AGAMA DAN STRATIFIKASI SOSIAL
Wednesday, 28 March 2018
Add Comment
AGAMA DAN STRATIFIKASI SOSIAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sosiologi
agama merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang profane. Ia bukanlah lmu
yang sakaral, bukan seperti ilmu teknologi, tetapi ilmu profane, yang positif
dan empiris. Pemahaman sosiologi tentang
agama tidak ditimba dari “pewahyuan” yang datang dari “dunia luar”, tetapi
diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret sekitar agama yang
dikumpulkan dari sana sini baik dari masa lampau (sejarah) maupun dari
kejadian-kejadian sekarang.
Dalam
struktur masyarakat selalui kita temui statifikasi sosial. Menentukan siapa
yang lebih tinggi kedudukannya dan menentukan hak dan kewajiban seseorang dalam
masyarakat tertentu. Ini adalah hal yang lumrah untuk melanggengkan status Quo
sesuai dengan fungsi-fungsinya yang ada dimasyarakat (teori struktur
fungsional).
Mau
tidak mau ada sistem yang mengatur pelapisan karena gejala tersebut sekaligus
memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, yaitu penempatan individu dalam
tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar
malaksanakan kewajibannya yang sesuai dengan kedudukan serta perannya.
(soerjono soekanto:226)
Barnard
menjelaskan pula dalam pengantar sosiologi karangan soerjono soekanto bahwa
sistem kedudukan dalam organisasi formal timbul kerena perbedaan kebutuhan,
kepentingan dan kemampuan individual yang mencakup hal-hal sebagai berikut.
1. Sistem
fungsional yang merupakanpembagian kerja kepada kedudukan yang tingkatnya
berdampingan dan harus bekerjasama dalam kedudukan yang sederajat, dan;
2. Sistem
skala yang merupakan pembagian kekuasaan menurut tangga kedudukan dari bawah ke
atas.
Agama
dalam pengertian yang dibangun Evans-Pritchard dalam penjelasannya tentang
agama dan perilaku masyarakat Nuer serta
paham magis masyarakat azande, ia memperlihatkan bagaimana agama dapat
membentuk “cita rasa trandensi” bagi masyarakat tribal tertentu dan dalam masa
tertentu pula. Dia menunjukkan bagaimana agama secara intelektual tetap koheren
telah membentuk pola dalam masyarakat Nuer, baik masalah pribadi maupun sosial.
Marx
mengatakan bahwa agama adalah bagian dari ekpresi kekecewaan manusia akibat
kegagalan dalam memperjuangkan kelas(tentang masyarakat kapitalis). Berbicara
fungsi agama maxr menjabarkan seperti ini. Kita akan menemukan kunci dalam
memahami agama bila kita telah menemukan apa yang diberikan agama kepada
masyarakat. Baik dalam bentuk sosial, psikologis atau kedua-duanya.
Bagaimana
agama mengatur masyarakat, kehidupan ekonominya, sosialnya dan psikologinya?.
Atau bagaimana masyarakat menciptakan agama untuk kehidupan ekonominya agar
teratur, spikologisnya agar menemukan ketenangan?. Heh..
Disini
kita menemukan kebingungan disisi lain agama dipandang sebagai ciptaan dari
khayalan manusia karena kondisi yang begitu menekan mereka sehingga menciptakan
sesuatu yang dianggap Maha.., kekuatan yang luar biasa. Sehingga menimbulkan
kewajiban moral sebagai aturan hidup seperti yang dijelaskan Durkheim dan
herbert spenser tentang ciri-ciri pengalaman keagamaan.
Tetapi
marx mangatakan bahwa kita harus menarik garis pararel antara agama dan
aktivitas sosio ekonomi. Keduanya sama-sama menciptakan alienasi; agama
merampas potensi ideal kehidupan manusia dan mengarahkannya kepada sebuah
realitas asing dan unnat-ural yang disebut tuhan. Kita telah memberikan bagian
dari diri kita sendiri “kebaikan dan perasaan kita” kepada yang bersifat
khayalan semata(kajian marx masyarakat kristen). Trus, yang menciptakan manusia
sehingga dia bias menciptakan alam khayal hingga menemukan konsep tuhan siapa?.
