proposal penelitian kualitatif Nico Fergiyono
Friday, 13 June 2014
Add Comment
A. Judul
Dampak Kebiasaan Merokok di
Lingkungan Kampus Terhadap Sensitivitas Interaksi Mahasiswa Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
B. Latar Belakang Masalah
Kebiasaan
merokok di lingkungan umum dianggap sangat mengganggu, terutama bagi mereka yang
biasa hidup sehat. Di indonesia sendiri kebiasaan ini dapat dengan mudah
dilihat pada masyarakat khususnya masyarakat tingkat menengah kebawah. Merokok
dianggap sebagai kebiasaan buruk yang berdampak negatif bagi diri sendiri
maupun orang lain, karena rokok mengandung zat adiktif yang membahayakan
kesehatan manusia baik gangguan kesehatan bagi perokok aktif maupun perokok
pasif. Dampak gangguan kesehatan yang diakibatkan rokok antara lain gangguan
pernafasan serangan jantung, kanker paru-paru, impotensi, gangguan kehamilan
pada ibu hamil maupun janin yang dikandungnya. Merokok juga hanya diperbolehkan
bagi mereka yang sudah dewasa.
Dalam
kasus kebiasaan merokok seseorang, menimbulkan resiko yang lebih besar bagi
perokok pasif daripada perokok pasif. Hal inilah yang mengakibatkan seseorang
yang tidak merokok cenderung enggan untuk berinteraksi atau berkomunikasi
secara langsung dengan orang yang merokok. Perasaan enggan ini menjadi salah
satu sebab penghambat interaksi antar manusia khususnya bagi orang yang merokok
dengan orang yang tidak merokok. Akan tetapi sebaliknya bagi orang yang sesama
perokok, rokok dapat menjadi media interaksi yang baik antara orang yang satu
dengan satu atau beberapa orang lainnya, bahkan bagi mereka yang belum saling
kenal satu sama lain. Interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat terkait
hubungan manusia dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa faktor yang
dapat menghambat atau pendorongnya, dengan demikian perilaku merokok dianggap
sebagai faktor penghambat dalam hal ini. Bagi mereka yang tahu akan bahaya
merokok, maka mereka akan lebih memilih untuk menghindari segala resiko dari
bahaya rokok baik dampak langsung (sebagai perokok aktif) maupun dampak yang
ditimbulkan secara tidak langsung (prokok pasif). Hal inilah yang dapat
mendorong seseorang untuk lebih memilih tidak melakukan kontak langsung,
mengingat dampak negatifnya bagi kesehatan begitu besar.
C. Identifikasi Masalah
Interaksi
sosial yang terjadi di lingkungan fis uny memiliki beberapa permasalahan yang
disebabkan oleh adanya perilaku kebiasaan merokok oleh mahasiswa didalamnya.
Maka penulis mengidentifikasikan beberapa permasalahan tentang interaksi
mahasiswa dengan kebiasaan merokok.
1.
Merokok dianggap sebagai kebiasaan
buruk, karena tidak bermanfaat dan merupakan bentuk tindakan pemborosan.
2.
Rasa enggan yang dimiliki mahasiswa yang
tidak merokok untuk berdekatan bahkan berinteraksi dengan mahasiswa lain yang
merokok.
3.
Kampus merupakan tempat umum yang tidak
memperbolehkan mahasiswanya untuk merokok, sehingga mahasiswa yang merokok
dianggap melakukan penyimpangan dan orang akan bersikap arogan atau gengsi
untuk bergaul dengan orang yang melakukan penyimpangan.
4.
Asap rokok merupakan polusi yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan bagi mahasiswa lain.
5.
Aroma tidak sedap yang menyengat dari
asap rokok yang membuat masiswa lain merasa minder untuk berdekatan bahkan
berinteraksi, terlebih lagi aroma rokok masih dapat tercium walaupun perokok
sudah tidak sedang merokok.
6.
Merokok ditempat umum seperti kantin,
taman, koridor atau lorong kampus merupakan tindakan yang mengganggu ketertiban
umum.
7.
Banyaknya mahasiswa perempuan yang
merasa tidak nyaman atau bahkan terganggu dengan mhasiswa laki-laki yang
merokok, mengingat kebanyakan perempuan memang tidak merokok dan begitu memperhatikan
kesehatan.
8.
Terdapat pandangan masyarakat mengenai
kebiasaan merokok merupakan kebiasaan orang-orang dengan tingkat ekonomi
menengah kebawah.
9.
Pengetahuan mahasiswa mengenai dampak
buruk yang diakibatkan dari rokok, mendorong mahasiswa untuk menghindar.
D. Batasan Masalah
1. Mengetahui dampak merokok pada proses interaksi
2. Mengetahui berbagai tindakan yang dilakukan akibat
merokok saat berinteraksi
3. Mengetahui korelasi dampak merokok terhadap intensitas
berinteraksi
4. Mengetahui berbagai upaya yang dilakukan perokok pasif
dalam berinteraksi dengan perokok aktif
5. Mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan dari
merokok dengan intensitas berinteraksi
6. Mengetahui siapa saja yang menjadi perokok aktif di
lingkungan kampus
E. Rumusan Masalah
1.
Apakah kebiasaan merokok menjadi
pertimbangan tersendiri bagi mahasiswa
dalam melakukan kontak sosial?
2.
Bagaimana bentuk interaksi yang terjadi
antara mahasiswa yang tidak merokok dengan mahasiswa yang merokok?
3.
Bagaimana bentuk interaksi yang terjadi
antar mahasiswa sesama perokok?
4.
Apakah peran gender berpengaruh terhadap
interaksi sosial, berkenaan dengan kebiasaan merokok mahasiswa laki-laki?
F. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui
apakah
kebiasaan merokok menjadi pertimbangan tersendiri bagi mahasiswa dalam melakukan kontak sosial
2.
Untuk
mengetahui bagaimana bentuk interaksi yang terjadi antara
mahasiswa yang tidak merokok dengan mahasiswa yang merokok
3.
Untuk
mengetahui bagaimana bentuk interaksi yang terjadi antar
mahasiswa sesama perokok
4.
Untuk
mengetahui apakah peran gender berpengaruh terhadap interaksi
sosial, berkenaan dengan kebiasaan merokok mahasiswa laki-laki
G. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini
yang mengangkat tema tentang Dampak
Kebiasaan Merokok di Lingkungan Kampus Terhadap Sensitivitas Interaksi
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta,
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Adapun kegunaan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat Teoritis
a.
Penelitian ini diharapkan mampu menambah
informasi serta dapat juga sebagai bahan referensi yang berkaitan dengan Sensitivitas Interaksi Mahasiswa.
b.
Penelitian ini dapat dijadikan
penelitian yang relevan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2.
Manfaat Praktis
a.
Bagi Universitas Negeri Yogyakarta.
Penelitian
ini diharapkan mampu untuk dijadikan sarana acuan dalam meningkatkan dan
menambah wawasan mengenai Merokok di Lingkungan Kampus
Terhadap Sensitivitas Interaksi Mahasiswa khususnya di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
b.
Bagi Peneliti
1)
Penelitian ini untuk memenuhi syarat
dalam rangka menyelesaikan tugas akhir mata kuliah metode penelitian kualitatif.
2)
Menambah pengetahuan dan pengalaman
peneliti mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat selama perkuliahan
kedalam karya nyata.
c.
Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan
dapat menambah pengetahuan dan memberikan informasi yang luas mengenai Merokok di Lingkungan Kampus Terhadap Sensitivitas
Interaksi Mahasiswa khususnya di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
H. Kajian Pustaka
I.
INTERAKSI SOSIAL
a)
Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi
sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan
sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan
individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun
antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana
simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya
oleh mereka yang menggunakannya. Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer
adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang
dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu
itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir
adalah Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna
dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai
sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process Interaksi
sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak
sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama
dari
terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan
pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Karp dan
Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi
sumber informasi bagi
dimulainya komunikasi atau interaksi sosial.
Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu
Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki
seorang individu sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras.
Penampilan di sini dapat meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan
berbusana, dan wacana. Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat
dilihat melalui dimensi ruang dan dimensi waktu dari Robert T Hall dan Definisi
Situasi dari W.I. Thomas. Hall membagi ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4
batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak
publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga menjelaskan aturan mengenai
Waktu. Pada dimensin waktu ini terlihat adanya batasan toleransi waktu yang
dapat mempengaruhi bentuk interaksi. Aturan yang terakhir adalah dimensi
situasi yang dikemukakan oleh W.I. Thomas. Definisi situasi merupakan
penafsiran seseorang sebelum memberikan reaksi. Definisi situasi ini dibuat
oleh individu dan masyarakat.
b)
Syarat-syarat Terjadinya
Interaksi Sosial
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi
apabila tidak memenuhi
dua
syarat (Soerjono Sukanto) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi.
1.
Kontak
Sosial
Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum
yang berarti bersama-sama dan tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah
kontak adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila
terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu
hubungan
badaniah,
karena orang dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya,
seperti
misalnya dengan cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan
berkembangnya
teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama
lain
dengan melalui telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu
memerlukan
sentuhan badaniah.
