KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA
Wednesday, 28 March 2018
Add Comment
KERUKUNAN ANTARUMAT
BERAGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
adalah negara dengan penduduk yang luar biasa banyak jumlahnya. Termasuk
didalamnya beranekaragam suku, bangsa, ras, dan agama. Keanekaragaman ini merupakan
kelebihan yang tidak dimiliki bangsa manapun di dunia, namun kelebihan ini bisa
menjadi bumerang yang bisa menghancurkan Indonesia apabila dalam mengelola
keragaman ini kurang bijaksana. Konflik sosial hingga peperangan bukan tidak
mungkin muncul, apalagi jika menyangkut hal-hal yang prinsipil seprti agama.
Oleh karenanya dibutuhkan kerukunan antar umat beragama agar penyelenggaraan
dan kelangsungan Indonesia tetap terjaga.
Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan
aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kerukunan umat
beragama adalah salah satu point yang sangat peting dalam kehidupan social.
Dimana harus adanya sinergi antar umat beragama dalam menjaga keutuhan
kerukunan umat beragama. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai alternatif
yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk
di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai
Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi.
Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam
mensukseskan kerukunan antar umat beragama, dari luar maupun dalam negeri kita
sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa
dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk
menghadapi kendala-kendala tersebut. Dari berbagai pihak telah sepakat untuk
mencapai tujuan kerukunan antar umat beragama di Indonesia seperti masyarakat
dari berbagai golongan, pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang banyak
berperan aktif dalam masyarakat. Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut
agama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang
bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian
kerukunan antar umat beragama?
2.
Bagaimana urgensi kerukunan
antar umat beragama dalam masyarakat?
3.
Bagaimana kendala-kendala dalam
mewujudkan kerukunan antar umat beragama?
4.
Bagaimana solusi untuk
mewujudkan kerukunan antar umat beragama?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mendeskripsikan pengertian
kerukunan antar umat beragama.
2.
Memaparkan urgensi kerukunan
antar umat beragama dalam masyarakat.
3.
Menjelaskan kendala-kendala dalam
mewujudkan kerukunan antar umat beragama.
4.
Memaparkan solusi untuk
mewujudkan kerukunan antar umat beragama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama
Kerukunan adalah
istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, saling menghargai dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama
dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus
melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang
pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan.
Pemeliharaan
kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat
merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerintah lainnya.
Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan
umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instansi vertical, menumbuhkembangkan
keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara
umat beragama.
Kerukunan antar
umat beragama berarti damai dan tentram dalam berbagai perbedaan agama sehinnga
tercipta kesinambungan yang baik antar umat beragama. Kerukunan dalam kehidupan
akan dapat melahirkan karya – karya besar yang bermanfaat dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Sebaliknya konflik pertikaian dapat menimbulkan kerusakan di
bumi. Manusia sebagai mahkluk sosial membutuhkan keberadaan orang lain dan hal
ini akan dapat terpenuhi jika nilai-nilai kerukunan tumbuh dan berkembang
ditengah-tengah masyarakat.
Agar kerukunan hidup antarumat beragama
menjadi etika dalam kehidupan beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani
Inggris, yang ahli teologi Islam mengingatkan, demi kerukunan antarumat
beragama, harus dihindari penggunaan “standar ganda” (double standars). Orang-orang Kristen ataupun Islam misalnya,
selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya; biasanya standar
yang ditunjukkan bersifat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain,
mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis. Melalui
standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya
memperkeruh suasana hubungan antarumat beragama. Ada tidaknya keselamatan dalam
agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita.
Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan
sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia merupakan contoh dari
penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda biasanya dipakai
untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya
sendiri. Melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim
kebenaran dari satu agama atas agama lain.
Ternyata yang tampak ke permukaan,
berkaitan dengan terjadinya konflik antaragama, bisa sebagai akibat kesenjangan
ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis.
Akhirnya konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau
wahyu Tuhan sering menjadi alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan.
Ditambah dengan klaim kebenaran (truth
claim) dan watak misioner dari setiap agama, peluang terjadinya benturan
dan kesalahmengertian antarpenganut agama pun terbuka lebar, sehingga
menyebabkan retaknya hubungan antarumat beragama. Demi terciptanya hubungan
eksternal agama-agama, perlu dilakukan dialog antaragama. Sedangkan untuk
internal agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang lebih
menyentuh kemanusiaan yang universal. Dalam hal ini, peran para tokoh agama
mesti lebih dikedepankan.
B. Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat kerukunan antar umat
beragama sangat diperlukan karena tidak menuntut kemungkinan bahwa orang yang
disekitar kita satu agama dengan kita. Tidak bisa dibayangkan apabila tidak
terciptanya kerukunan antar umat beragama pada masyarakat sekarang ini, mungkin
akan terjadi perang antar agama. Sebagai contoh kecil, seorang penganut suatu agama
bertetangga dengan orang yang menganut agama lain. Pada saat orang ini
melakukan ibaah orang beragama lain menghidupkan suara dengan volume yang keras
yang mengganggu konsentrasi ibadah orang yang sedang melakukan ibadah. Dan
orang ini tentunya akan marah, dengki, dendam dan lain- lain yang akhirnya
menuju kepada konflik yang berkepanjangan. Itulah sebabya mengapa kerukunan
antar umat beragama sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Telah
dibahas sebelumnya bahwa kerukunan identik dengan kata “damai” dan “tentram”.
Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat”
untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850)
Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu
yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Untuk itu kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat dapat diwujdkan
dengan:
a)
Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
b)
Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
c)
Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan
d) Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun
peraturan Negara atau pemerintah.
Dengan demikian
akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman
dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.
C.
Kendala-Kendala dalam Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama
1.
Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr.
Ali Masrur salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini,
khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan
P.Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung
(indirect encounter) antar agama,
khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat
beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja,
dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang
berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.
Masing-masing
agama mengakui adanya agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain
bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka
akan timbullah yang dinamakan konflik.
2.
Kepentingan Politik
Faktor
Politik, faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam
mncapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia,
jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja
sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama
bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun
hampir memetik buahnya.
Namun
tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan
mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan.
Permasalahan ras, suku, agama seringkali disinggungkan dengan wilayah politik
yang berujung pada tersulutnya konflik yang lebih besar.
3. Sikap Fanatisme
Fanatik
adalah suatu istilah yang di gunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu
pandangan tentang sesuatu yang positif atau negatif, pandangan mana tidak
memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi di anut secara mendalam
sehingga susah di luruskan atau di ubah. Sedangkan fanatisme sendiri merupakan
sebuah faham atau merupakan sebuah konsekuensi logis dari kemajemukkan sosial
atau heterogenitas dunia dan merupakan bentuk solidaritas terhadap orang-orang
yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang-orang yang berbeda.
Suatu
kekeliruan bila masyarakat menganggap fanatisme adalah sesuatu yang benar,
seseorang yang terlalu fanatik biasanya
di karenakan dia hanya menafsirkan sesuatu hanya dari satu sudut pandang ilmu
saja, bisa di katakan kurangnya pemahaman mengenai ilmu lain dari masyarakat
tersebut.
Dewasa
ini kehidupan umat beragama masih belum dapat tercapai titik kedewasaan, dalam
kurun waktu yang singkat banyak terjadi konflik, bahkan menimbulkan peperangan
hanya karena satu alasan perbedaan suatu pandangan dalam peribadatan dan
kurangnya toleransi untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial.
Faktor
terbesar yang menciptakan kisruh dalam kehidupan umat beragama adalah
fanatisme, faham ini dapat menciderai kerukunan masyarakat sosial, fanatisme
adalah musuh dari adanya sebuah kebebasan, kebebasan disini di maksudkan pada
semua individu dapat saling menghormati dalam segala aspek proses peribadatan,
selama proses tersebut tidak merugikan kepercayaan dan mengganggu keyakinan
yang lainnya. Kehidupan umat beragama sendiri merupakan suatu konsep tatanan
perbedaan keyakinan yang di anut dalam suatu kehidupan sosial masyarakat dalam
melakukan interaksi berdasarkan konsep ketuhannan. yang sebenarnya kehidupan
itu harus berjalan seiring dan tidak saling mengganggu, konsep ini akan sesuai
dengan konsep manusia sebagai makhluk sosial.
D. Solusi untuk Mewujudkan
Kerukunan Antar Umat Beragama
1.
Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah
perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir
keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah
dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang
berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional”
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini
lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social
history) sebagai bandingan dari
“sejarah politik” (political history).
Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan
sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para
penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi
berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya
mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful
co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa
dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus
meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi
teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama
yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat
beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan
dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang
dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang
secara keagamaan paling beragam. Indonesia, dalam batas tertentu, juga
mengalami kecenderungan yang sama. Sebagian besar perjumpaan di antara
agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam
waktu-waktu tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang
cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi
meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif
kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam
perjumpaan itu, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural
atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.”
Bahkan
terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan
keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat
domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat
perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini
terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan
berdampingan secara damai.
2.
Bersikap Optimis
Walaupun
berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling
pengertian dan saling menghargai antaragama, Tidak perlu bersikap pesimis.
Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi
dan menyongsong masa depan dialog.Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat
kita bersikap optimis.
Pertama, pada
beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN
dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga
telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur
jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan
paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga
bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di
Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme
agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para
pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam
melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik
secara reguler maupun insidental untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan
memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa
ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin
agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga
tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya.
Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah
kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan
serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga,
masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin
teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana
wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion)
dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin
agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita
untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar
teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal
ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka
setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih
sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
BAB III
KESIMPULAN
Kerukunan adalah
istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, saling menghargai dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama
dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus
melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang
pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Kendala-kendala
mewujudkan kerukunan antar umat beragama antara ain rendahnya sikap toleransi,
kepentingan politik, dan sikap fanatisme. Sementara solusi yang ditawarkan
untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama adalah dialog antar pemeluk
agama, dan bersifat optimis bahwa kerukunan antar umat beragama akan terwujud,
karena pertama, pada
beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang. Kedua, para pemimpin masing-masing
agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan
antar-agama. Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi
isu-isu atau provokasi-provokasi. Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan
kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para
pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan
pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada
sebagai lawan.
DAFTAR PUSTAKA
Septina, Irma dkk. 2014. Kerukunan Antar Umat Beragama. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PAI%20Kerukunan%20Hidup%20Umat%20Beragama-%20Diskusi%20Mahaiswa.pdf.
Diakses pada tanggal 19 Mei 2014.
Dadang Kahmad. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Scharf, Betty R. 1995.Kajian Sosiologi Agama. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya.
Mubarak, Zulfi.2006. Sosiologi Agama. Malang: UIN Malang Press.
0 Response to "KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA"
Post a Comment