Kemudian akal manusia itu membuat satuan nilai moral untuk menempatkan
seseorang kedalam setatus dan kedudukan tertentu dalam kehidupan kelompok atau
pribadinya.
Terlepas
dari pencipta manusia membentuk system khayal manusia sehingga dia bisa
menciptakan konsep ketergantunggannya pada yang maha biasa disebut tuhan. Kita
akan membahas bagaimana konsep kemahaan ciptaan khayal manusia itu mampu mempengaruhi
dirinya dan masyarakat sekitarnya, dalam satu pola-pola hubungan dan mobilitas
tertentu yang disebut struktur.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
agama dan Pelapisan Sosial?
2. Bagaimana
agama, kelas sosial dan demokrasi?
3. Bagaimana
pengaruh agama tentang stratifikasi sosial?
4. Bagaimana
stratifikasi agama Islam dalam masyarakat Jawa?
5. Apa
saja dampak pandang seseorang tentang agama terkait pelapisan sosial?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan
agama dan pelapisan sosial.
2. Menjelaskan
agama, kelas sosial dan demokrasi.
3. Menjelaskan
pengaruh agama tentang stratifikasi sosial.
4. Menjelaskan
stratifikasi agama Islam dalam masyarakat Jawa.
5. Menjelaskan
dampak pandangan seseorang tentang agama terkait pelapisan sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Agama
dan Pelapisan Sosial
Agama
dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Walaupun demikian,
membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik, tetap akan mempunyai aspek–aspek
positif dalam kajian akademis, bahkan lebih jauh bisa menemukan hal–hal yang
baru dalam bidang keagamaan. Pernyataan ini tidak lepas dari anggapan bahwa
agama dan masyarakat dalam pengertian lapisan sosial diduga sebagai dua unsur
yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Dalam
tulisan ini, agama didefinisikan sebagai sistem kepercayaan, yang di dalamnya
meliputi aspek–aspek hukum, moral, budaya, dan sebagainya. Sedangkan lapisan
sosial dipahami sebagai strata orang–orang yang berkedudukan sama dalam
kontinum (rangkaian satuan) status sosial. Tetapi, Horton dan Hunt menegaskan
bahwa jika ditanya berapa banyak jumlah kelas sosial, mereka sulit menjawabnya.
Barangkali, enam klasifikasi yang diajukan oleh banyak ahli bisa menjadi
jawaban, yaitu (1) upper-upper class;
(2) lower upper class; (3) upper-middle class; (4) lower-middle class; (5) upper-lower class; dan (6) lower-lower class.
Klasifikasi
sosial di atas, tentu tidak berlaku umum. Sebab, setiap kota ataupun desa
masing–masing memiliki karakteristik yang berbeda. Pernyataan ini, paling
tidak, menggambarkan bagaimana kelas sosial sebenarnya. Maka di sisni bisa ditegaskan
bahwa kelas sosial merupakan suatu realitas sosial yang penting, bukan sekedar
suatu konsep teoritis. Manusia memang mengklasifikasikan orang lain ke dalam
kelompok yang sederajad, lebih tinggi, atau lebih rendah. Manakala sejumlah
orang menganggap orang–orang tertentu sebagai anggota masyarakat mempunyai
karakteristik perilaku tertentu pada gilirannya menciptakan kelas sosial.
Di
Amerika sekalipun yang sering dijadikan contoh negara paling demokrasi hubungan
atau kaitan agama dan kelas sosial tetap disignifikan. Maksudnya, karena tidak
ada gereja negara, agama mudah merembes ke dalam kelas kelas sosial;
sebagaimana dikemukakan Demerath bahwa kegerejaan mencerminkan pengaruh sosial.
Lebih lanjut, dia menandaskan bahwa agama di Amerika, khususnya Protestanisme,
secara umum dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas menengah dan atas.
Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan di atas, yaitu keanggotaan
gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan keikutsertakan dalam
kegiatan – kegiatan resmi gereja. Dalam setiap unsur tadi, orang–orang yang
bersetatus tinggi tampaknya lebih dalam keterlibatannya daripada yang
bersetatus rendah.
