“Agama dan Kebudayaan”
Wednesday, 28 March 2018
Add Comment
“Agama dan Kebudayaan”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Agama
yang seringkali dipahami
sebagai suatu bidang
yang berkaitan dengan Tuhan,
Surga, atau Neraka
dan lain-lain hal
yang adikodrati dan
yang kudus, menampakkan
eksistensinya dalam kehidupan sosial,
maupun dalam mempengaruhi pola
perilaku individu. Keberadaan
yang demikian menempatkan
agama dan pengkajian sosiologi
agama, merupakan suatu
hal yang amat
penting dalam memahami masyarakat
dengan berbagai macam
fenomenanya. Oleh karena
itu sangat dipandang perlu sosiologi mengkaji agama sebagai suatu Fakta
Sosial.
Agama dan kebudayaan adalah dua hal
yang sangat berbeda. Agama selalu dikatakan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa,
Penguasa Alam Semesta beserta segala isinya, sedangkan kebudayaan adalah produk
manusia. Penggabungan kata agama dan kebudayaan, akan melahirkan agama
kebudayaan dan kebudayaan agama. Keduanya sangat berbeda.
Agama kebudayaan adalah kepercayaan
tentang Tuhan yang berasal dari kebudayaan. Timbulnya kepercayaan ini, karena
manusia dihadapkan kepada misteri tentang kehidupannya di muka bumi ini.
Manusia merasakan ada sesuatu yang mengatur dunia ini. Contoh seperti ini
adalah aliran kepercayaan dengan berbagai istilah dan aliran seperti dinamisme,
animisme.
Sedangkan
kebudayaan agama justru sebaliknya. Kebudayaan agama bersumber dari agama yang
kemudian melahirkan kebudayaan-kebudayaan, baik dalam tataran ide maupun
material dan perilaku. Dalam konsep ini, manusia tidak perlu lagi mencari
Tuhan, manusia harus menerima adanya Tuhan.
Masyarakat dan
kebudayaan dikatakan dapat
dibedakan tetapi tidak
dapat dipisahkan. Artinya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat dan
tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Dalam masyarakat yang sederhana
sekalipun dan sampai kepada masyarakat
yang modern kebudayaan
dijumpai sebagai fenomena
sosial yang universal.
Para
ilmuwan sosial lebih
cenderung untuk mengatakan bahwa
agama merupakan bagian dari kebudayaan. Hal ini dapat dilacak dari definisi
awal yang diberikan
oleh Sir Edward
Tylor (1871) menyebutkan
: "kebudayaan adalah kompleks
keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian,
moral, hukum, adat
istiadat dan semua
kemampuan dan kebiasaan yang lain
yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat". Bila dinyatakan
secara lebih sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan
dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sementara
itu Dyde Kluckhohn dalam bukunya Universal
Categories of Culture menyatakan
bahwa ada tujuh
unsur universal dari
kebudayaan, yaitu : (1) sistem perlengkapan hidup;
(2) sistem mata
pencaharian hidup dan
sistem ekonomi; (3) sistem
kemasyarakatan; (4) sistem
Bahasa baik lisan
maupun tulisan; (5)
sistem kesenian; (6) sistem ilmu pengetahuan dan; (7) sistem kepercayaan
atau religi. Agama yang dimaksud dalam Sosiologi Agama lebih cenderung pada
agama sebagai sistem kepercayaan, yang ada pada masyarakat yang paling
sederhana dan masyarakat yang paling
sederhana sekalipun. Agama
sebagai sistem kepercayaan
merupakan gejala yang universal
dan merupakan bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu berdasarkan pada dua hal
di atas, maka agama merupakan bagian dari kebudayaan.
Agama,
yang menyangkut kepercayaan serta
sebagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah
sosial dan sampai
saat ini senantiasa
ditemukan dalam setiap masyarakat manusia dimanapun. Oleh
karena itu bagaimana kita mendekati masalah ini dan sudut pandang sosiologis.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian agama?
2. Apa
pengertian kebudayaan?
3. Bagaimana
hubungan agama dengan kebudayaan?
4. Bagaimana
teori Sosiologi mengkaji hubungan agama dan kebudayaan?
5. Bagaimana
hubungan agama dan kebudayaan yang ada di masyarakat?
C. Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan
pengertian agama
2. Menjelaskan
pengertian kebudayaan
3. Menjelaskan
hubungan agama dengan kebudayaan
4. Menjelaskan
teori sosiologi yang mengkaji hubungan agama dengan kebudayaan
5. Menjelaskan
hubungan agama dan kebudayaan yang ada di masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Agama
Agama ialah suatu jenis sistem sosial
yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan
nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan
bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.
Spencer mengatakan agama pada dasarnya
berisi “keyakinan akan adanya sesuatu yang mahakekal yang berada diluar
intelek”. Begitu juga dengan Max Muller, dia melihat seluruh agama sebagai
“usaha untuk memahami apa-apa yang tak dapat dipahami dan untuk mengungkapkan
apa yang tak dapat diungkapkan, sebuah keinginan kepada sesuatu yang tidak
terbatas” (Durkheim, 2003: 50). Menurut M. Reville, agama merupakan daya
penentu kehidupan manusia, yaitu sebuah ikatan yang menyatukan pikiran manusia
dengan pikiran misterius yang menguasai dunia dan diri yang dia sadari, dan
dengan hal-hal yang menimbulkan ketentraman bila terikat dengan hal tersebut
(Durkheim, 2003: 56).
Konsepsi Geertz
menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari sistem kebudayaan, dalam arti
agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan
manusia. Selaras dengan itu Geertz juga mengungkapkan bahwa agama adalah suatu
sistem simbol yang berfungsi untuk mengukuhkan suasana hati dan motivasi yang
kuat dan mendalam pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang
tatanan umum eksistensi dan membungkus konsepsi itu dengan aura aktualitas yang
bagi perasaan dan motivasi tampak realistis (Sutiyono, 2010).
Ada dua jenis
agama, yaitu agama budaya dan agama langit. Agama yang pertama lahir dalam
masyarakat sebagai hasil cara berpikir dan merasa atau anutan masyarakat dalam
hubungan dengan yang gaib umumnya, yang kudus khususnya. Ciri-cirinya antara
lain:
·
Tidak
dapat dipastikan lahirnya, karena hasil evolusi akal, tidak disampaikan oleh nabi
atau rasul Tuhan
·
Konsep
ketuhanannya: serba-jamak-dewa
·
Umumnya
tidak memiliki kitab suci yang diwariskan oleh nabi/ rasul Tuhan: kalau ada
kitabnya, ia mengalami perubahan-perubahan
·
Tata
merasa dan berpikir agama inheren dengan tata merasa dan berpikir tiap bidang
kehidupan masyarakat
·
Berubah
dengan perubahan pemikiran akal manusia
·
Mengenai
alam nyata prinsip-prinsip ajaran agama tidak bertahan terhadap kritik akal dan
ilmu, sedangkan ajaran-ajarannya tentang yang gaib tidak termakan oleh akal
Kalau agama
langit diturunkan dari langit dan bukan merupakan cara berpikir/ merasa
masyarakat. Ciri-cirinya antara lain:
·
Ia
lahir secara revolusi (dari tidak ada tiba-tiba menjadi ada) karena itu dapat
dipastikan bila lahirnya disampaikan oleh rasul Tuhan
·
Konsep
ketuhanannya: serba-esa-Tuhan
·
Memiliki
kitab suci yang diwariskan oleh rasul, dan tidak berubah
·
Tata
merasa dan berpikirnya tidak inheren dengan tata merasa dan berpikir tiap
bidang kehidupan masyarakat
·
Tidak
berubah dengan perubahan pemikiran masyarakat
·
Prinsip-prinsip
ajaran agama mengenai alam nyata tahan uji terhadap kritik akal, dan pada
saat-saat tertentu perkembangan ilmu, terbuktikan kebenarannya, mengenai alam
gaib sehingga dapat diterima oleh akal
Bentuk-Bentuk Primitif dari Agama
1.
Animisme
Animisme sebagaimana digunakan dan dipahami oleh E.B
Tylor, mempunyai dua arti. Pertama, dia dapat dipahami sebagai suatu sistem
kepercayaan dimana manusia religius, khususnya orang-orang primitif membubuhkan
jiwa pada manusia dan juga pada semua makhluk hidup dan benda mati. Arti kedua,
animisme dapat dianggap sebagai teori yang dipertahankan oleh Tylor dan
pengikut-pengikutnya, bahwa ide tentang jiwa manusia merupakan akibat dari
pemikiran mengenai beberapa pengalaman psikis, terutama mimpi, dan ide tentang makhluk-makhluk
berjiwa diturunkan dari ide tentang jiwa manusia ini, oleh karena itu merupakan
bagian dari tahap berikutnya dalam perkembangan kebudayaan.
2.
