-->

FUNGSI AGAMA BAGI INDIVIDU


FUNGSI AGAMA BAGI INDIVIDU

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia memiliki akal dan pikiran yang digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan manusia-manusia lain disekitarnya serta untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Manusia berhubungan dengan sesama manusia, berhubungan dengan lingkungan, dan berhubungan dengan Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang maha Esa dan sebagai wakil Tuhan di bumi yang menerima amanat-Nya untuk mengelola kekayaan alam. Sebagai hamba Tuhan yang mempunyai kewajiban untuk beribadah dan menyembah Tuhan Sang Pencipta dengan tulus.
Manusia mempunyai dua fungsi yaitu individu dan sosial. Dalam fungsinya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, misalnya pendidikan, kesehatan, kebahagiaan dan sebagainya, sedangkan secara social manusia memerankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang hidup dan berinteraksi dengan masyarakat.
Manusia  mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam benaknya. Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia gelisah dan kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya tindakan irrasionaltas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda merupakan bukti adanya keingintahuan manusia yang diliputi oleh rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya. Rasa takut terhadap sesuatu itu menjadikan manusia beragama. Manusia selalu berfikir apa yang ada disekitarnya. Banyak hal yang dapat manusia fikirkan secara rasional. Namun ada sesuatu hal di sekeliling manusia yang tidak dapat dilihat secara rasional. Manusia memiliki kebutuhan batin seperti keyakinan terhadap Tuhan-Nya. Dan kebutuhkan akan hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk membahas mengenai fungsi agama terhadap individu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana agama dilihat secara umum?
2.      Bagaimana fungsi agama terhadap individu?



BAB II
PEMBAHASAN

a.      Definisi agama secara umum
Agama berasal dari kata berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata a yang artinya tidak dan kata gama yang artinya kacau. Jadi, “agama” artinya tidak kacau. Agama dilihat sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang dimiliki oleh manusia untuk menangani masalah. Agama adalah suatu sistem yang dipadukan mengenai kepercayaan dan praktik suci. Agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal. Agama adalah konsep hubungan dengan Tuhan. Tidak mudah untuk menguraikan pengertian agama, dalam kenyataannya para ahli dalam hal pengertian agama berselisih pendapat tentang defenisi agama, tak terkecuali ahli sosiologi dan antropologi.
Ada beberapa definisi agama menurut para ahli:
1.        Pengertian Agama Menurut Anthony F.C. Wallace: Agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi lewat mitos dan menggerakkan kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai terjadinya perubahan keadaan pada manusia dan semesta.
2.        Pengertian Agama Menurut Parsons & Bellah: Agama adalah tingkat yang paling tinggi dan paling umum dari budaya manusia.
3.        Pengertian Agama Menurut Luckmann: Agama adalah kemampuan organisme manusia untuk mengangkat alam biologisnya melalui pembentukan alam-alam makna yang objektig, memiliki daya ikat moral dan serba meliputi.
4.        Pengertian Agama Menurut KBBI: Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan/kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia lainnya.
Secara umum agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan / perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia. Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi.
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas. Namun, dalam kata-kata Emile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" Emile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat. Sistem sosial yang dibuat manusia untuk berbakti dan menyembah illahi. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari illahi agar manusia mentaatinya.
1.        Agama ialah sikon manusia yang percaya adanya tuhan, dewa, Illahi dan manusia yang percaya tersebut menyembah serta berbakti kepadanya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
2.        Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu yang dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta, cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya.
3.        Agama ialah percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum Tuhan tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh Tuhan sebagai pembawa agama. Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan tuhan kepada manusia untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.