Kontak sosial dapat
berlangsung dalam tiga bentuk (Soerjono Soekanto :
59)
yaitu sebagai berikut :
·
Antara orang perorangan
Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil
mempelajari kebiasaankebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi
melalui komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari
norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana dia menjadi anggota.
·
Antara orang perorangan dengan
suatu kelompok manusia atau
sebaliknya
Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang
merasakna bahwa
tindakan-tindakannya
berlawanan dengan norma-norma masyarakat.
·
Antara suatu kelompok manusia
dengan kelompok manusia lainnya.
Umpamanya
adalah dua partai politik yang bekerja sama untuk mengalahkan partai politik
lainnya.
Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal
sosial positif dan kontak sosial negative. Kontak sosial positif adalah kontak
sosial yang mengarah
pada
suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negative mengarah kepada suatu
pertentangan
atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak
sosial juga memiliki sifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila
yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya
kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara.
2.
Komunikasi
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi
tafsiran kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah
atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.
Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan.
Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek
kelompok lain aatau orang lain. Hal ini kemudain merupakan bahan untuk
menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya.
Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi berbagai
macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum misalnya,
dapat ditafsirkan sebagai keramah tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai
sikap sinis dan sikap ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi memungkinkan
kerja sama antar perorangan dan atau antar kelompok. Tetapi disamping itu juga
komunikasi bisa menghasilkan pertikaian yangterjadi karena
salah
paham yang masing-masing tidak mau mengalah.
c)
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
1.
Proses Asosiatif (Processes
of Association)
a.
Kerja Sama (Cooperation)
Beberapa sosiolog menganggap bahwa kerja sama
merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Sosiolog lain menganggap bahwa
kerja sama merupakan proses utama. Golongan terakhir tersebut memahamkan kerja sama
untuk menggambarkan sebagian besar bentuk-bentuk interaksi sosial atas dasar
bahwa segala macam bentuk inetarksi tersebut dapat dikembalikan kepada kerja
sama. Kerja sama di sini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan
bersama. Bentuk dan pola-pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok
manusia.
Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa kanak-kanak di
dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan.
Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang
dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa
tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada
iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan
diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian keahlian tertentu diperlukan
bagi mereka yang bekerja sama, agar rencana kerja samanya dapat terleksana
dengan baik. Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap
kelompoknya
(in-group-nya)
dan kelompok lainnya (out-group-nya). Kerja sama mungkin
akan
bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan
luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional
telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri seseorang atau segolongan orang.
Kerja sama dapat bersifat agresif apabila kelompok dalam jangka waktu yang lama
mengalami kekecewaan sebagai akibat perasaan tidak puas, karena
keinginan-keinginan pokoknya tak dapat terpenuhi oleh karena adanya
rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok itu.
Sehubungan dengan pelaksanaan kerja sama, ada lima
bentuk kerja sama,
yaitu:
1)
Kerukunan yang mencakup
gotong-royong dan tolong-menolong.
2)
Bargaining,
yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa
antara dua organisasi atau lebih.
3)
Ko-optasi (Co-optation),
yaitu suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau
pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk
menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilisasi organisasi yang
bersangkutan.
4)
Koalisi (Coalition),
yaitu kombinasi antara dua ornagisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan
yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara
waktu, karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktur
yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi karena maksud utama
adalah untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnya alaha
kooperatif.
5)
Joint-ventrue,
yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya pemboran
minyak, pertambangan batu bara, perfilman, perhotelan, dll.
b.
Akomodasi (Accomodation)
1)
Pengertian
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu
untuk menunjuk
pada
suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk
pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium)
dalam interaksi antara orang-peorangan atau
kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan normanorma sosial dan
nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi
menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu
usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi
adalah suatu pengertian yang
digunakan
oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan
sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation) yang
dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana
makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya. Dengan pengertian
tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses dimana orang perorangan atau
kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling bertentangan, saling mengadakan
penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi sebenarnya
merupakan suatu cara untuk menyelesaikan
pertentangan
tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan
kepribadiannya. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang
dihadapinya, yaitu:
a)
Untuk mengurangi pertentangan antara
orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham.
Akomodasi disini bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua
pendapat tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru.
b)
Mencegah meledaknya suatu
pertentangan untuk sementara waktu.
c)
Untuk memungkinkan terjadinya
kerja sama antara kelompokkelompok sosial yang hidupnya terpisah sebagai akibat
faktorfaktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada
masyarakat yang mengenal sistem kasta.
d)
Mengusahakan peleburan antara
kelompok-kelompok sosial yang terpisah.
2)
Bentuk-bentuk akomodasi
a)
Coercion,
adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya
paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi, dimana salah satu pihak
berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya
dapat dilakukan secara fisik (langsung), maupun psikologis (tidak langsung).
b)
Compromise,
adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling
mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan
yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah bahwa
salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya
dan begitu pula sebaliknya.
c)
Arbitration,
merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang
berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh
pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang
berkedudukan lebih tinggi dari pihak-pihak bertentangan.
d)
Mediation hampir
menyerupai arbitration. Pada mediation diundanglah pihak ketiga
yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Tugas pihak ketiga tersebut
adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanyalah
sebagai penasihat belaka, dia tidak berwenang untuk memberi keputusan-keputusan
penyelesaian perselisihan tersebut.
e)
Conciliation,
adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak
yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. Conciliation bersifat
lebih lunak daripada coercion dan membuka kesempatan bagi pihak-pihak
yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.
f)
Toleration,
juga sering disebut sebagai tolerant-participation. Ini merupakan suatu
bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-kadang toleration
timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, ini disebabkan karena
adanya watak orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia untuk sedapat
mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan.
g)
Stalemate,
merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan karena
mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam
melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan oleh karena kedua belah pihak
sudah tidak ada kemungkinan lagi baik untuk maju maupun untuk mundur.
h)
Adjudication,
yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
3)
Hasil-hasil akomodasi
a)
Akomodasi, dan integrasi
masyarakat, telah berbuat banyak untuk menghindari masyarakat dari benih-benih
perentangan latent yang akan melahirkan pertentangan baru.
b)
Menekan oposisi. Seringkali
suatu persaingan dilaksanakan demi keuntungan suatu kelompok tertentu demi
kerugian pihak lain.
c)
Koordinasi berbagai kepribadian
yang berbeda.
d)
Perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan
agar sesuai dengan keadaan baru atau keadaan yang berubah.
e)
Perubahan-perubahan dalam
kedudukan.
f)
Akomodasi membuka jalan ke arah
asimilasi.
c.
Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi
merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengann adanya
usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan
atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usahausaha
untuk
mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Secara
singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama,
walau kadangkala bersifat emosional, dengan tujuan untuk mencapai kesatuan,
atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran, dan tindakan.
Proses asimilasi timbul bila ada:
·
Kelompok-kelompok manusia yang
berbeda kebudayaannya.
·
Orang perorangan sebagai warga
kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang
lama.
·
Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok
manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.
Faktor-faktor
yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi adalah:
·
Toleransi
·
Kesempatan-kesempatan yang
seimbang di bidang ekonomi
·
Sikap menghargai orang asing
dan kebudayaannya
·
Sikap terbuka dari golongan
yang berkuasa dalam masyarakat
·
Persamaan dalam unsur-unsur
kebudayaan
·
Perkawinan campur (amalgamation)
·
Adanya musuh bersama di luar.
Faktor-faktor
umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi
adalah:
·
Terisolasi kehidupan suatu
golongan tertentu dalam masyarakat.
·
Kurangnya pengetahuan mengenai
kebudayaan yang dihadapi.
·
Perasaan takut terhadap
kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi.
·
Perasaan bahwa suatu kebudayaan
golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau
kelompok lainnya.
·
Perbedaan warna kulit atau
perbedaan ciri-ciri badaniah.
·
In-group feeling yang
kuat.
·
Golongan minoritas mengalami
gangguan-gangguan dari golongan yang berkuasa.
·
Perbedaan kepentingan dan
pertentangan-pertentangan pribadi
2.
Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional
processes, persis
halnya
dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun
bentuk
dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan system social masyarakat
bersangkutan.
Apakah suatu masyarakat lebih menekankan pada salah satu bentuk
oposisi,
atau lebih menghargai kerja sama, hal itu tergantung pada unsure-unsur
kebudayaan
terutama yang menyangkut system nilai, struktur masayarakat dan
system
sosialnya. Factor yang paling menentukan adalah system nilai masyarakat
tersebut.
Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawanseseoran atau
sekelompok
manusia, untuk mencapai tujuan tertentu. Terbatasnya makanan,
tempat
tinggal serta lain-lain factor telah melahirkan beberapa bentuk kerja sama
dan
oposisi. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk
tetap
hidup (struggle for existence). Perlu dijelaskan bahwa pengertian struggle
for
existence juga dipakai untuk menunjuk kepada suatu keadaan di mana manusia yang
satu tergantung pada kehidupan manusia yang lainnya, keadaan mana menimbulkan
kerja sama untuk dapat tetap hidup. Perjuangan ini mengarah pada paling sedikit
tiga hal yaitu perjuangan manusia melawan sesame, perjuangan manusia melawan
makhluk-makhluk jenis lain serta perjuangan manusia melawan alam.
