berorientasi
seks sebagai homoseksual karena kromosom (x) akan mendorong seorang pria untuk
berperilaku dan berorientasi seksual seperti wanita.
2. Ketidakseimbangan hormon
Seorang pria memiliki hormon
testosteron, namun ia juga meiliki hormon estrogen dan progesteron yang
dimiliki oleh perempuan. Jika hormonestrogen dan progesteron lebih banyak
dibanding testosteron maka pria tersebut akan memiliki perkembangan seksual
yang mendekati karakteristik perempuan.
3. Struktur otak
Struktur otak pada straight
females dan straight males serta gay females dan gay
males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight
males sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal dan
tegas. Straight females, otak antara bagian kiri dan kanan tidak
begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya sama
dengan straight females, serta pada gay females struktur
otaknya sama dengan straight males, dan gay females ini
biasa disebut lesbian.
4. Kelainan susunan syaraf
Berdasarkan hasil penelitian
terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan syaraf otak dapat mempengaruhi
prilaku seks heteroseksual maupun homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak ini
disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.
Selain dipengaruhi oleh faktor
biologis, seorang pria dapat menjadi homoseksual ataupun gaydikarenakan
terjadi proses sosialisasi dalam masyarakatnya. Pada dasarnya sosialisasi
adalah proses pembelajaran pranata sosial masyarakat yang akan membentuk
karakter dan perilaku seseorang. Ketika seorang pria tersosialisasikan oleh
lingkungannya untuk menjadi seorang homoseksual maka ia akan memiliki orientasi
seksual sebagai homoseksual pula. Meskipun seseorang dapat menjadi homoseksual
karena lingkungannya, namun dalam ruang lingkup masyarakat yang lebih besar
dimana masih terdapat norma dan nilai yang menentang homoseksual maka segala
bentuk perilaku homoseksual tetap dikategorikan tindakan yang menyimpang.
Sebenarnya pola peran dan tingkah
laku seksual yang berkaitan dengan maskulinitas dan feminitas merupakan sesuatu
yang hanya dilihat dari sudut pandang biologis. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, homoseksualitas juga merupakan hasil dari proses pembelajaran
seseorang tentang perilaku melalui proses sosialisasi. Dalam konteks
sosialisasi maka homoseksualitas dapat dipahami dengan menggunakan tiga konsep yaitu :
1. Pengambilan peran seks
Pengambilan peran seks ini lebih
pada adopsi aktif terhadap ciri-ciri perilaku seks seseorang terhadap orang
lain, bukan hanya keinginan untuk mengadopsi beberapa perilaku. Pengambilan
peran seks biasanya disebut dengan penolakan peran seks atau peran gender.
2. Kecenderungan peran seks
Kecenderungan peran seks yaitu
keinginan seseorang untuk mengadopsi perilaku yang berhubungan dengan jenis
kelamin yang sama atau jenis kelamin yang berbeda. Hal ini maksudnya yaitu
suatu proses dimana seseorang mempelajari suatu peran atau jenis perilaku baik
itu perilaku sesama jenis maupun perilaku yang berbeda jenis.
3. Identifikasi peran seks
Identifikasi peran seks merupakan
persatuan yang nyata antara takdir peran seks dan reaksi tidak sadar bahwa
takdir itu merupakan ciri-ciri dari peran seks. Dengan kata lain, seseorang
menghayati peran seks tertentu, mengembangkan konsep dirinya dengan jenis
kelamin lain dan mengadopsi sebagian besar karakteristik perilaku jenis kelamin
lain tersebut.
Sosialisasi yang dapat mendorong
seseorang melakukan tindakan maupun perilaku menyimpang pada umumnya berasal
dari lingkungan terdekatnya seperti keluarga dan lingkungan pergaulannya.
Terkait dengan masalah gay, umumnya sosialisasi yang didapat
seorang gay dalam keluarga terjadi jika ia memiliki ibu yang
bersifat selalu membelanya atau terlalu memanjakan, sedangkan ia memiliki ayah
yang bersikap apatis (terlalu otoriter) dan menganggap anaknya itu sebagai
rival. Hal ini akan mendorong seorang individu untuk cenderung memendam sikap
maskulinnya. Sehingga terbentuk sikap pemalu, pendiam, lemah dan penyendiri dan
berujung kepada penyimpangan orientasi seksual.
Sosialisasi yang muncul dalam
lingkungan masyarakatnya akan menjelaskan mengapa seseorang menjadi
homoseksual, hal ini karena mereka terbiasa dengan lingkungan atau pergaulannya
yang mendukung dirinya untuk menjadi seorang homoseksual. Contohnya adalah
orang normal yang telalu sering bergaul dengan komunitas homoseksual, sehingga
dirinya terbawa dengan kebiasaan dan gaya hidup mereka yang negatif.