Demikian
pula hasil penelitian Contril. Ia menemukan bahwa anggota–anggota Protestan
umumnya mempunyai status yang lebih tinggi; meskipun perbedaan ini tidak besar
di wilayah selatan di mana fundamentalisme Protestanisme kuat di antara
kelas–kelas bawah. Lebih dari itu, kajian suami istri Lynd (1929) yang
mempelajari hubungan antara kehadiran di gereja dan kelas sosial, menunjukkan
bahwa kalangan bisnis (white collar)
tingkat kehadirannya ke gereja jauh lebih tinggi daripada kelas pekerja (blue collar). Tetapi, kesimpulan ini
ditolak oleh Hollingshead. Dalam pandanagannya, kelas sosial tidak ada
hubungannya dengan kepercayaannya kepada Tuhan. Kehadiran dan kepercayaan adalah dua aspek yang penting
dan apabila kelas sosial tidak konsisten berkaitan dengan dua hal itu, kita
harus berusaha menemukan hubungan yang lebih kompleks antara kelas sosial dan
keagamaan secara keseluruhan.
Terlepas
dari hasil penelitian diatas, yang jelas antara agama dan stratifikasi sosial
memiliki hubungan yang mengandung multiinterpretasi. Penelitian Weber,
misalnya, menyatakan bahwa kelas menengah rendah dianggap memiliki peranan
strategis dalam sejarah agama Kristen. Lebih lanjut Weber menyimpulkan bahwa
stratifikasi sosial dianggap sebagai factor yang menentukan kecenderungan
kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Tak heran, jika Weber menyimpulkan
bahwa kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak
dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama
tertentu.
Hubungan
lain dari agama dan stratifikasi sosial adalah konversi atau beralih agama,
dari agama tertentu kepada agama lain. Ada beberapa factor yang menyebabkan
seseorang pindah agama, antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial.
Ernest Treoltsch mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama
Kristen berasal dari kelas menengah bawah yang hidup di kota–kota besar, yang
menikmati peralihan peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu
itu.
Dari
perspektif di atas, paling tidak, akan dipahami tentang esensi gerakan sosialis
abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang menawarkan ide sekuler dan komunisme sebagai
“kecemburuan” atas doktrin-doktrin agama. Atau, bisa jadi mereka tidak puas
terhadap agama karena kesenjangan sosial ternyata tidak pernah berhenti.
Tanpa
berpretensi jelek terhadap agama Hindu yang mengakui eksistensi sistem kasta,
hal ini hal ini jelas suatu masalah moral yang besar. Mengapa, umpamanya,
seorang Brahmana yang malas dan mungkin tidak berguna memperoleh martabat
sosial yang paling tinggi, sedangkan seorang sudra atau orang yang tak berkasta
tapi jujur dan rajin tidak hanya dipisahkan dalam hubungan kerjanya, tetapi
juga ditolak oleh masyarakat dan tidak diperkenankan menjalakan hal–hal yang
berkenaan dengan upacara keagamaan tertentu.
B.
Agama,
Kelas Sosial, dan Demokrasi
Demikian pula dengan kelas sosial. Apakah agama bisa menjadi
factor penentu dalam factor kelas sosial dalam tatanan masyarakat, sangat
dipengaruhi oleh interpretasi manusia atas agama. Memang, kita tidak bisa
mempungkiri, bahwa sekat–sekat sosial seringkali menimbulkan masalah sosial.
Atara si kaya dan si miskin tetap saja jelas perbedaannya. Maka suatu hal yang
wajar jika terdapat gereja–gereja yang peka terhadap setiap pelanggaran
terhadap warga negara
ataupun kebebasan beragama, kemudian mereka melakukan gerakan-gerakan yang
melindungi hak–hak minoritas.
Kesalahan
memahami prinsip–prinsip agama berkaitan dengan kelas sosial, pada gilirannya
mengarah pada pemikiran anti agama atau komunis. Agama “dikambinghitamkan”.
Inilah persoalan yang barangkali hingga saat ini masih dianut oleh sebagian
manusia. Ini pula yang barangkali yang harus menjadi pemikiran kita bersama,
khususnya peminat sosiologi agama. Di sini kita tidak bisa menafikkan bahwa
secara de fakto masih terjadi ketimpangan sosial. Terlalu jauh jurang pemisah
antara si kaya dan si miskin. Tetapkah itu yang di salahkan agama? Menurut
saya, kritik kaum komunis-atau yang sejenisnya dengan–perlu dicermati dan ada
sisi positifnya. Maksudnya, sosiolog agama atau cendikiawan agama harus
senantiasa mereinterpretasikan ajaran agama yang ia percayai.