Untuk kepentingan analisis ilmu pengetahuan, oposisi
atau proses-proses
yang
disosiatif dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu :
a.
Persaingan (competition)
b.
Kontravensi (contravention)
c.
Pertentangan atau pertikaian
(conflict)
a.
Persaingan (competition)
Adalah
suatu proses social, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang
bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu
masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok
manusia) dengan cara menarik perhatian public atau dengan mempertajam prasangka
yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Ada beberapa bentuk
persaingan, di antaranya :
1)
Persaingan ekonomi. Timbul
karena terbatasnya persediaan apabila dibandingkan dengan jumlah konsumen.
2)
Persaingan kebudayaan.
Menyangkut persaingan kebudayaan, keagamaan, lembaga kemasyarakatan seperti
pendidikan, dan sebagainya.
3)
Persaingan kedudukan dan
peranan. Di dalam diri seseorang maupun di dalam kelompok terdapat
keinginan-keingian untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai
kedudukan serta peranan yang terpandang.
4)
Persaingan ras. Perbedaan ras
baik karena perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, maupun corak rambut dan
sebagainya, hanya merupakan suatu perlambang kesadaran dan sikap atas
perbedaanperbedaan dalam kebudayaan.
Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat memiliki
beberapa fungsi,
antara
lain :
1)
Menyalurkan keinginan-keinginan
individu ata u kelompok yang bersifat kompetitif
2)
Sebagai jalan di mana
keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat
perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.
3)
Merupakan alat untuk mengadakan
seleksi atas dasar seks dan social
4)
Alat untuk menyaring para warga
golongan karya (fungsional) yang akhirnya akan menghaslkan pembagian kerja yang
efektif.
Hasil suatu persaingan terkait erat dengan berbagai
factor, antara lain :
·
Kepribadian seseorang
·
Kemajuan masyarakat
·
Solidaritas kelompok
·
disorganisasi
b.
Kontravensi (contravention)
Kontravensi
pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses social yang berada antara
persaingan dan pertentangan atau pertikaian.
1)
Bentuk-bentuk kontravensi
menurut Leopold von Wiese, dan Howard Becker, ada 5, yaitu :
a.
Yang umum meliputi
perbuatan-perbuatan seperti penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan
menghalang-halangi, protes, gangguan-gangguan, perbuatan kekerasan, dan
mengacaukan rencana pihak lain.
b.
Yang sederhana seperti
menyangkal pernyataan orang lain di depan umum, memaki melalui selembaran
surat, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian kepada pihak lain, dan
sebagainya.
c.
Yang intensif mencakup
penghasutan, menyebarkan desasdesus, mengecewakan pihak lain, dsb.
d.
Yang rahasia, seperti mengumumkan
rahasia pihak lain, perbuatan khianat, dll.
e.
Yang taktis, misalnya
mengejutkan lawan, mengganggu atau membingungkan pihak lain, seperti dalam
kampanye parpol dalam pemilihan umum.
2)
Tipe-tipe Kontravensi
Menurut von Wiese dan Becker terdapat tiga tipe umum
kontravensi yaitu kontravensi generasi masyarakat 9 bentokan antara generasi muda
dengan tua karena perbedaan latar belakang pendidikan, usia dan pengalaman),
kontravensi yang menyangkut seks (hubungan suami dengan istri dalam keluarga)
dan kontravensi parlementer (hubungan antara golongan mayoritas dengan
minoritas dalam masyarakat baik yang menyangkut hubungan mereka di dalam lembaga-lembaga
legislative, keagamaan, pendidikan, dan seterusnya). Selain tipe-tipe umum
tersebut ada ada pula beberapa kontravensi yang sebenarnya terletak di antara
kontravensi dan pertentangan atau pertikaian,yang dimasukkan ke dalam kategori
kontravensi, yaitu :
·
Kontravensi antar masyarakat
·
Antagonism keagamaan
·
Kontravensi intelektual
·
Oposisis moral
Kontravensi, apabila dibandingkan dengan persaingan
dan pertentangan bersifat agak tertutup atau rahasia.
c.
Pertentangan atau pertikaian
(conflict)
Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses
social di mana individu
atau
kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan
ancaman atau kekerasan.
Peyebab terjadinya pertentangan, yaitu :
·
Perbedaan individu-individu
·
Perbedaan kebudayaan
·
Perbedaan kepentingan
·
Perbedaan sosial
Pertentangan-pertentangan yang menyangkut suatu
tujuan, nilai atau kepentingan, sepanjang tidak berlawanan dengan pola-pola
hubungan social di dalam srtuktur social tertentu, maka
pertentangan-pertentangan tersebut bersifat positif. Masyarakat biasanya
mempunyai alat-alat tertentu untuk menyalurkan benih-benih permusuhan, alat
tersebut dalam ilmu sosiologi dinamakan safety-valve institutions yang
menyediaka objek-objek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-pihak
yang bertikai ke arah lain.
Bentuk-bentuk pertentangan antara lain :
·
Pertentengan pribadi
·
Pertentangan rasial
·
Pertentangan antara kelas-kelas
social, umumnya disebabkan oleh karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan.
·
Pertentangan politik
·
Pertentangan yang bersifat
internasional.
Akibat dari bentuk-bentuk pertentangan adalah sebagai
berikut :
1)
Bertambahnya solidaritas
“in-group” atau malah sebaliknya yaitu terjadi goyah dan retaknya persatuan
kelompok
2)
Perubahan kepribadian
3)
Akomodasi, dominasi dan
takluknya satu pihak tertentu
d)
Jenis-jenis Interaksi Sosial
Ada tiga jenis interaksi sosial, yaitu:
1.
Interaksi antara Individu dan
Individu.
Pada saat dua individu bertemu, interaksi sosial sudah
mulai terjadi. Walaupun kedua individu itu tidak melakukan kegiatan apa-apa,
namun sebenarnya interaksi sosial telah terjadi apabila masing-masing pihak
sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan dalam diri
masing-masing. Hal ini sangat dimungkinkan oleh faktor-faktor tertentu, seperti
bau minyak wangi atau bau keringat yang menyengat, bunyi sepatu ketika sedang
berjalan dan hal lain yang bisa mengundang reaksi orang lain.
2.
Interaksi antara Kelompok dan
Kelompok.
Interaksi jenis ini terjadi pada kelompok sebagai satu
kesatuan bukan sebagai pribadi-pribadi anggota kelompok yang bersangkutan.
Contohnya, permusuhan antara Indonesia dengan Belanda pada zaman perang fisik.
3.
Interaksi antara Individu dan
Kelompok.
Bentuk interaksi di sini berbeda-beda sesuai dengan
keadaan. Interaksi tersebut lebih mencolok manakala terjadi perbenturan antara
kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok.
e)
Ciri-ciri Interaksi Sosial
Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Ada pelaku dengan jumlah lebih
dari satu orang
2.
Ada komunikasi antarpelaku
dengan menggunakan simbol-simbol
3.
Ada dimensi waktu (masa lampau,
masa kini, dan masa mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedan
berlangsung
4.
Ada tujuan-tujuan tertentu,
terlepas dari sama tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh
pengamat.
Tidak semua tindakan merupakan
interaksi. Hakikat interaksi terletak
pada
kesadaran mengarahkan tindakan pada orang lain. Harus ada orientasi timbal-balik
antara pihak-pihak yang bersangkutan, tanpa menghiraukan isi perbuatannya:
cinta atau benci, kesetiaan atau pengkhianatan, maksud melukai
atau
menolong.
f)
Faktor-faktor Interaksi Sosial
Kelangsungan interaksi sosial, sekalipun dalam
bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks, tetapi
padanya dapat kita beda-bedakan beberapa faktor yang mendasarinys, baik secara
tunggal maupun
bergabung,
yaitu (vide Bonner, Social Psychology, no. 3):
1.
Faktor Imitasi
Gabriel Tarde beranggapan bahwa seluruh kehidupan
sosial sebenarnya berdasarkan faktor imitasi. Walaupun pendapat ini ternyata
berat sebelah, peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Misalnya
bagaimana seorang anak belajar berbicara. Mula-mula ia mengimitasi dirinya
sendiri kemudian ia mengimitasi kata-kata orang lain. Ia mengartikan kata-kata
juga karena mendengarnya dan mengimitasi penggunaannya dari orang lain. Lebih
jauh, tidak hanya berbicara yang merupakan alat komunikasi yang terpenting, tetapi
juga cara-cara lainnya untuk menyatakan dirinya dipelajarinya melalui proses
imitasi. Misalnya, tingkah laku tertentu, cara memberikan hormat, cara
menyatakan terima kasih, cara-cara memberikan isyarat tanpa bicara, dan
lain-lain. Selain itu, pada lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu,
imitasi mempunyai peranannya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat
merangsang perkembangan watak seseorang. Imitasi dapat mendorong individu atau
kelompok untuk melaksanakan perbuatanperbuatan yang baik.