b.      Fungsi agama terhadap individu
Agama, Individu, dan populasi
Kajian dalam hal ini dikatakan materialis dalam dua arti. Dengan mengikuti pembedaan yang dilakukan Michel Foucault, tujuannya adalah melacak hubungan antara agama dengan tubuh individu, dan antara agama dengan tubuh populasi. Istilah “agama” berasal dari religio, artinya ikatan relasi-relasi sosial antar individu, sedangkan istilah “sosiologi’ berasal dari socius, artinya ikatan kebersamaan yang membentuk masyarakat. Mengikuti Durkheim (1961), harus mendefinisikan agama sebagai seperangkat keyakinan dan praktek-praktek, yang berkaitan dengan yang sakral, yang menciptakan ikatan sosial antar individu. Kita dapat mendefinisikan sosiologi sebagai “ilmu tentang komunitas” (MacIver,1917,hlm 4). Sosiologi secara umum dan sosiologi agama khususnya menitikberatkan pethatiannya pada proses-proses yang menyatukan dan mengurai, mengikat dan melepaskan hubungan-hubungan sosial yang terdapat dalam ruang dan waktu tertentu.
Geertz merumuskan agama dalam sosiologi agama berbunyi, “agama ialah suatu sistem symbol yang berbuat untuk menciptakan suasana hati (mood) dan motivasi yang kuat, serba menyeluruh dan berlaku lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep yang bersifat umum tentang segala sesuatu (existence) dan dengan membalut konsepsi itu dengan suasana kepastian factual, sehingga suasana hati dan motivasi itu terasa sungguh-sungguh realistik. Nottingham, sosiolog agama, berpendapat bahwa agama bukan suatu yang dapat dipahami melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Tidak ada satupun definisi agama yang benar-benar memuaskan. Menurut gambaran Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana” dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu, agama dapat membangkitkan kebahagiaan bagi yang paling sempurna  dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju pada adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia.
Agama sebaiknya bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang  maupun dalam hubungannya  dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, agama juga memberii dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, secara psikologis agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri). Motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan non agama, baik doktrin maupun ideologi yang bersifat profan. Agama memang unik, hingga sulit didefinisikan secara tepat dan memuaskan.
Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas. Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan suatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi pendidikan dan masyarakat luas. Guire selanjutnya mengatakan berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam bentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu.
Menurut pandangan Guire dalam bentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama. Segala bentuk simbol-simbol keagamaan, mukjizat, magis maupun upacara ritual sangat berperan dalam proses pembentukan sistem nilai dalam diri seorang. Setelah terbentuk, maka seseorang secara serta merta mampu menggunakan sistem nilai ini dalam memahami, mengevaluasi serta menafsirkan situasi dan pengalaman. Dengan kata lain sistem nilai yang dimilikinya terwujud dalam bentuk norma-norma tentang bagaimana sikap diri. Misalnya, seorang pada kesimpulan: saya berdosa, saya seorang yang baik, saaya seorang pahlawan yang sukses ataupun saya sholeh, dsb. Pada intinya, Pada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah naluriah, inderawi, nalar, dan agama. Melalui pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian jika potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya, jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada diri seseorang. Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas. Perasaan positif ini lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat.
Agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi dan nilai etik juga merupakan harapan masa depan. Agama juga mempunyai pengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latarbelakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberii pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya. Sebaliknya agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari suatu yang gaib (Tuhan atau supranatural). Motivasi mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sedangkan nilai etik mendorong sesorang untuk berlaku jujur, menepati janji, menjaga amanat, dsb. Sedangkan harapan mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menerima cobaan yang berat ataupun berdoa. Sikap seperti itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama.

Garis Besar Fungsi Agama dalam Kehidupan Individu
1.      Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga Kesusilaan
Menurut Mc. Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem nilai ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi, pendidikan, dan masyarakat (Meredith B. Mc. Guire, 1981: 24). Selanjutnya, berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari – hari, bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut pandangan Mc. Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama. Menurut Mc. Quire system nilai yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam kehidupan individu dan masyarakat. Elizabeth K. Nottingham, mengatakan bahwa setiap individu tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu system nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembagan kepribadianya. Dengan mempedomani system nilai maka kesusilaan akan terjaga namun nilai tersebut tidak akan berfungsi tanpa melalui pendidikan. Dalam pendidikan Islam ada tiga bentuk proses pedidikan yaitu:
a.       Transfer of knowledge; ilmu pengetahuan agama dimiliki pendidik dipindahkan ( transfer ) kepada peserta didik.
b.      Transformation of knowledge; ilmu pengetahuan agama yang diberikan oleh pendidik dikembangkan (  Transformatio ) oleh peserta didik, dan
c.       Internalisation of values, nilai – nilai yang terkandung / terdapat pada pengetahuan agama ditanamkan ( internalitation ) oleh pendidik kepada peserta didik. St. Hafi Anshori mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan suatu stuasi yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam kehidupan moral dan social, dan agama dapat berfungsi sebagai institusi semacam itu. Motivasi keagamaan yang mereka lahirkan lewat tingkah laku keagamaannya kesusilaan dan tata tertib dalam masyarakat.

Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak dirasakan sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berpikir dan pola bersikap. Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Karena itu nilai menjadi penting dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak jarang pada tingkat tertentu. Orang siap untuk mengorbankan hidup mereka demi mempertahankan nilai. Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, contoh-contoh seperti ini terlihat pada kasus harakiri (Shinto), ataupun kesahidan (martyrdom). Disini terlihat bahwa kerelaan berkorban akan meningkat, jika sistem nilai yang berpengaruh terhadap seseorang sudah dianggap sebagai prinsip. Nilai mempunyai dua segi, yaitu segi intelektual dan segi emosional. Gabungan kedua aspek ini yang menentukan sesuatu nilai beserta fungsinya dalam kehidupan. Bila dalam kombinasi pengabsahan terhadap suatu tindakan unsur intelektual yang dominan, maka kombinasi nilai itu disebut norma atau prinsip. Namun, dalam keadaan tertentu dapat saja unsur emosional yang lebih berperan, sehingga seseorang larut dalam dorongan rasa. Kondisi seperti ini pula agaknya yang dialami para penganut aliran mistisisme.
Dilihat dari fungsi dan peran agama dalam memberi pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem, motivasi maupun pedoman hidup, maka pengaruh yang paling penting adalah sebagai pembentuk kata hati (conscience). Kata hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia pada dirinya. Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik. Boleh dikatakan, filsafat skolastik (agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebagai kesadaran akan prinsip-prinsip moral. Fromm membagi kata hati menjadi kata hati otoritarian dan kata hati humanistik. Kata hati otoritarian dibentuk oleh pengaruh luar, sedangkan kata humanistik bersumber dalam diri manusia. Kata hati humanistic adalah pernyataan kepentingan diri dan integrasi manusia, sementara kata hati otoritarian berkaitan dengan kepatuhan, pengorbanan diri dan tugas manusia atau penyesuaian sosialnya. Ia juga melihat manusia sebagai makhluk yang secara individu telah memiliki potensi humanistic dalam dirinya. Kemudian selain itu, individu juga menerima nilai-nilai bentukan dari luar. Keduanya membentuk kata hati dalam diri manusia, dan apabila keduanya berjalan seiring secara harmonis maka manusia akan merasa bahagia.