Dari
pembicaraan ini mungkin kita bisa mengambil manfaat, khususnya untuk
pembangunan keagamaan di Indonesia. Bagaimana agar hidup tetap maju dalam
suasana yang tetap berketuhanan dan religious tanpa terjebak oleh paham–paham
komunitas dan atheis, tentu memerlukan interpretasi atas ajaran agama yang
actual, kontekstual, tanpa melupakan inti dan hakikat agama yang sebenarnya.
C.
Pengaruh
Agama tentang Stratifikasi Sosial
Masyarakat
bukan saja struktur sosial yang stabil, tetapi struktur sosial yang dinamis,
berkembang dan berubah terus menerus sebagai akibat dari kekuatan hokum
masyarakat yang disebut proses sosial dan perubahan sosial dengan ritme cepat
ataupun lambat. Laju proses sosial (social
process) dan perubahan sosial (social
change) tidak terlepas dari perubahan sosio-kultural dan dipengaruhi secara
langsung oleh sosio-budaya. Lalu, apakah ada perbedaan yang berarti dalam cara
menanggapi dan menghayati iman (ajaran) agama oleh lapisan-lapisan sosial dan
satuan-satuan kategorial yang ada dalam masyarakat?
Berikut
merupakan beberapa pandangan mengenai pengaruh agama atas lapisan-lapisan
sosial dan sebaliknya.
1. Golongan
Petani
Sikap mental golongan petani terbentuk oleh pengaruh
situasi dan kondisi di mana mereka hidup, antara lain:
a. faktor
klimatologis dan hidrologis seperti musim dingin dan musim panas, yang sejalan
dengan musim kering dan musim penghujan.
b. faktor
flora dan fauna seperti tanaman padi, sayuran, palawija dan lain-lain yang
penggarapannya dibantu tenaga ternak seperti kuda, sapi kerbau dll.
2. Golongan
Pengrajin dan Pedagang Kecil
Golongan ini hidup berdasarkan atas landasan ekonomi
yang memerlukan perhitungan rasional.
3. Golongan
Pedagang Besar
Pada umumnya golongan ini mempunyai jiwa yang jauh
dari gagasan tentang imbalan moral, seperti yang dimiliki tingkat menengah
bawah. Kelas ini dikuasai oleh keduniawian yang menutup kecenderungan kepada
agama yang profesitis dan etis.
4. Golongan
Karyawan
Terdapat ajaran hasil persetujuan bersama yang
mengandung kekosongan mutlak akan perasaan dan kebutuhan akan keselamatan atau
landasan transenden untuk kesusilaan. Agama perseorangan yang berdasarkan
perasaan cenderung disingkirkan.
5. Golongan
Kaum Buruh
Termasuk dalam golongan proletariat yang
kehidupannya tidak diikutsertakan dalam masyarakat. Marx berpendapat bahwa
agama merupakan suatu instansi yang mengasingkan proletar.
6. Kelas
yang Beruntung dan golongan Elite dan Hartawan
Golongan ini tidak menaruh gagasan tentang
keselamatan, dosa, dan kerendahan hati, namun mereka haus akan kehormatan.
7. Kategori
Orang Dewasa dan Kategori Orang Muda
Mempunyai sikap iman yang sudah terbentuk, stabil
dan sulit diubah. Dalam intensitas iman dan coraknya harus dikatakan tidak
sama, karena kategori ini terdiri dari lapisan sosial yang menurut garis
vertical tidak sama kedudukannya.
8. Golongan
Wanita
Menunjukkan reseptif yang kuat terhadap semua hal
religious terkecuali berorientasi kemiliteran. Weber mengatakan bahwa wanita
cenderung ikut andil dalam kegiatan keagamaan dengan keterlibatan emosional
besar hingga titik yang disebut histeris.
D.
Stratifikasi
Agama Islam pada Masyarakat Jawa
Clifford
Gertz mengkategorisasikan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan besar yaitu
sebagai berikut.
1. Abangan
Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa
muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila
dibandingkan dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti
kepercayaan adat yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan
Animisme.
2. Santri
Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang
mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat islam. Substruktur sosial yang
kedua, Pasar, diasosiasikan dengan kalangan Santri yang dihubungkan dengan
elemen dagang (dan pada elemen tertentu di kalangan tani juga). Kalangan santri
diidentikkan dengan kelompok yang melaksanakan doktrin-doktrin Islam yang lebih
murni bukan saja pada tatacara pokok peribadatannya, namun juga dalam
keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial (Geertz, 1981:7).
3. Priyayi
Kelompok priyayi digunakan sebagai istilah orang
yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi atau sering disebut kaum
bangsawan. Namun penggolongan ketiga kategorisasi ini tidaklah terlalu tepat,
karena pengelompokkan priyayi-non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan
seseorang, sedangkan pengelompokkan santri-abangan dibuat berdasarkan sikap dan
perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam).
E.
Dampak
Pandangan Seseorang terhadap Agama terkait Pelapisan Sosial
Agama
memberikan pandangan yang berbeda-beda tentang kemiskinan. Orang-orang zuhud
misalnya, masih menganggap kemiskinan sebagai suatu simbol ketulusan dan
kesucian jiwa. Kecenderungan seperti ini memberikan kesan seolah-olah kelompok
zuhud (asketis) tersebut mengkultuskan kemiskinan, sebab mereka tidak suka
terhadap kesenangan duniawi. Setidak-tidaknya mereka berpandangan bahwa
kemiskinan bukanlah suatu hal yang jelek dan harus dijauhi dan bukan merupakan
sesuatu yang harus dipersoalkan. Kemiskinan merupakan anugrah Tuhan yang
diberikan kepada hamba-Nya yang dicintai, agar hatinya selalu ingat akhirat dan
dapat berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa terhalang oleh nafsu duniawi.
Karenanya kemiskinan dipandang sebagai sarana terbaik menyiksa badan guna
meningkatkan kualitas dan kesucian ruh secara efektif. Implikasi dari pandangan
yang demikian terhadap agama menjadikannya “dengan senang hati mempertahankan
diri” dalam lapisan sosial bawah. Seseorang menjadi tidak memiliki semangat
untuk melakukan mobilitas sosial guna mencapai kelas sosial yang lebih tinggi.
Teologi
memiliki peran yang cukup penting di dalam membentuk sikap dan cara pandang
seseorang atau kelompok masyarakat terhadap realitas kehidupan yang
dijalaninya. Pandangan seseorang terhadap masalah kemiskinan dan upaya-upaya
untuk membebaskan dirinya dari jeratan kemiskinan bisa dibantu oleh paham
teologis yang dianutnya. Karena itu, jika agama masih ingin menddapatkan tempat
di hati kelompok masyarakat yang tertindas dan lemah maka agama harus dapat
mengembangkan teologi pembebasan. Teologi pembebasan sangat diperlukan karena
saat ini teologi konvensional cenderung sangat ritualistik, dogmatis dan
metafisis. Akibatnya, agama hanya bersifat mistis dan hanya bisa menghipnotis
masyarakat dengna doktrin-doktrinnya. Di sini teologi pembebasan diperlukan
untuk merubah karakteristik teologi klasik dengan mengembangkan relevansi agama
dengan problem kehidupan riil umat manusia. Ditegaskan bahwa agama bukan
sekedar mengurusi masalah akhirat, atau sebaliknya.
Oleh
karena itu, historisitas dan relevansi kontemporer agama sebagai wujud
perhatiannya terhadap urusan duniawi harus dapat dipertemukan dengan
urusan-urusan ukhrawinya. Ini merupakan prasyarat dasar untuk menjadikan agama
sebagai sumber motivasi bagi kaum tertindas agar mereka dapat mengubah keadaan
diri mereka. Agama dengan demikian akan menjadi kekuatan spiritual untuk
mengangkat harkat kehidupan manusia. Agama menjadi semangat bagi seseorang
dalam melakukan mobilitas sosial.
Sebagai
contoh adalah seperti apa yang disampaikan oleh David McClelland dalam sebuah
tulisan :
Saya sangat terkesan pada analisis
tentang hubungan antara Protestanisme dan semangat kapitalisme yang dibuat oleh
Max Weber. Ia mengatakan bahwa sifat-sifat yang membedakan antara wiraswasta
Protestan taat dan pekerja biasa bukanlah karena mereka telah berhasil
membentuk lembaga-lembaga kapitalisme atau memiliki keterampilan yang prima,
melainkan karena mereka mengerjakan pekerjaannya dengan semangat baru. Doktrin
kaum Calvins tentang nasib yang telah ditentukan sebelumnya telah memaksa
mereka untuk memperhitungkan segala aspek kehidupan mereka secara rasional dan
untuk bekerja keras guna membuat segala sesuatu sempurna sesuai dengan posisi
mereka di dunia, seperti yang telah ditetapkan Tuhan (McClelland, 1971: 85).
Teologi
pembebasan lebih menekankan pada aspek praksis ketimbang teorisasi metafisis
yang mencakup konsep-konsep abstrak dan ambigu. Jika agama tidak bisa menjadi sumber kebebasan dan
perubahan maka agama hanya akan menjadi sesuatu yang formal tanpa memiliki
makna dalam kehidupan sehari-hari. Jika demikian halnya, maka orang akan
memiliki cukup alasan untuk meninggalkan agama.
Agama akan dapat
memenuhi fungsi liberatifnya jika ia mampu menunjukkan keterlibatannya dalam
kehidupan sosial-politis, di mana perubahan dan pembebasan menjadi inspirasi
setiap agama. Doktrin tentang relevansi iman dengan amal shaleh sebagai mata
rantai yang sinergis harus menjadi mainstream dalam mewujudkan perubahan
sosial. Harus dipahami bahwa kemiskinan dan ketertindasan (penempatan seseorang
pada lapisan sosial bawah) bukanlah problem dasar dari agama tetapi problem
akibat pemahaman keagamaan secara parsial.
BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat
bukan saja struktur sosial yang stabil tetapi struktur sosial yang dinamis. Agama
dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Meski demikian, stratifikasi atau
pelapisan sosial tersebut menarik
untuk dikaji dalam perspektif
sosiologi agama. Kelas
sosial merupakan suatu realitas sosial yang penting, bukan sekedar suatu konsep
teoritis. Apakah agama
bisa menjadi faktor
penentu faktor
kelas sosial dalam tatanan masyarakat, sangat dipengaruhi oleh interpretasi
manusia atas agama.
Teologi
memiliki peran yang cukup penting di dalam membentuk sikap dan cara pandang
seseorang atau kelompok masyarakat terhadap realitas kehidupan yang
dijalaninya. Kesalahan
memahami prinsip–prinsip agama berkaitan dengan kelas sosial, menjadikan agama sering “dikambinghitamkan”. Agama akan dapat memenuhi fungsi
liberatifnya jika ia mampu menunjukkan keterlibatannya dalam kehidupan
sosial-politis, di mana perubahan dan pembebasan menjadi inspirasi setiap
agama.
Di dalam sosiologi agama dilihat pula beberapa
pandangan mengenai pengaruh agama atas lapisan-lapisan sosial dan sebaliknya yang terjadi pada golongan petani, pengrajin dan pedagang kecil, pedagang besar, karyawan, kaum buruh, kelas yang beruntung dan golongan elite dan hartawan, kategori orang dewasa dan muda, serta golongan wanita. Sedangkan Clifford Gertz memberikan perhatiannya pada masyarakat
Jawa dan mengkategorisasikan
ke dalam tiga golongan besar yaitu
abangan, santri, dan priyayi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkham, dkk (ed: Muh. Asror Yusuf). 2006. Agama sebagai Kritik Sosial di tengah Arus
Kapitalisme Global. Yogyakarta: IRCiSoD
Bryan
S. Turner. 2006. Agama dan Teori Sosial; Rangka-Pikir
Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologi-ideologi
Kontemporer. Yogyakarta: IRCiSoD
Dadang Kahmad. 2006. Sosiologi
Agama. Bandung: Rosdakarya
D.
Hendropuspito, O.C. 2006. Sosiologi Agama.
Yogyakarta: Kanisius
0 Response to "AGAMA DAN STRATIFIKASI SOSIAL"
Post a Comment