Pra-Animisme
atau Animatisme
Sebagai suatu kepercayaan, animatisme berarti bahwa
suatu daya atau kekuatan supernatural ada dalam pribadi tertentu, binatang dan
objek tak berjiwa lainnya. Hakikat ini dianggap bisa dipindahkan dari satu
pribadi atau objek ke pribadi atau objek yang lain.
3.
Totemisme
Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada
hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa atau klan dan suatu
spesies tertentu dalam wilayah binatang atau tetumbuhan. Hubungan ini
diungkapkan sebagian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam
aturan-aturan khusus perkawinan diluar suku. Fenomena tersebut mengandung
perintah-perintah yang dijunjung tinggi, seperti larangan membunuh atau makan
daging binatang totem atau mengganggu tanaman totem.
4.
Urmonoteisme
Pater Schmidt mengajukan sebuah teori perkembangan
agama yang sama sekali bertentangan dengan teori kelompok evolusionis. Pada
mulanya kepercayaan akan yang mahatinggi muncul diantara orang-orang dan
melewati suaatu proses kemunduran, menghasilkan konsep-konsep seperti roh, jin,
jiwa-jiwa binatang dan tumbuhan, serta dewa-dewa. Pater Wilhem Schmidt
memastikan adanya fakta bahwa orang-orang primitif memang mempunyai suatu
kepercayaan akan yang mahatinggi, sebagai pencipta dan pemberi hukum.
Pengenalan yang menyebar luas dalam masyarakat
primitif akan suatu yang mahatinggi sebagai dewa tertinggi atau bapa
segala sesuatu dari suku itu, yang sering ditempatkan dilangit, telah
ditafsirkan sebagai monoteisme awal.
5.
Pemujaan
Terhadap Leluhur
Pemujaaan
leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan, dan praktik
berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu
komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan.
B.
Pengertian
Kebudayaan
Suatu kebudayaan
ialah cara berfikir dan merasa, menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan
sekelompok manusia yang membentuk masyarakat, dalam suatu ruang dan suatu
waktu. Kebudayaan
sebagai sistem symbol mempunyai arti yang sangat luas. Objek apa saja mengenai
hasil kebudayaan yang memiliki makna dapat disebut symbol. Konstruksi manusia
tentang symbol adalah sebagai suatu tanda yang disepakati dan secara
konvensional dibentuk secara bersama-sama oleh masyarakat atau budaya yang
sedang hidup dalam suatu masyarakat. Kebudayaan sebagai sistem symbol nampaknya
lebih bersifat abstrak dan sulit untuk diobservasi, tetapi sebagai suatu
kompleks aktivitas manusia yang dipandang sebagai sistem sosial terlihat lebih
konkret dan mudah untuk dimengerti. Oleh sebab itu, wujud konkret kebudayaan
yang berupa aktivitas manusia atau kelompok manusia yang saling berinteraksi
memiliki kerangka aturan yang didasarkan pada sistem symbol sebagai sumbernya. Simbol
mempunyai peranan penting dalam kajian kebudayaan. Simbol digunakan manusia
untuk mengorientasikan dirinya sendiri, sekaligus sebagai produk dari interaksi
sosial. Dengan demikian symbol merupakan suatu formula yang terlihat dari
berbagai pemikiran atau perwujudan konkret dari gagasan, sikap, keputusan,
kerinduan, atau keyakinan.
Oleh karenanya,
antropolog Safri Sairin (1995) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem ide
yang dimiliki manusia. Seluruh bentuk aktivitas menusia beserta hasil karya
dari aktivitas tersebut berpusat pada sistem ide yang dimiliki oleh
masing-masing kepala manusia. Menurut Gooddenough (dalam Oetomo, 200:3),
kebudayaan suatu masyarakat terdiri dari apa-apa yang harus diketahui atau
dipercaya untuk dapat berfungsi sedemikian rupa sehingga dianggap pantas oleh
anggota-anggotanya. Dalam hal ini, kebudayaan bukanlah fenomena material, tidak
terdiri dari benda-benda, perilaku, dan emosi. Ia lebih merupakan suatu
pengaturan hal-hal yang ada di benak pikiran orang (Sutiyono, 2010).
Kebudayaan ialah
kebudayaan masyarakat tertentu. Kebudayaan dapat dibagi menjadi 2: jiwa
kebudayaan yang abstrak sifatnya, dan penjelmaannya yang konkrit. Cara berpikir
dan merasa adalah jiwa-jiwa kebudayaan yang membentuk ide-ide. Ide-ide
diwujudkan oleh perbuatan menjadi kenyataan dalam segi-segi kehidupan. Apabila
kenyataan itu bersifat material, maka disebut kebudayaan material. Cara
berpikir dan merasa yang sama antara sekelompok manusia adalah hasil dari hidup
bersama dan bekerja sama dalam masa yang cukup lama. Kelompok itu membentuk
masyarakat. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaannya sendiri.
C.
Hubungan Agama Dengan Kebudayaan
Tentunya
sejak dini, harus
dipahami bahwa sosiologi
agama tidak dan
bukan ingin memasuki bagian-bagian
yang sakral dari
agama. Tidak juga
ingin mengambil kewenangan dan
kesucian dari agama.
Sejak awal telah
dipisahkan secara tegas bahwa sosiologi agama mempelajari
masyarakat khususnya interaksi sosialnya
yang berkaitan dengan kehidupan
sosial agamanya. Oleh
karena itu hubungan
antara agama dan kebudayaan tetap menempatkan agama sebagai sistem
kepercayaan dan merupakan bagian universal dari kebudayaan.
Kebudayaan
dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan
terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan.
Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia
disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai
budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan
nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk
mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan. Di samping kerangka besar kebudayaan,
manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta
kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan
apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar
ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh
agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak
unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni
lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau
sinkretis antara agama dan kebudayaan. Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan
pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan
adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam
masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat
berdampak pada perubahan kebudayaan.
Perbedaan
antara agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan
kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling
mengisi dan membangun) antara agama dan budaya. Akibatnya, ada beberapa
sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1. Sikap Radikal: Agama menentang
Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan
antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat
berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus
memilih Agama atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi
kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan
harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2. Sikap Akomodasi: Agama Milik
Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3. Sikap Perpaduan: Agama di atas
Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan
kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan
insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4. Sikap Pambaharuan: Agama
Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui
masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan
bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan
memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau
mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak
bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat,
maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya
pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal
mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib
melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika
mengfungsikan atau menggunakannya.
Teori fungsional
melihat kebudayaan sebagai
sejumlah pengetahuan yang kurang lebih agak terpadu, sebagai
pengetahuan semu, kepercayaan, dan nilai. Hal ini menentukan situasi
dan kondisi bertindak para
anggota suatu masyarakat.
Dalam pengertian ini kebudayaan merupakan suatu sistem makna-makna
simbolik (symbolic system of meanings)
yang sebagian diantaranya
menentukan realitas sebagaimana diyakini, dan
yang sebagian lain
menentukan harapan-harapan normatif
yang dibebankan pada manusia. Unsur-unsur yang membentuk sistem makna
budaya dapat implisit maupun eksplisit.
Suatu sistem makna
budaya itu memperlihatkan beberapa tingkat kepaduan
yang menyeluruh dan
jalan yang menuju
konsistensi. Kebudayaan menyatu
dengan sistem sosial dalam arti ia berada dalam batasan sarana dan tujuan,
yang dibenarkan dan
yang dilarang, dengan
menentukan peranan dimana anggota
masyarakat menghadapi harapan-harapan situasi
sosial mereka yang telah mapan. Agama dengan referensi yang transendensi
kedunia diluar pengakuan itu merupakan
aspek penting fenomena
kultural. Kebudayaan bagi manusia merupakan kreasi dunia
penyesuaian dan kemaknaan,
dalam kontek mana kehidupan manusia dapat dijalankan dengan penuh arti.
Dengan demikian kebudayaan memasuki
pemikiran dan perasaan
manusia dan penting
bagi bentuk-bentuk sosial yang
tampil atas kesenjangan
manusia.
Meminjam istilah
Wandell T Bush:
agama merupakan bagian dunia imajinasi yang sangat penting yang
berfungsi secara sosial, dan ungkapan verbalnya hanya merupakan peragaan bagian
terkecil saja. Sosiolog kontemporer menyadari, walaupun manusia menganut
berbagai nilai, gagasan dan orientasi
yang terpola yang
mempengaruhi perilaku mereka,
walaupun mereka bertindak dalam
kontek yang terlembaga;
dalam berbagai situasi
dimana peranan yang diharapkan
dipaksakan oleh sanksi
positif dan negatif,
memolakan performance nyata mereka
akan tetapi yang
bertindak, berfikir dan
merasa adalah individu. Sosiologi
lebih menekankan pada
penjelasan corak kegiatan
manusia yang mempola dan
sudah dianut bersama,
serta fikiran-fikiran kelompok.
Agama memiliki karakteristik diatas,
oleh karena itu
agama sangat penting
dalam mendukung kebudayaan suatu
masyarakat.
D.
Teori Sosiologi Mengenai Agama dan
Kebudayaan
1. Agama menurut Pemahaman Durkheim
Salah
satu proposisi Durkheim yang paling kontroversial, adalah bahwa pemujaan religius
pada dewa-dewa atau totem menjunjung tinggi masyarakat itu sendiri. Satu cara
lain untuk menyingkap maksud Durkheim yang menghubungkan ketuhanan dengan dunia
sosial adalah dengan menyatakan bahwa Durkheim tengah mendeskripsikan sebuah
proses, yakni proses yang teraktualisasikan didalam bentuk yang bisa diamati
dan kolektif disamping juga dialami dan dihadirkan secara subjektif dan masuk
akal namun bukan sebagai prosedur yang rasional atau proposional. Tak seorangpun
menyatakan bahwa seorang dewa itu diciptakan untuk menjamin sebuah tatanan sosial,
justru sebaliknya jiwa, roh, totem dan benda-benda sacral lainnya dipandang
sebagai ekspresi simbolik dan bersama akan kekuatan-kekuatan sosial yang
dirasakan kuat-kuat yang membebaskan
manusia dari partikulasi sahari-hari untuk mamasuki partisipasi kosmis: yakni
entitas-entitas ekspresif yang pada gilirannya mendefinisikan jati diri mereka,
namun yang harus mereka redakan amarahnya, jaga dan cintai.
Dimata
Durkheim proses objektifikasi ini menjadi kunci yang menjadikan dunia sosial
sebagai masyarakat. Apabila masyarakat merupakan sebuah struktur representasi
dengan representasi mencakup aksi sekaligus objek simbolis yang merupakan
produknya maka hanya melalui representasilah anggota-anggotanya mampu membayangkan diri mereka sebagai anggota atau
partisipan dalam dunia sosial, atau membayangkan entitas-entitas sosial sebagai
sesuatu yang menjadi induk mereka. Agama, dalam pengertian ini berciri
abadi dan sangat penting bagi konstitusi
kehidupan sosial.
Durkheim (1995, 33-34)
mengidentifikasi 4 ciri unik agama : bercorak kolektif, tersusun dari
kepercayaan dan praktik, menyatakan perbedaan mendasar antara yang sakral
dengan yang profan, secara konseptual berbeda dengan magis, yan bercorak
instrumental tidak wajib dan pada prinsipnya tidak kolektif. Definisi utama
dari dunia sakral (yang sama dengan tradisi studi-studi tentang dunia ambang
dan ritus-ritus menjadi baliknya dari Van Gannep hingga Viktor Turner dan
Marice Bloch) menyatakan bahwa yang sakral itu terpisah dari kehidupan dan
pemanfaatan sehari-hari yang ditempatkan dalam sebuah pantangan. Yang profan
sebaliknya siap disentuh, dilihat digunakan atau dikonsumsi sehari-hari. Bagi
Durkheim kesakralan tidak berdiam pada esensi benda-benda, namun merupakan pada
konsekuensi dari aksi-aksi berulang yang menjadikan benda-benda demikian dalam
representasi partisipasi akan benda-benda, namun merupakan konsekuensi dari
aksi-aksi berulang yang menjadikan
benda-benda demikian dalam representasi partisipan akan benda-benda
tersebut dan berhubungan denga benda-benda dalam konteks –konteks ritual
spesifik. Yang sakral tidak selalu mendatangkan ketakjuban dan penghormatan,
sebagian benda dinilai sakral secara negatif yang dipisahkan oleh rasa
kebencian, kemarahan dan rasa takut. Namun semua benda sakral entah positif
atau negatif, merepresentasikan elemen-elemen kolektif.
2. Teori
Realitas Sosial Agama Peter L. Berger
Menurut Peter
L Berger, masyarakat
merupakan hasil dari
suatu proses dialektika yang
terdiri atas tiga momen yaitu : Ekternalisasi,
Obyektivasi dan Internalisasi. Dialektika
adalah suatu pemahaman dari
sudut mana suatu
permasalahan tersebut dipandang. Dialektika dipahami
merupakan suatu hal
yang sama keberadaannya
tetapi dapat dijelaskan dengan
berbagai cara tentang
keberadaan tersebut. Eksternalisasi adalah
pencurahan diri manusia
kedalam dunia, baik
dalam kegiatan mental maupun fisik. Sementara Obyektivitas adalah hasil
yang telah dicapai (baik mental maupun
fisik) dari kegiatan
tersebut. Dan Intemalisasi adalah penyerapan kembali realitas ini oleh
manusia - suatu proses tranformasi struktur dunia obyektif ke dalam kesadaran
subyektif.
a. Eksternalisasi
Pemahaman kita mengenai
manusia akan sangat
terkait dengan keberadaannya
dalam suatu lingkungan dan
masyarakat dimana ia
berada. Lewat kebudayaan
kita akan memahami manusia secara
empirik dan berkaitan dengan lingkungan social dan fisik dimana ia hidup. Keberadaan
manusia lebih lanjut
akan ditentukan oleh
"dunianya" dimana mereka
berada dan bergaul. Berbeda dengan
binatang-binatang menyusui lainnya,
yang dilahirkan dengan organisme yang
pada hakekatnya telah
lengkap. Dengan instingnya
binatang lahir dapat hidup
atas kemauan dirinya
sendiri. Sementara itu manusia pada saat lahir belum selesai. Untuk
menjadi manusia masih dibutuhkan banyak hal. Yang jelas untuk dapat survive,
manusia membutuhkan bantuan orang lain di awal kehidupan mereka. Manusia tidak
seimbang dengan dirinya sendiri.
Manusia secara terus
menerus berada dalam
proses menangkap dirinya. la
harus menemukan dirinya
dengan membangun dunianya.
Manusia tidak hanya menghasilkan
dunianya, tetapi juga dirinya. Atau
secara lebih tepat ia menghasilkan dirinya sendiri dalam suatu dunia.
b. Obyektivasi
Kebudayaan terdiri
dari totalitas hasil
manusia. Beberapa diantaranya adalah material dan
beberapa bukan. Manusia
menghasilkan alat-alat dalam aneka
bentuk. Dengan alat itu ia mengubah lingkungan fisiknya dan
menaklukkannya. Manusia juga menghasilkan
bahasa dan dengan bahasa itu dan atas dasar bahasa itu
ia membangun simbol yang melingkupi seluruh aspek kehidupannya.
Kebudayaan itu
memberikan suatu struktur
bagi kehidupan manusia. Struktur hasil manusiawi ini tak
pernah memiliki stabilitas seperti dalam
struktur dunia hewan. Kebudayaan sering
disebut sebagai kodrat
kedua ini tetap berbeda
dan kodrat (pertama) manusia
sendiri, karena kebudayaan
adalah hasil kegiatan
manusia. Kebudayaan harus terus menerus
dihasilkan mencapai taraf
tertentu dan dihasilkan kembali oleh manusia. Jadi
masyarakat adalah produk manusia, berakar
dalam ekternalisasi manusia.
c. Internalisasi
Proses
internalisasi harus juga dimengerti satu
momen saja dari proses dialektik yang lebih
luas yang mencakup
pula momen-momen eksternalisasi dan
obyektivasi. Sejauh internalisasi telah terjadi, individu sekarang
menangkap sebagai unsur dunia obyektif
sebagai fenomena yang berada dalam
kesadarannya dan sekaligus is
menangkapnya sebagai fenomena diluar kesadarannya. Setiap masyarakat
menghadapi persoalan bagaimana
menyampaikan arti-arti (nilai-nilai)
yang telah diobyektivasi dari satu
generasi ke generasi lainnya. Persoalan ini diselesaikan
dengan proses internalisasi, yaitu proses dengan mana generasi baru diajar untuk hidup
sesuai dengan program-program institusional masyarakat.
d. Nomos
Dunia sosial
membentuk suatu nomos
(tertib) baik secara
obyektif maupun subyektif.
Nomos obyektif terbentuk
oleh proses obyektif. Sebagian besar
dari pengetahuan yang
secara sosial diobyektivasi
adalah pra teoritis ini
terdiri dan skema-skema
interpretatif, patokan moral
dan kumpulan "kebijaksanaan
" tradisional. Bagimana variasinya, tiap masyarakat menyediakan bagi anggota-anggotanya
suatu kelompok "pengetahuan". Ambil bagian dalam masyarakat berarti ambil bagian dalam
tertib masyarakat/ nomos.
e. Kosmisasi
Dalam
masyarakat modern kosmisasi itu terwujud
lebih dalam pernyataan ilmiah mengenai hakekat manusia dari
pada hakekat alam universal.
Dengan kosmisasi itu
konstruksi nomos yang
rapuh memperoleh stabilisasi;
yaitu "diterima begitu
saja" (granted), seperti bagian
dari hakekat pemyataan dan kerap
kali lebih kuat dari pada kekuatan
historis manusia. Dalam proses itu
agama memperoleh maknanya
"religion is
the human enterprize which
sacred cosmos is
estabilished"
dengan kata lain,
agama adalah kosmisasi dalam
bentuk kosmos sakral dengan istilah sakral
dimaksudkan, sifat dari suatu
kekuatan misterius dan
menakutkan.
Dapat dikatakan
bahwa agama memainkan
peranan strategis dalam
usaha manusia membangun dunia.
Religi merupakan jangkauan
paling jauh dari eksternalisasi diri
manusia, penyempurnaan realitas
dengan makna-makna. Agama
mengaplikasikan bahwa tertib
manusiawi diproyeksikan dalam
totalitas yang ada. Dengan
kata lain, agama
adalah usaha yang
berani untuk memandang
seluruh universum sebagai bermakna secara manusiawi.
E.
Hubungan
Agama dan Kebudayaan di Masyarakat
1.
Sinkretisme
Dalam Masyarakat petani
Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau lebih,
dan terjadi lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha
untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama. Terjadinya
percampuran tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada
tradisi-tradisi yang diikutsertakan. Dalam pandangan Koentjaraningrat (1984),
sinkretisme merupakan watak asli agama Jawi.
Jika diperhatikan proses sinkretisme yang berlangsung antara budaya
Jawa dan Islam dapat berjalan dengan mulus karena berada dalam tatanan
simbolis. Dalam artian Islamisasi Jawa tidak dilakukan pada tataran yang kasar,
tetapi diarahkan pada kehalusan.
Gambaran secara simbolis antara Bima-Dewaruci dan Sunan
Kalijaga-Nabi Khidir AS merupakan perpaduan dua budaya yang
logis-transformasional. Pengalaman sunan Kalijaga merupakan pengalaman seorang
Muslim di dalam jala kaum sufi untuk menempuh tarekat, membuat citra Islam
dalam kisah Dewaruci semakin kental. Dengan demikian cerita Dewaruci di mata
orang Jawa yang Islam dapat dijadikan titik tolak predikat seni pewayangan
sebagi ajaran Islam. Predikat seni pewayangan sebagai unsur budaya yang secara
historis berasal dari masa pra-Islam menjadi tidak begitu penting lagi, karena
ia dipandang sebagai wadah yang tidak bertentangan dengan isinya yaitu Islam
itu sendiri. Dengan demikian proses sinkretisme itu menunjukkan bahwa seni
pewayangan itu hanyalah bersifat kulit luarnya saja, sedangkan roh (isinya)
adalah Islam.
2.
Gerakan
Puritanisme dan Rasionalisasi Agama
Konsepsi Peacock (1978) tentang ajaran puritan didsarkan pada
ajaran pembaruan Islam, yang dapat dianggap mirip dengan ajaran Kristen
Protestan. Kaum pembaruan mengutamakan ayat-ayat suci yang tertulis dalam Al
Quran dari pada penafsiran para cerdik pandai (kiai), mempermudah tata upacara,
dan memberantas pamujaan terhadap orang-orang suci dan rohnya, serta pemujaan
yang mengalihkan perhatian seseorang dari ibadatnya kepada Tuhan.
Gerakan puritanisme bertumpu pada syariat Islam dan mereproduksi
perilaku keagamaan Islam murni dan menampilkan karakter corak wajah yang
berbeda dengan kalangan sinkretis. Pertama, memformalisasikan syariat Islam
sebagai isu utama di dalam aksinya secara institusional dan untuk dilaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap pemeluknya. Kedua, menempatkan syariat
Islam sebagai pilihan hidup umat Islam. Syariat Islam menjadi pemandu dalam
mempraktikan sistem keagamaan yang doctrinal. Sikap, isi pikiran, beserta
aksinya dalam masyarakat selalu dikendalikan olelh doktrin, yang mencerminkan
karakter fundamentalisme keagamaan berbasis tekstual.
3.
Ritual
Cina
Ritual cina kuno berperan penting tidak hanya dalam hal keagamaan,
tapi juga dalam kehidupan sosial dan politik orang-orang cina. Selama
pemerintahan dinasti Chou, secara teliti dan sampai hal-hal yang
sekecil-kecilnya, ritual diupayakan untuk menjamin pelaksanaan upacara-upacara
secara tepat dalam rangka pemujaan dewa-dewa daan roh-roh leluhur. Mereka juga
menandai proses-proses kelahiran, pernikahan, kematian, dan pada saat berkabung
dalam kehidupan pribadi.