Peranan imitasi dalam interaksi sosialjuga mempunyai
segi-segi yang negatif. Yaitu, apabila hal-hal yang diimitasi itu mungkinlah
salah atau secara moral dan yuridis harus ditolak. Apabila contoh demikian
diimitasi orang banyak,
proses
imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang
meliputi
jumlah serba besar. Selain itu, adanya proses imitasi dalam interaksi sosial
dapat menimbulkan kebiasaan di mana orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik,
seperti yang berlangsung juga pada faktor sugesti. Dengan kata lain, adanya
peranan imitasi dalam interaksi sosial dapat memajukan gejala-gejala kebiasaan
malas
berpikir kritis pada individu manusia yang mendangkalkan kehidupannya.
Imitasi bukan merupakan dasar pokok dari semua
interaksi sosial seperti
yang
diuraikan oleh Gabriel tarde, melainkan merupakan suatu segi dari proses
interaksi sosial, yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi
keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku di antara orang banyak.
2.
Faktor Sugesti
Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan
interaksi sosial hampir sama. Bedanya adalah bahwa dalam imitasi itu orang yang
satu mengikuti
sesuatu
di luar dirinya; sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau
sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain di luarnya. Sugesti dalam
ilmu jiwa sosial dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana seorang individu
menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang
lain tanpa kritik terlebih dahulu. Secara garis besar, terdapat beberapa
keadaan tertentu serta syarat-syarat yang memudahkan sugesti terjadi, yaitu:
a.
Sugesti karena hambatan
berpikir
Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa orang yang
dikenainya mengambil alih pandangan-pandangan dari orang lain tanpa memberinya
pertimbangn-pertimbangan kritik terlebih dahulu. Orang yang terkena sugesti itu
menelan apa saja yang dianjurkan orang lain. Hal ini tentu lebih mudah terjadi
apabila ia – ketika terkena sugesti – berada dalam keadaan ketika cara-cara
berpikir kritis itu sudah agak terkendala. Hal ini juga dapat terjadi –
misalnya – apabila orang itu
sudah
lelah berpikir, tetapi juga apabila proses berpikir secara itu dikurangi
dayanya karena sedang mangalami rangsangan-rangsangan emosional. Misalnya:
Rapat-rapat Partai Nazi atau rapat-rapat raksasa seringkali diadakan pada malam
hari ketika orang sudah cape dari pekerjaannya. Selanjutnya mereka pun
senantiasa memasukkan dalam acara rapat-rapat itu hal-hal yang menarik
perhatian, merangsang emosi dan kekaguman sehingga mudah terjadi sugesti kepada
orang banyak itu.
b.
Sugesti karena keadaan pikiran
terpecah-pecah (disosiasi)
Selain dari keadaan ketika pikiran kita dihambat
karean kelelahan atau
karena
rangsangan emosional, sugesti itu pun mudah terjadi pada diri seseorang apabila
ia mengalami disosiasi dalam pikirannya, yaitu apabila pemikiran orang itu
mengalami keadaan terpecah-belah. Hal ini dapat terjadi – misalnya – apabila
orang yangbersangkutan menjadi bingung karena ia dihadapkan pada
kesulitan-kesulitan hidup yang terlalu kompleks bagi daya penampungannya.
Apabila orang menjadi bingung, maka ia lebih mudah terkena sugesti orang lain
yang mengetahui jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya itu. Keadaan
semacam ini dapat pula menerangkan mengapa dalam zaman modern ini orang-orang
yang biasanya berobat kepada dokter juga mendatangi dukun untuk memperoleh
sugestinya yang dapat membantu orang yang bersangkutan mengatasi
kesulitan-kesulitan jiwanya.
c.
Sugesti karena otoritas atau
prestise
Dalam hal ini, orang cenderung menerima
pandangan-pandangan atau sikap-sikap tertentu apabila pandangan atau sikap
tersebut dimiliki oleh para ahli dalam bidangnya sehingga dianggap otoritas
pada bidang tersebut atau memiliki prestise sosial yang tinggi.
d.
Sugesti karena mayoritas
Dalam hal ini, orang lebih cenderung akan menerima
suatu pandangan atau ucapan apabila ucapan itu didukung oleh mayoritas, oleh sebagian
besar dari golongannya, kelompknya atau masyarakatnya.
e.
Sugesti karena ”will to
believe”
Terdapat pendapat bahwa sugesti justru membuat sadar
akan adanya sikap-sikap dan pandangn-pandangan tertentu pada orang-orang. Dengan
demikian yang terjadi dalam sugesti itu adalah diterimanya suatu
sikap-pandangan tertentu karena sikap-pandangan itu sebenarnya sudah tersapat
padanya tetapi dalam kedaan terpendam. Dalam hal ini, isi sugesti akan diterima
tanpa pertimbangan lebih lanjut karena pada diri pribadi orang yang
bersangkutan sudah terdapat suatu kesediaan untuk lebih sadar dan yakin akan
hal-hal disugesti itu yang sebenarnya sudah terdapat padanya.
3.
Fakor Identifikasi
Identifikasi adalah sebuah istilah dari psikologi
Sigmund Freud. Istilah identifikasi timbul dalam uraian Freud mengenai
cara-cara seorang anak belajar norma-norma sosial dari orang tuanya. Dalam
garis besarnya, anak itu belajar menyadari bahwa dalam kehidupan terdapat
norma-norma dan peraturan-peraturan yang sebaiknya dipenuhi dan ia pun
mempelajarinya yaitu dengan dua cara utama.
Pertama ia mempelajarinya karena didikan orangtuanya
yang menghargai
tingkah
laku wajar yang memenuhi cita-cita tertentu dan menghukum tingkah laku yang
melanggar norma-normanya. Lambat laun anak itu memperoleh pengetahuan mengenai
apa yang disebut perbuatan yang baik dan apa yang disebut perbuatan yang tidak
baik melalui didikan dari orangtuanya. Identifikasi dalam psikologi berarti
dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan seorang lain. Kecenderungan ini bersifat tidak sadar
bagi anak dan tidak hanya merupakan kecenderungan untuk menjadi seperti
seseorang secara lahiriah saja, tetapi justru secara batin. Artinya, anak itu
secara tidak sadar mengambil alih sikap-sikap orangtua yang diidentifikasinya
yang dapat ia pahami norma-norma dan pedoman-pedoman tingkah lakunya sejauh
kemampuan yang ada pada anak itu.
Sebenarnya,
manusia ketika ia masih kekurangan akan norma-norma, sikapsikap, cita-cita,
atau pedoman-pedoman tingkah laku dalam bermacammacam situasi dalam
kehidupannya, akan melakukan identifikasi kepada orang-orang yang dianggapnya
tokoh pada lapangan kehidupan tempat ia masih kekurangan pegangan. Demikianlah,
manusia itu terus-menerus melengkapi sistem norma dan cita-citanya itu,
terutama dalam suatu masyarakat yang berubah-ubah dan yang situasi-situasi
kehidupannya serba ragam.
Ikatan yang terjadi antara orang yang mengidentifikasi
dan orang tempat identifikasi merupakan ikatan batin yang lebih mendalam
daripada ikatan antara orang yang saling mengimitasi tingkah lakunya. Di
samping itu, imitasi dapat berlangsung antara orang-orang yang tidak saling
kenal, sedangkan orang tempat kita mengidentifikasi itu dinilai terlebih dahulu
dengan cukup teliti (dengan perasaan) sebelum kita mengidentifikasi diri dengan
dia, yang bukan merupakan proses rasional dan sadar, melainkan irasional dan
berlangsung di bawah taraf kesadaran kita.
4.
Faktor Simpati
Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya
seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional,
tetapi berdasarkan penilaian perasaan sebagaimana proses identifikasi. Akan
tetapi, berbeda dengan identifikasi, timbulnua simpati itu merupakan proses
yang sadar bagi manusia yang merasa simpati terhadap orang lain. Peranan
simpati cukup nyata dalam hubungan persahabatan antara dua orang atau lebih. Patut
ditambahkan bahwa simpati dapat pula berkembang perlahan-lahan di samping
simpati yang timbul dengan tiba-tiba. Gejala identifikasi dan simpati itu
sebenarnya sudah berdekatan. Akan tetapi, dalam hal simpati yang timbal-balik
itu, akan dihasilkan suatu hubungan kerja sama di mana seseorang ingin lebih mengerti
orang lain sedemikian jauhnya sehingga ia dapat merasa berpikir dan bertingkah
laku seakan-akan ia adalah orang lain itu. Sedangkan dalam hal identifikasi terdapat
suatu hubungan di mana yang satu menghormati dan menjunjung tinggi yang lain,
dan ingin belajar daripadanya karena yang lain itu dianggapnya sebagai ideal.
Jadi, pada simpati, dorongan utama adalah ingin mengerti dan ingin bekerja sama
dengan orang lain, sedangkan pada identifikasi dorongan utamanya adalah ingin
mengikuti jejaknya, ingin mencontoh ingin belajar dari orang lain yang
dianggapnya sebagai ideal. Hubungan simpati menghendaki hubungan kerja sama
antara dua atau lebih orang yang setaraf. Hubungan identifikasi hanya menghendaki bahwa yangsatu ingin menjadi
seperti yang lain dalam sifat-sifat yang dikaguminya. Simpati bermaksud kerja
sama, identifikasi bermaksud belajar.
II.
Perilaku Merokok
a)
Pengertian Perilaku Merokok
Kegiatan merokok sudah di kenal sejak zaman dulu. Pada awalnya kebanyakan
orang menghisap tembakau dengan menggunakan pipa. Masyarakat
Timur (Eastern
Societies) menggunakan air untuk mengurangi asap tembakau
sebelum
diinhalasi. Pada tahun 1840-an barulah dikenal rokok, tetapi belum memiliki dampak
dalam pemasaran tembakau. Mendekati tahun 1881 mulai terjadi produksi rokok
secara besar-besaran dengan bantuan mesin. Melalui reklame, rokok menjadi terkenal
dan pada tahun 1920 sudah tersebar ke seluruh dunia. Maka merokok saat ini merupakan
suatu kebiasaan yang dapat dilakukan di manapun, kapanpun dan mampu memberikan
kenikmatan bagi si perokok. Bila telah kecanduan, sangatlah susah untuk menghentikan
kebiasaan merokok (Perwitasari,2006).
Pada hakekatnya merokok adalah menghisap rokok, sedangkan rokok
adalah gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas
(Poerwadarminta, 1983). Sedangkan menurut Aritonang (dalam Perwitasari, 2006)
merokok adalah perilaku yang komplek, karena merupakan hasil interaksi dari
aspek kognitif, kondisi psikologis, dan keadaan fisiologis. Perilaku sendiri
adalah setiap tindakan manusia yang dapat dilihat (Kartono, 2003). Sedangkan
pengertian perilaku dalam arti luas adalah mencakup segala sesuatu yang
dilakukan atau dialami seseorang. Dalam pengertian sempit, perilaku dapat dirumuskan
hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif
(Chaplin,
2002).
Perilaku merokok seseorang secara keseluruhan dapat dilihat dari
jumlah
rokok yang
dihisapnya. Seberapa banyak seseorang merokok dapat diketahui melalui intensitasnya,
dimana menurut Kartono (2003) intensitas adalah besar atau kekuatan untuk suatu
tingkah laku. Maka perilaku merokok seseorang dapat dikatakan tinggi maupun
rendah yang dapat diketahui dari intensitas merokoknya yaitu banyaknya seseorang
dalam merokok. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
merokok adalah suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok dan kemudian
menghisapnya dan menghembuskannya keluar dan dapat menimbulkan asap yang dapat
terhisap oleh orang-orang disekitarnya.
b)
Tipe-tipe Perokok
Menurut Mu’tadin (dalam www.e-psikologi.com) tipe-tipe
perokok yaitu:
a.
Perokok sangat berat adalah bila
mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari dan selang merokoknya lima
menit setelah bangun pagi.
b.
Perokok berat merokok sekitar 21-30 batang
sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6 - 30 menit.
c.
Perokok sedang menghabiskan rokok 11 – 21
batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi.
d. Perokok
ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60 menit dari
bangun pagi.
Tipe perokok (Sitepoe dalam Perwitasari, 2006) yaitu :
a. Perokok
ringan, merokok 1-10 batang sehari.
b. Perokok
sedang, merokok 11-20 batang sehari.
c. Perokok
berat, merokok lebih dari 24 batang sehari.
Tipe
perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory (Tomkins
dikutip Mu’tadin dalam www.e-psikologi.com) adalah:
a.
Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan
positif. Menurut Green tiga sub tipe ini adalah:
1)
Pleasure relaxation, adalah
perilaku merokok untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat,
misalnya merokok setelah minum kopi atau makan.
2)
Stimulation to pick them up adalah
perilaku merokok yang dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
3)
Pleasure of handling the cigarette adalah
kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok
pipa. Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau
sedangkan untuk menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau
perokok lebih senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya lama
sebelum ia nyalakan dengan api.
b.
Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh
perasaan negatif, misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap
sebagai penyelamat.
c.
Perilaku merokok yang adiktif (psychological
addiction) adalah perilaku dengan menambahkan dosis rokok yang digunakan
setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.
d.
Perilaku merokok yang sudah menjadi
kebiasaan. Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk
mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah menjadi
kebiasaannya rutin atau tanpa dipikirkan dan tanpa disadari.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan tipe
perokok dapat dibedakan menjadi dua yaitu berdasarkan intensitas merokok yang
dilihat dari banyaknya jumlah rokok yang dihisap dalam satu hari dan
berdasarkan keadaan yang dialami perokok.
c)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Merokok
Perilaku merokok merupakan perilaku yang berbahaya, namun masih
banyak orang yang melakukannya termasuk wanita. Menurut Levy (dalam Nasution,
2007) setiap individu mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya disesuaikan
dengan tujuan mereka merokok. Lewin (dalam Komasari dan Helmi, 2000) perilaku
merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu. Artinya perilaku merokok
selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri juga disebabkan oleh faktor
lingkungan. Mu’tadin (dalam Aula, 2010) mengemukakan alasan seseorang merokok, diantaranya:
a.
Pengaruh orang tua
Menurut Baer dan Corado, individu perokok adalah individu yang
berasal dari keluarga tidak bahagia, dimana orang tua tidak memperhatikan
anak-anaknya
dibandingkan
dengan individu yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang
bahagia.
Perilaku merokok lebih banyak didapati pada individu yang tinggal dengan satu
orang tua (Single Parent). Individu berperilaku merokok apabila ibu
mereka merokok dibandingkan ayah mereka yang merokok. Hal ini terlihat pada
wanita.
b.
Pengaruh teman
Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak individu merokok maka
semakin banyak teman-teman individu itu yang merokok, begitu pula sebaliknya.
c.
Faktor kepribadian
Individu mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin
melepaskan dari rasa sakit atau kebosanan.
d.
Pengaruh iklan
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan
gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour membuat seseorang
seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku yang ada di iklan tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Hansen (dalam Nasution, 2007)
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok, yaitu :
a.
Faktor Biologis
Banyak penelitian menunjukkan bahwa nikotin dalam rokok merupakan
salah satu bahan kimia yang berperan penting pada ketergantungan merokok.
Pendapat ini didukung Aditama (1992) yang mengatakn nikotin dalam darah perokok
cukup tinggi.
b.
Faktor Psikologis
Merokok dapat bermakna untuk meningkatkan konsentrasi, menghalau
rasa kantuk, mengakrabkan suasana sehingga timbul rasa persaudaraan, juga dapat
memberikan
kesan modern dan berwibawa, sehingga bagi individu yang sering
bergaul
dengan orang lain, perilaku merokok sulit dihindari.
c.
Faktor Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan, dan
perhatian individu pada perokok. Seseorang berperilaku merokok dengan
memperhatikan lingkungan sosialnya.
d.
Faktor Demografis
Faktor ini meliputi umur dan jenis kelamin. Orang yang merokok
pada usia dewasa semakin banyak (Smet, 1994) akan tetapi pengaruh jenis kelamin
zaman sekarang sudah tidak terlalu berperan karena baik pria maupun wanita
sekarang sudah merokok.
e.
Faktor Sosial – Kultural
Kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, dna gengsi
pekerjaan akan mempengaruhi perilaku merokok pada individu (Smet, 1994).
f.
Faktor Sosial – Politik
Menambahkan kesadaran umum berakibat pada langkah-langkah politik
yang bersifat melindungi bagi orang-orang yang tidak merokok dan usaha
melancarkan kampanye-kampanye promosi
kesehatan untuk mengurangi perilaku merokok. Merokok menjadi masalah yang
bertambah besar bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia (Smet, 1994). Berdasarkan
uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa faktorfaktor yang
mempengaruhi seseorang untuk merokok yaitu faktor dari dalam diri individu dan
juga dari lingkungan.
d)
Dampak Merokok
a.
Dampak merokok bagi kesehatan
Menurut studi prospektif yang dilakukan Rosenman timbulnya
penyakit
jantung
koroner lebih tinggi 50 % bagi individu yang merokok kira-kira 12 batang sehari
dan 200 % bagi individu yang merokok lebih dari 12 batang sehari (Sarafino
dalam Perwitasari, 2006). Asap rokok mengandung nikotin yang merupakan salah
satu bahan kimia berminyak yang tidak berwarna dan salah satu racun yang cukup
keras. Selain itu di dalam asap rokok terdapat karbon monoksida, amonia, dan
butan (Amstrong, 1992). Efek toleran yang disebabkan oleh nikotin sesungguhnya
relatif ringan, tetapi sifat adiktifnya dapat menyebabkan tubuh tergantung dan
termanifestasi dalam bentuk pusing-pusing, mudah gugup, lesu, sakit kepala, dan
perasaan cemas (Theodorus dalam Perwitasari, 2006). Berdasarkan “Teori Dampak
Merokok”, nikotin dapat memacu jantung menyebabkan relaksasi pada otot-otot
skeleton. Secara subyektif, nikotin memiliki kapasitas berlawanan untuk
memproduksi rasa ketergantungan dan relaksasi serentak (Taylor, 1995).
Merokok memiliki efek sinergis pada faktor beresiko kesehatan
lainnya,
yaitu
memperluas dampak faktor resiko lainnya yang berkenaan dengan kesehatan
(Dembroski & Mac Dougal dalam Shelly, 1995). Nikotin menghasilkan efek
rangsang pada sistem jantung pada orang yang memiliki kerusakan jantung maupun
yang tidak memiliki kerusakan jantung. Kematian mendadak pada perokok, dapat
diakibatkan dari kurang baiknya aliran darah karena pembuluh darah yang
berkerut dan terhalangi pada detak jantung yang dihasilkan oleh naiknya
sirkulasi catecholamine (Benowitz dalam Shelly, 1995). Nikotin dapat
juga menyebabkan kekejangan pembuluh arteri (vasopasm) pada orang yang menderita
penyakit atherosclerotic (Pomerlau dalam Shelly, 1995). Merokok dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner karena ketika seseorang merokok denyut
jantungnya semakin cepat, sedangkan pemasokan zat asam yang diperlukan oleh
jantung kurang dari normal. Merokok dapat memicu terjadinya trombosis koroner
atau serangan jantung karena bekuan darah yang menutup salah satu pembuluh
darah utama yang memasok jantung, hal ini disebabkan oleh nikotin yang
mengganggu irama jantung yang teratur dan membuat darah dalam tubuh menjadi
lengket. Asap rokok ketika merokok dapat menyebabkan bronkitis (Amstrong,
1992). Merokok dapat memicu berbagai macam penyakit lainnya yang digolongkan
bersama sebagai penyakit paru-paru kronis yang merintangi lebih 80 % kasus
penyakit paru-paru di Amerika Serikat (Oskamp et al dalam Smet, 1994).
Bahaya merokok tidak dibatasi hanya pada perokok saja. Penelitian pada
perokok
pasif yang berhubungan langsung dengan perokok menunjukkan bahwa
pasangan
perokok, anggota keluarga perokok, dan rekan kerja memiliki resiko
terkena
berbagai gangguan kesehatan (Marshal dalam Shelly, 1995)\
b.
Dampak merokok secara psikologis
Dalam (Sarafino, 1990) mengatakan akibat dari merokok adalah agar
seseorang
dapat :
1)
Memperoleh perasaan positif seperti rasa
santai, rasa senang, atau sebagai penambah semangat.
2)
Mengurangi perasaan yang negatif seperti
rasa cemas atau rasa tegang.
3)
Sudah menjadi suatu kebiasaan.
4)
Sebagai obat dari ketergantungannya secara
psikologis yang mengatur keadaan emosional, baik yang positif maupun yang
negatif.
Seseorang merokok karena ketagihan nikotin dan tanpa nikotin
hidupnya terasa hampa. Mereka menjadi terbiasa untuk merokok agar dapat merasa
santai
dan mereka
menikmatinya sewaktu merokok. Perilaku merokok telah menjadi
bagian dari
perilaku sosial mereka, secara tidak langsung tanpa merokok mereka
akan terasa
hampa dan merokok merupakan penopang bermasyarakat. Mereka
yang pemalu
perlu mengambil tindakan tertentu untuk menutupi perasaan
malunya di
hadapan orang lain dengan merokok (Amstrong, 1992).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, merokok berdampak pada kesehatan
dan psikologis seseorang. Merokok bagi kesehatan dapat menyebabkan kanker
paru-paru, bronkitis, penyakit jantung, sedangkan dampak psikologis
merokok
dapat menyebabkan ketergantungan secara psikis.
e)
Tempat Merokok
Menurut Mu`tadin (2002) tempat merokok juga mencerminkan pola
perilaku perokok. Berdasarkan tempat dimana seseorang menghisap rokok, maka
dapat digolongkan atas :
a.
Merokok di tempat-tempat umum atau ruang
publik
1)
Kelompok homogen (sama-sama perokok),
secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih
menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smooking area.
2)
Kelompok yang heterogen (merokok di tengah
orang-orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dan
lain-lain). Mereka yang berani merokok ditempat tersebut, tergolong sebagai
orang yang tidak berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama.
Bertindak kurang terpuji dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega
menyebar “racun” kepada orang lain yang tidak bersalah.
b.
Merokok di tempat-tempat yang bersifat
pribadi.
1)
Di kantor atau di kamar tidur pribadi.
Mereka yang memilih tempat-tempat seperti ini sebagai tempat merokok
digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan
rasa gelisah yang mencekam.
2)
Di toilet. Perokok jenis ini dapat
digolongkan sebagai orang yang suka berfantasi. Berdasarkan uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa tempat merokok dibedakan menjadi dua yaitu merokok di
tempat umum dan tempat pribadi.
f)
Aspek-Aspek Perilaku Merokok
Menurut Kumalasari (dalam Triyono,2004) ada empat prediktor dalam
mengukur
perilaku merokok seseorang, yaitu :
a.
Aktivitas merokok adalah seberapa sering
individu melakukan aktivitas yang berhubungan dengan perilaku merokoknya
(menghisap asap rokok, merasakan dan menikmatinya)
b.
Tempat merokok adalah dimana individu
melakukan aktivitas merokoknya (rumah, sekolah, jalan, dan lain-lain).
c.
Waktu merokok adalah kapan (pada
momen-momen apa saja) individu melakukan aktivitas merokoknya.
d.
Fungsi merokok, yaitu seberapa penting
aktivitas merokok bagi diri si perokok dalam kehidupannya sehari-hari dan makna
merokok itu sendiri bagi individu yang bersangkutan.
Menurut Rasmiyati (dalam Triyono, 2004) aspek-aspek perilaku
merokok antara lain :
a.
Aktivitas individu yang berhubungan dengan
perilaku merokoknya, diukur melalui intensitas merokok, tempat merokok, waktu
merokok dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Sikap permisif orangtua terhadap perilaku
merokok yaitu bagaimana penerimaan keluarga terhadap perilaku merokok.
c.
Lingkungan teman sebaya, yatu sejauh mana
individu mempunyai teman sebaya yang merokok dan memiliki penerimaan positif
terhadap perilaku merokok.
d.
Kepuasan psikologis, yaitu efek yang
diperoleh dari merokok yang berupa keyakinan dan perasaan yang menyenangkan.
Senada dengan pendapat diatas, menurut Aritonang (dalam Nasution,
2007) Perilaku merokok memiliki beberapa aspek sebagai berikut :
a.
Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari Erickson
mengatakan bahwa merokok berkaitan dengan masa mencari jati diri pada diri
remaja. Silvans & Tomkins mengatakan bahwa fungsi merokok ditunjukkan
dengan perasaan yang dialami si perokok, seperti perasaan yang positif maupun
perasaan negatif.
b.
Intensitas merokok
Smet mengklasifikasikan perokok berdasarkan banyaknya rokok yang
dihisap, yaitu :
·
Perokok berat yang menghisap lebih dari 15
batang rokok dalam sehari.
·
Perokok sedang yang menghisap 5 – 14 batang
rokok dalam sehari.
·
Perokok ringan yang menghisap 1 – 4 batang
rokok dalam sehari.
c.
Tempat merokok
Menurut Mu`tadin tipe perokok berdasarkan tempat ada dua yaitu :
·
Merokok di tempat-tempat umum/ruang publik.
·
Merokok di tempat-tempat pribadi
d.
Waktu merokok
Menurut Presty individu yang merokok dipengaruhi oleh keadaan yang
dialaminya
pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca yang
dingin, setelah dimarahi orangtua, dll. Berdasarkan uraian di atas, maka hasil
analisis penulis menyimpulkan bahwa aspek perilaku merokok dalam penelitian ini
yaitu:
a)
Fungsi merokok menyatakan perasaaan yang
dialami perokok seperti perasaan positif. Hal ini merupakan gabungan dari
pendapat Kumalasari, Rasmiyati dan Aritonang.
b)
Intensitas merokok yaitu seberapa banyak
seseorang menghisap rokok. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasmiyati dan
Aritonang.
c)
Tempat merokok, yaitu dimana saja individu
melakukan aktivitas merokoknya. Ini merupakan pendapat Kumalasari dan
Aritonang. d) Waktu merokok yaitu kapan saja individu melakukan aktivitas
merokoknya. Keempat aspek tersebut merupakan gabungan antara pendapat
Kumalasari, Rasmiyati dan Aritonang, namun saya lebih menitikberatkan pada
pendapat Aritonang karena aspek-aspeknya lebih tepat untuk pengukuran skala
psikologinya.
I. Penelitian yang Relevan
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional
2005-2006, sekitar 78,8 persen kepala keluarga miskin di perkotaan
adalah perokok. Dan ternyata disebutkan bahwa pengeluaran mingguan mereka untuk
rokok adalah lebih besar yakni 22 persen daripada pengeluaran mereka untuk
membeli beras yang hanya 19 persen. Dalam laporan tersebut adanya korelasi
adanya potensi merokok yang lebih besar dikalangan masyrakat perkotaan, tidak
menutup kemungkinna pula dengan mahasiswa yang merupakan bagian dari masyrakat
kota dengan tingkat mobilitas tinggi.
Para peneliti dari New York University School of Medicine
menganalisis lebih dari 1.500 anak muda berusia 12-19 tahun yang berpartisipasi
dalam riset gizi dan nutrisi berskala nasional tahun 2005-2006. Peserta
menjalani tes darah untuk mengukur tingkat zat kimia yang disebut continine,
suatu bentuk pecahan dari nikotin. Para remaja ini juga diperiksa fungsi
pendengarannya. Hasilnya menunjukkan, remaja yang terpapar asap rokok lebih
cenderung memiliki gangguan pendengaran yang berhubungan dengan masalah koklea.
Koklea merupakan organ pendengaran yang berfungsi mengirim pesan ke syaraf
pendengaran dan otak.
Dalam
sebuah situs blog tentang rokok dikatakan bahwa rokok menimbulkan bahaya yang
sangat merusak kesehatan. Rokok mengandung 4000 racun yang diantaranya adalah
nikotin yang mengandung zat adiktif dan tar yang merupakan zat
karsinogenik. Mengenai “tulisan” dalam sampul rokok yang mengatakan “rokok
dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, hiportensi dan gangguan kehamilan dan
janin”, itu karena hasil dari racun dan karsinogenik yang
muncul dari hasil pembakaran tembakau itu sendiri.
Skripsi RYAN ALAN BUDIANTO pada tahun 2012
yang berjudul POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DENGAN MAHASISWI YANG KECANDUAN
MEROKOK DI SURABAYA (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Antara Orang Tua Dengan
Mahasiswi Yang Kecanduan Merokok di Surabaya). Dalam laporan ini dituliskan
bahwa adanya pola ketidak harmonisan interaksi akibat dari merokok yang
kebanyakan dilakukan oleh mahasiswa.
J. Kerangka Pikir
Dewasa ini banyak orang yang sudah sadar dan
mengerti akan bahaya tentang rokok, baik itu perokok aktif maupun perokok
pasif. Salah satu perilaku yang sangat merusak generasi muda saat ini adalah
perilaku merokok. Efek dari rokok/tembakau dapat memberi stimulasi depresi
ringan, gangguan daya tangkap, alam perasaan, alam pikiran , tingkah laku dan
fungsi psikomotor (Roan, Ilmu kedokteran jiwa, Psikiatri ,1979 : 33). Dampak yang ditimbulkan
dari sebatang rokok pun sangat kompleks bahayanaya bagi tubuh manusia, tak
jarang bahwa rokok juga disebut sebagai pembunuh perlahan bagi manusia. Dalam
kasus interkasi yang kami pilih disisi lebih menekankan pada dampak merokok
terhadap sensitivitas interkasi. Dimana sering kita temui dan lihat bahwa
mahasiswa sekarang sudah mengerti dan sadar betul tentang bahya dari merokok,
khususnya perokok pasif. Dampak yang ditimbulkan dari perokok pasif sendiri
bahkan lebih berbahaya daripada perokok aktif. Kanker paru-paru hingga
impotensi yang siap melirik disetiap asap rokok yang masuk kedalam tubuh
manusia. Kami ingin menelisik dampak dari interaksi antara mahasiswa yang tidak
merokok dengan mahasiswa yang sedang merokok apakah ada dampaknya terhadapa
sensitivitas interksi. Karena yang kami temui dibanyak kasus-kasus dewasa ini
banyak mahasiswa yang sedikit terganggu ataupun bahkan langsung menghindar
ketika teman yang diajak mengobrol tersebut sedang merokok.
Bagan 1. Kerangka Pikir
K. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terkait dengan adanya Dampak Kebiasaan
Merokok di Lingkungan Kampus
Terhadap Sensitivitas Interaksi Mahasiswa khususnya di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Peneliti
mengambil lokasi ini
dikarenakan peneliti sering melihat banyak mahasiswa FIS UNY yang merokok
diarea kampus dan bukan pada tempatnya, banyak yang merokok di teras-teras
kampus, sehingga kami tertarik untuk mengadakan penelitian di lingkungan FIS
UNY terkait dengan pengaruh kebiasaan merokok tersebut terhadap sensitivitas
interaksi mahasiswa.
2. Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan selama kurang lebih 1
bulan, yaitu mulai bula Mei hingga selesai pada bulan Juni 2014. Penelitian terhitung hingga
terselesaikannya proposal ini.
3. Bentuk Penelitian
Penelitian
mengenai Kebiasaan
Merokok di Lingkungan Kampus
Terhadap Sensitivitas Interaksi Mahasiswa khususnya di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
ini
memerlukan pendekatan penelitian yang nantinya mampu untuk menganalisis setiap
kejadian, persepsi, motivasi, tindakan dan lain sebagainya untuk kemudian
dijelaskan serta diuraikan dalam sebuah data berupa kalimat ataupun kata-kata.
Maka dari itu, penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif
deskriptif.
Menurut
Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2007), penelitian kualitatif didefinisikan
sebagai sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Moleong menjelaskan dalam pendekatan kualitatif deskriptif, data yang
dikumpulkan adalah data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.
Data tersebut bisa diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, video,
foto, dan dokumentasi pribadi. Hasil penelitian ini berupa kutipan dari
transkrip hasil wawancara yang sebelumnya telah diolah dan kemudian disajikan
secara deskriptif.
Dalam
penelitian ini, tentu data yang akan diambil oleh peneliti bersumber dari
pihak-pihak yang terkait dalam Kebiasaan
Merokok di Lingkungan Kampus
dan Interaksi Mahasiswanya di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
Pengambilan data dilaksanakan dengan melakukan pengamatan setiap kegiatan dan
tentunya dari hasil wawancara kepada mahasiswa perokok aktif, mahasiswa perokok pasif, serta dosen dan karyawan yang ada di lingkungan FIS UNY.
4. Sumber Data Penelitian
Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara dan observasi untuk mencari dan
mengumpulkan data yang kemudian akan diolah untuk mendeskripsikan tentang Kebiasaan Merokok di Lingkungan Kampus Terhadap Sensitivitas
Interaksi Mahasiswa khususnya di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
atau dengan istilah lain yaitu menggunakan data primer.
Data
primer merupakan data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dimana
data tersebut diambil langsung oleh peneliti kepada sumber secara langsung
melalui responden. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau
diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui
catatan tertulis atau melalui perekaman video/ audio tape, pengambilan foto dan
film (Moleong, 2007: 157). Data diperoleh melalui wawancara dan pengamatan
langsung di lapangan. Sumber data primer pada penelitian ini adalah melalui
pengamatan secara langsung di Lingkungan
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
dan dengan melalui wawancara kepada mahasiswa perokok aktif, mahasiswa perokok pasif, serta dosen dan karyawan. Sedangkan untuk data
tambahan, peneliti mencari dan mendokumentasikan berbagai data dari sumber lain
guna memperkaya data, baik itu melalui buku, foto, artikel, surat kabar, data
statistik, dan lain sebagainya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2012:
224). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang
meliputi:
a.
Observasi
Menurut
W. Gulo (2004:116), observasi adalah metode pengumpulan data, dimana peneliti
mencatat hasil informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian.
Observasi melibatkan dua komponen, yaitu si pelaku observasi atau observer, dan obyek yang diobservasi
atau observe. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan observasi non pasrtisipan dimana peneliti hanya mengamati secara langsung keadaan obyek, tetapi
peneliti tidak aktif dan ikut terlibat langsung.
Beberapa
hal yang menjadi obyek observasi dalam penelitian ini diantaranya mencakup
keadaan geografis dan kehidupan sosial di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, serta kegiatan
mahasiswa yang ada di lingkungan tersebut.
b.
Wawancara
Moleong
(2007: 186) menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu. Wawancara secara umum terbagi menjadi dua, yaitu:
wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur
memiliki arti bahwa wawancara yang dilakukan dimana pewawancara telah
menetapkan sendiri masalah-masalah yang akan diajukan sebagai pertanyaan.
Sedangkan wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara yang memiliki ciri
kurang diinterupsi dan arbiter. Wawancara tersebut digunakan untuk menemukan
informasi yang bulan baku atau informasi tunggal (Moleong, 2007: 190).
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara secara semi terstruktur. Maka
sebelum melakukan wawancara, peneliti telah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan
yang nantinya akan diajukan kepada informan. Namun, pada pelaksanaannya nanti akan
disesuaikan dengan keadaan responden.
c.
Dokumentasi
Dokumentasi
berasal dari kata dokumen, yang memiliki arti barang-barang tertulis (Arikunto,
2002:135). Dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumentasi pendukung
data-data penelitian yang dibutuhkan.
Dalam
penelitian ini, pendukung data dalam hal tertulis atau dokumen diambil dari
berbagai arsip-arsip, serta juga melalui berbagai warta berita.
d.
Studi Pustaka
Studi
pustaka dilakukan dengan mencari referensi yang sesuai dengan topik atau tema
yang diteliti. Studi pustaka ini digunakan untuk menunjang kelengkapan data
dalam penelitian dengan menggunakan sumber-sumber dari kepustakaan yang
relevan.
6. Instrumen Penelitian
Instrumen
pada penelitian ini adalah peneliti sendiri (human
instrument). Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif dapat dikatakan
cukup rumit karena selain sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data,
menganalisis, penafsir data, peneliti tentu juga sebagai pelapor hasil
penelitiannya tersebut (Moleong, 2007: 168). Instrumen sendiri menurut Arikunto
(2002: 126) ialah alat pada waktu peneliti menggunakan suatu metode. Karena
dalam penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi,
maka intrumen yang dibutuhkan antara lain yaitu pedoman observasi, pedoman
wawancara, tape recorder, kamera,
serta alat tulis.
7. Teknik Pemilihan Informan
Penelitian
ini menggunakan teknik purposive sampling
untuk pengambilan sampel dengan tujuan menjaring sebanyak mungkin informasi
dari berbagai macam sumber dan bangunannya (Moleong, 2007:224). Sampel yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah dari sivitas akademika FIS UNY.
Informan
dalam penelitian ini mencakup perwakilan dari mahasiswa perokok aktif, mahasiswa perokok pasif.
Adapun kriteria perokok
aktif yang
didijadikan sebagai informan yaitu perokok aktif yang selalu merokok dalam lingkungan kampus dan dalam kegiatan
yang ada di Lingkungan FIS
UNY.
Berikutnya, perokok pasif
sebagai
informan dalam penelitian ini dipilih dari mereka yang tidak pernah merokok di lingkungan FIS UNY.
8. Validitas Data
Validitas
data merupakan bagian penting dalam sebuah penelitian dimana dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh sang peneliti dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Dalam pemeriksaan keabsahan data ini, peneliti menggunakan
trianggulasi data.
Trianggulasi
adalah teknik pemeriksaan keabsahan atau valid tidaknya data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2007:330). Untuk
tekniknya sendiri, dalam penelitian ini digunakan teknik trianggulasi dengan
sumber.
Trianggulasi
sumber berarti membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.
Menurut Patton dalam Moleong (2007: 330) hal tersebut dapat dicapai melalui:
a.
Membandingkan data hasil pengamatan
dengan hasil wawancara.
b.
Membandingkan apa yang dikatakan orang
di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi.
c.
Membandingkan apa yang dikatakan
orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang
waktu.
d.
Membandingkan keadaan dan perspektif
seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa,
orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang
pemerintahan.
e.
Membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen yang berkaitan.
Dalam trianggulasi sumber ini dilakukan
dengan membandingkan informasi yang diperoleh peneliti dari masing-masing
informan. Informasi yang diperoleh dari para tokoh masyarakat nantinya akan
dibandingkan dengan informasi yang diperoleh melalui hasil wawancara kepada
anggota sivitas akademik di FIS
UNY.
Perbandingan tersebut nantinya tentu akan dijadikan analisis mengenai kesamaan
atau perbedaan-perbedaan informasi yang diperoleh peneliti.
9. Teknik Analisis Data
Dalam
teknik analisis data, terdapat empat komponen dimana keempat komponen tersebut
merupakan proses siklus dan interaktif dalam sebuah penelitian. Keempat
komponen tersebuat ialah:
a.
Pengumpulan Data
Data
dikumpulkan oleh peneliti berupa data dari hasil wawancara, observasi,
dokumentasi yang dicatat dalam catatan lapangan yang terdiri dari dua aspek,
yaitu deskripsi dan refleksi. Catatan deskripsi merupakan data alami yang
berisi tentang apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disaksikan, dan dialami
sendiri oleh peneliti (Miles dan Huberman, 1994: 15). Pengamatan juga mencakup
data-data lainnya baik itu data verbal maupun nonverbal dari penelitian ini.
Peneliti juga akan melakukan pencatatan terkait dengan adanya perilaku sensitivitas interaksi mahasiswa FIS UNY,
terutama dalam proses kegiatan yang melibatkan mahasiswa perokok aktif dan pasif di fakultas ilmu
sosial
tersebut.
Catatan
refleksi merupakan catatan yang membuat kesan, komentar, dan tafsiran dari
peneliti tentang berbagai temuan yang dijumpai pada saat melakukan penelitian
dan merupakan bahan rencana pengumpulan data untuk tahap selanjutnya. Untuk
mendapatkan catatan ini, maka peneliti harus melakukan wawancara dengan
berbagai informan (Miles dan Huberman, 1994: 16).
b.
Redusi Data
Reduksi
data merupakan proses pemilihan/ penyederhanaan data-data yang diperoleh baik
itu dari hasil wawancara, observasi, maupun dokumentasi yang didasarkan atas
fokus permasalahan. Setelah melalui proses pemilihan data, maka akan ada data
yang penting dan data yang tidak digunakan. Maka, kemudian data diolah dan
disajikan dnegan bahasa maupun tulisan yang lebih ilmiah dan lebih bermakna
(Miles dan Huberman, 1994: 16).
c.
Penyajian Data
Penyajian
data adalah proses penampilan data dari semua hasil penelitian dalam bentuk
paparan naratif representatif tabular termasuk dalam format matriks, grafis dan
sebagainya, yang nantinya dapat mempermudah peneliti dalam melihat gambaran
hasil penelitian karena dari banyaknya data dan informasi tersebut peneliti
kesulitan dalam pengambilan kesimpulan dari hasil penelitian ini (Usman, 2009:
85). Data-data yang diperoleh perlu disajikan dalam format yang lebih sederhana
sehingga peneliti mudah dalam menganalisisnya dan membuat tindakan berdasarkan
pemahaman yang diperoleh dari penyajian data-data tersebut.
d.
Penyimpulan Data
Kesimpulan
merupakan langkah akhir dalam pembuatan laporan penelitian. Penarikan
kesimpilan adalah usaha guna mencari atau memahami makna, keteraturan pola-pola
penjelasan, alur sebab akibat. Kesimpulan yang telah ditarik maka kemudian
diverifikasi dengan cara melihat dan mempertanyakan kembali dan melihat catatan
lapangan agar memperoleh pemahaman yang tepat. Selain itu, juga dapat dengan
mendiskusikannya (Usman, 2009: 87).
Miles
dan Huberman (1994: 20) menjelaskan bahwa pengambilan kesimpulan harus
dilakukan secara teliti dan hati-hati agar kesimpulan yang diperoleh
berkualitas dan sesuai dengan tujuan penelitian. Hal tersebut dilakukan agar
data tersebut mempunyai validitas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi
kuat. Berikut adalah bagan analisis Miles dan Huberman:
Bagan
2. Komponen-komponen Analisis Data
L. Daftar Pustaka
Gerungan, W. A. 2004. Psikologi
Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Husaini Usman.
2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta;
Bumi Aksara
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta; Universitas Indonesia
Press.
Moleong, L. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung; PT Remaja Rosdakarya
Sitorus, M. 2001. Berkenalan
dengan Sosiologi Edisi Kedua Kelas 2 SMA. Bandung: Erlangga.
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sosiologi, Tim. 2003. Sosiologi
Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat Kelas 1 SMA. Jakarta: Yudhistira.
Sugiyono.
2009. Metode Penelitian Kualitatif dan R
& D. Bandung; Alfabeta
Suharsimi Arikunto.
2002. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta; Rineka Cipta.
W. Gulo. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta; Grasindo
LAMPIRAN
1.
Pedoman Observasi
No.
|
Aspek yang Diamati
|
Keterangan
|
1.
|
Waktu
observasi
|
|
2.
|
Lokasi
|
|
3.
|
Perilaku
perokok aktif di kampus
|
|
4.
|
Perilaku
perokok pasif dikampus
|
|
5.
|
Interaksi
antara perokok pasif dan aktif
|
|
6.
|
Dampak
kebiasaan merokok dikampus terhadap interaksi
|
|
2.
Pedoman Wawancara Mahasiswa FIS UNY
a.
Identitas
Nama :
Usia :
Agama :
Tempat
tinggal :
Pendidikan :
b.
Pedoman Pertanyaan perokok aktif
1)
Apakah
anda seorang perokok?
2)
Kapan pertama kali anda
merokok?
3)
Apakah keluarga ataupun
lingkungan sekitar anda adalah perokok?
4)
Selain teman dan
lingkungan apa sih yang mendorong anda untuk merokok?
5)
Pernahkah anda merokok
di lingkungan kampus?
6)
Selain di area smoking,
dimana lagi anda merokok? Pernahkah ditempat lain?
7)
Tahukah anda ada
larangan merokok di kampus apalagi disembarang tempat selain area smoking?
8)
Jika anda mengetahui
hal itu, mengapa masih merokok diarea kampus?
9)
Bagaimana rasanya jika
anda tidak merokok?
10)
Pernahkah anda ditegur apa dimarahi teman
anda ketika merokok diarea kampus?
11)
Bagaimana reaksi teman - teman jika anda
merokok disekitarnya?
12)
Menurut anda ketika anda merokok apakah itu
menganggu interaksi anda dengan teman
13)
Pernahkah anda mempunyai keinginan untuk
berhenti merokok?
14)
Menurut anda merokok itu salah apa tidak?
15)
Berapa banyak uang yang anda keluarkan untuk
membeli rokok setiap harinya?
c.
Pedoman
wawancara perokok pasif
1)
Apakah anda termasuk
orang yang sadar akan kesehatan?
2)
Apakah anda termasuk
orang yang mengerti tentang bahaya meroko?
3)
Apakah anda termasuk
orang yang mudah bergaul?
4)
Apa reaksi anda saat
teman berbincanng sedang merokok?
5)
Kenapa anda sensitive
terhadap rokok?
6)
Apakah anda merasa
bersalah jika berbincang dengan teman merokok, terus anda tinggalkan?
7)
Apa reaksi anda, saat
melihat teman yang merokok terus anda tinggalkan?
8)
Bagaimana upaya anda
saat teman yang merokok itu mendekati anda lagi untuk berbincang kembali?
0 Response to "proposal penelitian kualitatif Nico Fergiyono"
Post a Comment