Berikut adalah ciri-ciri umum yang
nampak pada seoranggay::
Ø Lebih suka mengenakan pakaian ketat,
karena dapat memperlihatkan lekuk tubuh si pemakai. Bagi gay,
lekukan tubuh merupakan daya jual tersendiri.
Ø Lebih senang memakai warna mencolok.
Dalam berkomunikasi gaya bicaranya pun lebih feminine dan perhiasan yang
dikenakannya pun cenderung “ramai”. Bahkan itu merupakan alat komunikasi
sesama gay.
Ø Selalu tertarik pada aktivitas yang
biasanya dilakukan oleh wanita.
C. Homoseksual sebagai perilaku
menyimpang
Dalam
konteks penyimpangan sosial, homoseksualitas dikatakan menyimpang karena
fenomena tersebut tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam banyak
kelompok masyarakat. Homoseksual dianggap sebagai sebuah media yang tidak wajar
demi mendapatkan kepuasan seksual. Dalam kehidupan sosial, ada beberapa
pandangan mengenai homoseksualitas. Sebagian masyarakat membolehkan interaksi
homoseksual meskipun lebih banyak masyarakat yang mengutuk perilaku
homoseksual.
Dalam
kaitannya sebagai bentuk perilaku menyimpang, secara sosiologis maupun
umum gay dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dalam sudut pandang masyarakat luas maupun
masyarakat tempat pelaku penyimpangan berada. Jika ditinjau dari sudut pandang
etimologis, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menerjemahkan perilaku menyimpang
sebagi tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan
yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat.
Robert
M. Z. Lawang mengartikan perilaku menyimpang sebagai semua tindakan yang
menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial (masyarakat)
dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang untuk memperbaiki hal
tersebut. Gay merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang
yang bukan hanya secara gamblang telah menyalahi norma-norma yang ada dalam
banyak masyarakat namun juga turut mendorong terciptanya upaya sadar dari
sebagian elemen masyarakat yang berwenang untuk menekan perkembangan
komunitas gay dalam suatu masyarakat.
Penilaian
masyarakat yang mengecam homoseksual diberikan dalam beberapa bentuk. Dari
sudut pandang agama, homoseksualitas dianggap sebagai dosa. Dari sudut pandang
hukum, dilihat sebagai penjahat. Dari sudut pandang medis terkadang masih
dianggap sebagai penyakit. Dan dari sudut pandang opini publik, dianggap
sebagai penyimpangan sosial. Sementara itu, kelompok masyarakat yang memiliki
pandangan berlawanan dengan persepsi di atas, menganggap homoseksualitas
sebagai suatu gaya hidup.
Berdasarkan
uraian tentang seksualitas kaum gay di atas, dapat dilihat
persoalan moral yang timbul dari fenomena kaum gay tersebut.
Persoalan moral pertama adalah praktek seks bebas (extra marital). Pasangan
homoseks masih belum bisa mendapatkan pengesahan dalam bentuk perkawinan legal.
Oleh karena itu, praktek seks yang mereka lakukan dapat digolongkan sebagai
praktek seks bebas karena dilakukan di luar lembaga perkawinan yang resmi.
Persoalan moral kedua yang dialami kaum gay adalah bahwa
hubungan seksual yang mereka lakukan adalah perbuatan homoseksual.
Norma
merupakan salah satu tolak ukur yang menentukan suatu perilaku dinyatakan
menyimpang atau tidak. Norma yang ada dalam masyarakat adalah berupa tata
aturan atau peraturan yang mengikat kelompok individu dalam suatu daerah atau
wilayah sebagai bentuk representasi kontrol sosial yang akan mengendalikan
tingkah laku anggota masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pemahaman dan
penerapan orientasi seksual anggotanya, kontrol sosial yang ada dalam
masyarakat berperan sebagai pembatas orientasi seksual agar tidal menyalahi
norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Ketika muncul pandangan orientasi
seksual maka kontrol sosial yang ada dalam masyarakat akan membatasinya untuk
berkembang, dan dalam konteks yang lebih ekstrim maka setiap pandangan
orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma akan diusahakan untuk
dilenyapkan.
D.
Gay
dalam sudut pandang Sosiologi
Dalam
memahami perilaku individu, sosiologi memusatkan perhatian pada hubungan antara
pengaruh perilaku seorang individu terhadap lingkungan dan dampak lingkungan
terhadap individu itu sendiri. Lingkungan merupakan tempat perilaku seorang
individu dikembangkan, namun perilaku individu itu sendiri juga mempengaruhi
lingkungan tempat si individu itu berada. Sosiologi melihat sosialisasi yang
muncul pada masa lalu seorang gay akan menentukan perilaku
individu tersebut, hal inilah yang mempengaruhi perubahan orientasi seksualnya
menjadi homoseksual.
Dalam
konsep fungsionalisme struktural yang dijelaskan oleh Tallcot Parsons,
masyarakat dilihat sebagai sebuah hal yang terdiri dari sistem maupun unsur
dalam sistem (sub-sistem) yang akan menentukan bagaimana kehidupan sosial dalam
suatu masyarakat dapat berjalan dengan baik. Menurut teori fungsionalisme
struktural, maka ketika salah satu sistem maupun sub-sistem dalam masyarakat
tidak berfungsi sebagaimana mestinya dapat menyebabkan terciptanya penyimpangan
dalam diri seorang individu yang terkait dengan sistem maupun sub-sistem
tersebut. Perilaku menyimpang yang muncul dalam diri seorang gay diakibatkan
oleh sosialisasi dari sistem maupun sub-sistem dalam masyarakat yang berjalan
tidak semestinya. Beberapa unsur masyarakat yang dapat dikatakan sebagai sistem
yang membentuk masyarakat antara lain adalah lingkungan keluarga dan pergaulan.
Dalam
sudut pandang sosiologi, penyimpangan dimungkinkan terjadi karena seseorang
menerapkan peranan sosial yang menunjukan perilaku menyimpang. Bagaimana
seseorang dapat memainkan peran sosial yang menyimpang sangat terkait dengan
sosialisasi yang ia dapat dalam sistem masyarakat tempat ia berada. Seperti
telah dijelaskan diatas, keluarga dan lingkungan pergaulan akan sangat
mempengaruhi pembentukan peranan sosial seorang individu, hal ini dikarenakan
keluarga dan lingkungan pergaulan merupakan salah satu sistem penopang
masyarakat dimana seorang individu memiliki intensitas interaksi yang tinggi
terhadapnya. Dalam konteksnya sebagai salah satu bentuk penyimpangan sosial seorang gay pada
awalnya memperoleh sosialisasi untuk menjadi homoseksual dari lingkungan dan
keluarganya.
Salah
satu fenomena yang saat ini terjadi dalam kajian homoseksual adalah bergesernya
pandangan dan reaksi masyarakat terhadap kaum gay maupun homoseksual
secara keseluruhan. Seiring dengan berkembangnya perubahan sosial kontemporer
seperti kampanye hak asasi manusia dan kesetaraan gender maka keseluruhan hal
tersebut turut mempengaruhi perspektif masyarakat terhadap kaum homoseksual.
Beberapa negara saat ini mulai melegalkan homoseksual serta pernikahan sesama
jenis, hal ini dilandasi oleh gagasan antidiskriminasi sebagai wujud
perlindungan hak asasi manusia. Namun dalam ruang lingkup yang lebih luas,
hingga saat ini masih muncul banyak perdebatan mengenai moralitas seorang
homoseksual. Perdebatan ini dipicu oleh kenyataan bahwa homoseksual telah
melanggar mayoritas nilai dan norma yang ada dalam agama, budaya , maupun hukum
yang dianut dan diterapkan oleh mayoritas masyarakat dunia saat ini. Namun
diluar segala kontroversinya, hingga saat ini kaum gay telah
terbukti mampu menunjukkan eksistensi ditengah masyarakat yang menentangnya.
Kaum gay yang telah terorganisir dalam banyak kelompok
homoseksual mampu menemukan solidaritas yang didasari persamaan sebagai
kaum gay. Solidaritas yang muncul tersebut selanjutnya menjadi
media sosialisasi mereka yang bertujuan agar kaum gay dapat
diterima oleh masyarakat.
Daftar Pustaka
Adelsa,
Veronica. 2009. Definisi dan
Proses Homoseksual.http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=551(diakses
18 September 2013)
Dagun,
Save M. 1990. Psikologi
Keluarga: Peranan Ayah dalam Keluarga. Jakarta:
Rhineka Cipta.
Kartono, Kartini. 1989. Psikologi
Abnormal dan Abnormalitas Seksual.Bandung: CV. Mandar Maju.
Oetomo,
Dede. 1991. “Homoseksualitas di Indonesia”. Dalam Prisma, No. 20 Edisi 7, Juli,
th. 1991.http://staff.ui.ac.id/internal/131882269/material/Dede-Oetomo.pdf (diakses
18 September 2013)
_______.
2001. Memberi Suara pada yang
Bisu. Yogyakarta: Galang Press.
hi..
ReplyDeletemohon diberi izin pada saya untuk menggunakan hasil penulisan ini sebagai salah satu bahan dalam kajian saya.. :)