4.
Ritual
Jepang
Di Jepang, ritual shinto dalam rangka menghormati dewa matahari
dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejaahteraan serta kemajuan bidang pertanian
(budaya beras). Inilah ritual dimana doa atas panenan dan kesejahteraan
ditujukan kepada Dewi Kehidupan dan pertumbuhan, leluhur dari keluarga penguasa.
5.
Ritual
Hindu
Ada dua macam ritual Hindu yang lazim di kalangan orang hindu masa
kini, yakni yang disebut ritual keagamaan Vedis dan Agamis. Ritual-ritual vedis
pada pokoknya meliputi kurban-kurban kepada para dewa. Suatu upacara kurban
berupa melakukan persembahan, seperti mentega cair, bulir-bulir padi, sari buah
soma, dan dalam kesempataan tertentu juga binatang, kepada suatu dewata.
Ritual agamis memusatkan perhatian pada penyembahan pujaaan-pujaan,
pelaksanaan puasa serta pesta-pesta yang termasuk bagian agama Hindu yang
merakyat. Bentuk khas dari praktik keagamaan Hindu adalah cara penyembahan
yanag disebut puja. Dalam suatu
rangkaian ritual, modelnya sebagian didasarkan pada kitab Veda, patung-patung
diminyaki, diberi pakaian, dihiasi dan diberi wangi-wangian, makanan dan
minuman dipersembahkan kepadanya, bunga-bunga dipersembahkan dan cahayaa
dicurahkan disitu.
BAB
III
KESIMPULAN
Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat
berbeda. Agama selalu dikatakan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, Penguasa Alam Semesta beserta segala isinya,
sedangkan kebudayaan adalah produk manusia. Agama kebudayaan adalah kepercayaan
tentang Tuhan yang berasal dari kebudayaan. Sedangkan
kebudayaan agama justru sebaliknya. Kebudayaan agama bersumber dari agama yang
kemudian melahirkan kebudayaan-kebudayaan, baik dalam tataran ide maupun
material dan perilaku.
Ada dua jenis agama,
yaitu agama budaya dan agama langit. Agama yang pertama lahir dalam masyarakat
sebagai hasil cara berpikir dan merasa atau anutan masyarakat dalam hubungan
dengan yang gaib umumnya, yang kudus khususnya. Kalau agama langit diturunkan
dari langit dan bukan merupakan cara berpikir/ merasa masyarakat. Bentuk-bentuk
primitif dari agama antara lain: animisme, pra-animisme, totemisme, urmonoteisme,
dan pemujaan terahadap leluhur.
antropolog Safri Sairin (1995) menyatakan bahwa kebudayaan adalah
sistem ide yang dimiliki manusia. Seluruh bentuk aktivitas menusia beserta
hasil karya dari aktivitas tersebut berpusat pada sistem ide yang dimiliki oleh
masing-masing kepala manusia.
Dalam Hubungan Agama dan kebudayaan terdapat beberapa sikap
diantaranya sikap radikal, sikap akomodasi, sikap perpaduan, sikap pembaharuan.
Teori yang mengkaji hubungan agama dengan kebudayaan adalah teori dari Emile
Durkheim yang menjelaskan tentang totem, profan dan sakral, serta teori
Realitas sosial agama dari Peter L Berger.
DAFTAR
PUSTAKA
Bryan
S. Turner.2013. Sosiologi Agama. Pustaka
Pelajar : Jakarta
Drs.
D. Hendropuspito, O.C. 1983. Sosiologi Agama. Kanisius: Yogyakarta
Emile
Durkheim. 2003. Sejarah Agama : The Elementary Forms of The Religious Life. IRCiSoD: Yogyakarta
Mariasusai,
Dhavamony. 1995. Fenomenologi Agama. Kanisius
: Yogyakarta
Sidi
Gazalba. 1976. Masyarakat Islam:
Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Bulan Bintang
: Jakarta
Sutiyono.
2010. Benturan Budaya Islam: Puritan dan
Sinkretis. Penerbit Buku Kompas: Jakarta
Sumber
Internet :
http://elisa.ugm.ac.id/community/show/sosiologiagamaolehandreassoeroso/#!/section/10621/1396353818
diakses pada 01 April 2014
http://elisa.ugm.ac.id/community/show/sosiologiagamaolehandreassoeroso/#!/section/10625/1396355856
diakses pada 01 April 2014
0 Response to "“Agama dan Kebudayaan”"
Post a Comment