2.   Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Frustasi.
Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai dari Kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, istirahat, dan seksual, sampai kebutuhan psikis, seperti keamanan,, ketentraman, per-sahabatan, penghargaan, dan kasih sayang. Menurut Sarlito Wiraman Sarwono, apabila kebutuhannya itu tidak terpenuhi, terjadi ketidak-seimbangan, yakni antara kebutuhan dan pemenuhan, maka akan menumbuhkan kekecewaan yang tidak menyenangkan, kondisi atau keadaan inilah yang disebut frustasi. Menurut pengamatan psikolog bahwa keadaan frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku kagamaan. Orang yang mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan, untuk mengatasi frustasinya. Kebutuhan – kebutuhan manusia pada hakikatnya diarahkan kepada kebutuhan duniawi, seperti kebutuhan fisik ( pangan, sandang, papan, seks, dan sebagainya ) kebutuhan psikis (kehormatan, penghargaan, perlindungan dan sebagainya). Untuk itu ia melakukan pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah – hal tersebut yang melahirkan tingkah laku keagamaan.

3.   Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama sebagai sarana untuk mengatasinya, adalah ketakutan yang tidak ada obyeknya. Untuk mengatasi ketakutan sepert diatas,  psikologi sebagai ilmu empiris, terbentur masalah kesulitan. Soalnya bentuk ketakutan tanpa obyek hampir tidak bisa diteliti secara positif-empiris, karena ketakutan tersebut biasanya tersembunyi dalam gejala – gejala lain yang merupakan manifestasi terselubung dari ketakutan, misalnya dalam bentuk gejala malu, rasa bersalah, takut kecelakaan, rasa bingung, dan takut mati. Timbulnya motivasi agama salah satunya karena adanya rasa takut. Lihatlah misalnya disaat terjadi musibah gempa bumi, tsunami, dan sebagainya orang berduyun – duyun pergi ke rumah ibadah minta pertolongan dan perlindungan kepada Yang Mahakuasa.

4.        Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan.
Agama mampun memberi jawaban atas kesukaran intelektual kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah – tengah alam semesta ini. Tanpa agama, manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupannya, yaitu dari mana manusia datang, apa tujuan manusia hidup, dan mengapa manusia ada, dan kemana manusia kembalinya setelah mati. Dipandang dari segi psikologis dapat dikatakan bahwa agama memberi sumbangan istimewa kepada manusia dengan mengarahkannya kepada Tuhan. Dengan demikian, agama dapat menjadikan manusai merasa aman dalam hidupnya. Kesadaran akan keadaan itu jelas melahirkan adanya tingkah laku keagamaan.

5.        Agama sebagai pembentuk kata hati (conscienci).
Kata hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya (Erich Fromm, 1988: 110).  Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik (Erich Fromm: 11). Boleh dikatakan, filsafat skolastik (agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebagai kesadaran akan prinsip – prinsip moral (Erich Fromm: 111). Erich Fromm membagi kata hati menjadi menjadi dua, diantaranya:
a.       Kata hati otoritarian : dibentuk oleh pengaruh luar
b.      Kata hati humanistik : bersumber dari dalam diri sendiri




BAB III
PENUTUP
Agama adalah suatu sistem yang dipadukan mengenai kepercayaan dan praktik suci. Agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal. Agama adalah konsep hubungan dengan Tuhan. Tidak mudah untuk menguraikan pengertian agama, dalam kenyataannya para ahli dalam hal pengertian agama berselisih pendapat tentang defenisi agama, tak terkecuali ahli sosiologi dan antropologi.
Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas. Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu.
Agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi dan nilai etik juga merupakan harapan masa depan. Agama juga mempunyai pengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latarbelakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberii pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya. Sebaliknya agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya.



DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H, Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama (Cet. ke-14). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Prof. Dr. H. Ramayulis. 2003. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.


0 Response to "FUNGSI AGAMA BAGI INDIVIDU"

Post a Comment

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaan)

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaa...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel