HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN POLITIK
Wednesday, 28 March 2018
Add Comment
HUBUNGAN ANTARA AGAMA
DAN POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Agama
merupakan hal yang sangat menarik untuk diperdebatkan. Bahkan suatu hal jika
tanpa membawa-bawa agama terkesan biasa saja, namun setelah membawa agama maka
akan menarik berbagai orang untuk memperdebatkannya. Demikian juga dalam bidang
politik. Betapa Politik yang melibatkan agama sangat ramai dalam pro kontranya
dibandingakan politik yang tidak melibatkan agama.
Menilik
agama yang berhubungan dengan politik. Bagaimana bisa agama dan politik
bersatu. sebab seringkali orang mengartikan yang namanya agama itu hanyalah
semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Kuasa
saja. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. Agama berperan
mengoreksi politik yang menyimpang dari tujuan mulianya menyejahterakan rakyat
dan politik mesti pula membangkitkan kesadaran agama untuk tidak terbuai dalam
permainan politik lalu melupakan fungsi kritis agama dan sikap membisu agama
terhadap aktivitas politik.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi agama dan politik?
2. Bagaimana
keterkaitan hubungan agama dan politik?
3. Bagaimana
agama dalam perkembangan politik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama dan Politik
1.
Pengertian Agama
Agama adalah
suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua
masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi
syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama
termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra,
kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia
menginterpretasikan eksistensi mereka (Sanderson, Stephen K., 2011: 517).
Dalam
kehidupan, agama merupakan identitas individu sehingga dapat membedakannya dari
orang lain. Ada banyak sekali pendapat-pendapat mengenai makna agama. R.H.
Thouless mengambil 3 definisi dimana masing-masing definisi itu merupakan suatu
segi dari segi-segi agama pribadi, definisi tersebut adalah:
a.
Definisi Frazer
Agama adalah mencari keredaan atau
kekuatan yang tinggi dari pada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh
manusia dapat mengendalikan, menahan/menekan kelancaran alam dan kehidupan
manusia.
b.
Definisi James Martineau
Agama adalah kepercayaan kepada yang
hidup abadi, dimana diakui bahwa dengan pikiran dan kemauan Tuhan, alam ini
diatur dan kelakuan manusia diperkuat.
c.
Definisi Mattegart
Agama adalah suatu keadaan jiwa,
atau lebih tepat keadaan emosi yang didasarkan kepercayaan keserasian diri kita
dengan alam semesta.
Sedangkan menurut pandangan sosiolog, Emile Durkheim
mengemukakan makna agama, bahwa adanya perbedaan yang –sakral dan yang –profan
serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang –sakral memang
merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama. Yang –sakral tercipta melalui
ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol
religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Syarat-syarat
lain dari agama adalah kepercayaan, ritual agama dan gereja (tempat ibadah).
Sedangkan definisi agama menurutnya adalah: “kesatuan sistem kepercayaan dan
praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja,
semua melekat padanya” (Ritzer, 2011: 105).
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi
empiris. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas
atau fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local,
regional, nasional, maupun mondia maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan
ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat
eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian,
dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani).
Meskipun agama berkaitan dengan berbagai keharusan,
ketundukan, dan kepatuhan tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut dengan
agama; bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi
apa ketaatan itu dilaksanakan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi
dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus
diterapkan dalam kehidupan individu maupun kelompok.
2.
Pengertian Politik
Politik
adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara
lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian
ini merupakan gabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk
meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu
politik juga dapat dilihat dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
a. Politik
adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(teori klasik Aristoteles)
b.
Politik adalah hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
c.
Politik merupakan kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
d.
Politik adalah segala sesuatu
tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
B. Hubungan
Agama dan Politik
Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia,
kehidupan politik juga seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi
ini agak berbeda dengan politik di negara Barat yang memisahkan secara tegas
antara politik dan agama. Politik dan posisi-posisi politik harus dipisahkan secara
tegas dengan agama. Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak terlibat
dalam politik praktis.
Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa
Islam merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal
ini terjadi.Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di
Indonesia merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat
Islam sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Deliar
Noer termasuk orang yang berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep negara dan
Islam dengan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai
sebuah konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi oleh:
1.
Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai
pegangan hidup bernegara,
2.
Hukum harus dijalankan,
3.
Prinsip Syura (Musyawarah)
dijalankan,
4.
Kebebasan diberikan tempat,
5.
Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan
yang panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di
tanah air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang
keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan Indonesia yang
satu dan kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas
yang eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan
aliran-aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan
mistik agar kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan
hukum dan peribadatan agama khususnya Islam.
Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai
menerapkan pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain
adalah membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam,
Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha (Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing
Politik. Penerbit Media Pressindo. Hal. 53).
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang
diakui pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab
suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling
tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang
sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua, Memberagamakan warga
masyarakat yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah
memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat
beragama.
Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana
agama adalah keyakinan akan entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi
yang lebih kompleks. maka agama adalah suatu sistem simbol yang
bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan
lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan
umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu
aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara
unik nyata ada.
Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung
dalam konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi
integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan
formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk
menjadikannya sebagai instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik
keagamaan.: Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain.
Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan
masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan
lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam
institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”.
Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama
yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar dari agama.
Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama
lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara.
Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi
agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik,
ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga, Agama
ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan
keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari sistem yang
dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang
merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol
yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud
keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil
apapun, langsung diredam olehnegara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai
kembali.
Pendekatan ini langsung menempatkan negara
(pemerintah) dalam kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri
dari sistem dan bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara
(pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat,
kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena
akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan
realitas historis atau Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa
dalam proses hidupnya manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik.
Telah menjadi sunatullah setiap kelompok ada yang
dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta
ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik
merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan
Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya
menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan
agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta
produk-prosuknya harus berlabel Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis
mutualisme” keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan
umat. Negara harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena
bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama,
agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan ideologis.
Di lain pihak, independensi agama dalam hal yang
menyangkut ibadah dan ajaran keimanan haruslah dihormati oleh negara.
Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan pada sejumlah perangkat formal
seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada masa-masa yang akan datang
hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan melalui dialog budaya yang
hidup dan berlingkup luas.
Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan
syariat, yaitu memelihara agama (din), akal (aql), jiwa (nafs),harta (mal)
dan keturunan (nasl). Sementara pemimpin tidak hanya mereka yang
memegang jabatan formal-struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural
juga disebut pemimpin. Kepemimpinan politik kultural mempunyai fungsi yang
strategis yakni sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan
pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara di akar
rumput (grass root).
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan
penguasa) dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip
yang menuntut kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang
integratif terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer
bagi komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor
integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk
Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.
Agama secara hakiki berhungan dengan politik.
Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap
dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringkali agamalah yang
memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan
rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya
tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah
pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada
kekuasaan politik.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan.
Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta
kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas
manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama;
kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak
membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai
mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya
yang transcendent.
Teologi Politik Kristen di Indonesia
Upaya berteologia politik telah lama
ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak
pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat sejarah
pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak
berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari
kalangan publicans, seperti Pattimura yang melakukan gerakan politik
dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-kawan di tanah
Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran dan pengorganisasian yang
mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras. Pada masa-masa pembebasan diri
dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan bentuk-bentuk
teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan sebagian merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat
mencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai
Perserikatan Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV),
dll. Hal yang sama juga terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) hadir sebagai bagian dari upaya dan proses berteologia
politik secara operasional. Muatan atau tema-tema yang diusung dan
dikomunikasikan kepada orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan
‘orang kristen’. Sesuatu yang seringkali dikatakan orang sebagai lebih
berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’. Disadari atau tidak,
telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual teologia
politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’
gererja, dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan
sterilisasi politik dalam semua ruang gereja.
Orang kristen harus menghormati
kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan
masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu
tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya
orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang
mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan
kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap
politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang
benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap terhadap berbagai
gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah,
sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang
diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggung jawabkannya
kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri. Jika orang kristen tidak taat
kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara yang
bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang Kristen harus
mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah.
Pendekatan Agama Buddha Terhadap Politik
Pendekatan Agama Buddha terhadap
politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat.
Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan
universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan
mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang
'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah
hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan
dan kekalahan akan berbahagia dan damai". Sang Buddha tidak hanya
mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama
dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah
pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku
Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rohini. Beliau juga meminta Raja
Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan
penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan
bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia
ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara
menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harusbertindak berdasarkan
pada prinsip- prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata, "Ketika
penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika
para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para
pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata
menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya).
Agama Buddha dapat atau harus tidak
terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial.
Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan
peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi
oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha
berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama
untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah
melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni
untuk secara aktif terlibat dalam politik.
Politik dan Agama Hindu
Dalam beberapa dasawarsa belakangan
ini, system kasta tidak diakui lagi sebagai nilai agama Hindu dan versi ini
yaitu agama Hindu tanpa kasta, hanya dikomunikasikan oleh kelompok kecil para
pengikut saja dan itupun kurang berhasil. Sebab menurut agama Hindu
tradisional, hierarki kasta sosial dengan kasta brahmana ditingkat teratas itu,
ditentukan oleh Tuhan bagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab sucinya. Hal ini
terbukti dimasa kini banyaknya orang-orang yang beragama Hindu turut serta
berpartisipasi dalam kegiatan politik. Hal ini merupakan salah satu wujud dari
keterbukaan kasta tersebut. Dalam keikutsertaannya dalam politik, orang-orang
Hindu cenderung tidak mencampuradukan antara agama dan politik. Akan tetapi
dalam keikutsertaannya dalam politik, orang-orang Hindu tersebut tetap
berpedoman pada agama yang mereka anut.
C.
Agama
dan Perkembangan Politik
Peranan
agama dalam masyarakat menjadi objek utama sosiologi agama. Sosiologi agama
sebagai cabang sosiologi pada umumnya mempelajari agama dari pendekatan
sosiologis sehingga tidak memiliki wewenang untuk membuktikan benar-tidaknya
suatu agama. Agama dilihat bukan dari aspek doktrin-doktrinnya yang
kebenarannya bersifat mutlak, tetapi pada institusi agama, perilaku sosial para
pemeluknya, dan apa yang dapat dimainkan oleh agama dalam meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat.
Agama
diperlukan sebagai sistem keyakinan, sistem makna yang muncul dan terwujud
dalam kehidupan sosial, melalui interaksi yang responsif terhadap
situasi-situasi yang dihadapi oleh para penganutnya. Agama mendorong
terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial dengan
memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota
masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Agama dapat
membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh. Di sisi
lain, suatu agama dapat menjadi negatif apabila interpretasi terhadapnya
bersinggungan dengan doktrin ajaran agama lainnya atau sistem nilai lainnya,
terutama dalam masyarakat pluralistik.
Pembangunan
politik memiliki tiga karakteristik, yaitu:
1. Tekanan
pada diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik
2. Tekanan
pada persamaan, terutama pada ide, yang menyatakan perlunya keikutsertaan
rakyat dalam politik
3. Tekanan
kemampuan suatu sistem politik yang semakin berkembang dalam menggerakkan
perubahan sosial dan ekonomi.
Berdasarkan
pengertian ini, Donald Smith (Ishomudin, 2002:86) menekankan, diferensiasi
sistem harus diikuti oleh sekularisasi politik. Pertama-tama harus disisihkan
sistem religio-politik tradisional, yaitu memisahkan struktur politik dan
struktur keagamaan. Pembangunan politik identik dengan modernisasi politik.
Proses ini berjalan satu arah (linear), yang ditandai dengan melalui tahap
sekularisasi politik sebelum sampai pada kematangan sistem politik (the maturity of political system).
Terdapat
empat agama besar di dunia, yaitu Hindu, Budha, Islam, dan Katolik. Menurut
Smith (Ishomudin, 2002:86) terdapat dua pembagian agama, yaitu agama historis
dan agama ahistoris. Agama historis merupakan agama yang memiliki sejarah
manusia sebagai suatu yang nyata dan pokok, sebab ia merupakan panggung tempat
Tuhan menyusup ke tengah umat manusia seperti peristiwa turunnya wahyu.
Termasuk agama historis adalah agama Islam dan agama Katolik. Sedangkan, yang
dimaksud dengan agama ahistoris adalah agama yang sejarah umat manusianya tidak
relevan dengan ujian rohani walaupun petunjuk para pemimpin agama sebelumnya
juga ada gunanya.
Agama
Islam masuk dalam kategori “historis dan organis”. Smith menyimpulkan bahwa
sekularisasi yang diharapkan dalam Islam, seperti pengenalan nilai-nilai Barat,
menimbulkan beberapa ketegangan. Peranan agama (Islam) dalam politisasi selalu
ditemukan. Inilah yang membedakannya antara Hindu dan Budha. Di dalam negara
yang berpenduduk mayoritas beragama Hindu dan Budha tidak pernah ditemukan
adanya partai politik dengan ideologi yang bersumber dari kedua agama tersebut.
Menurut Smith, inilah yang menyebabkan nilai-nilai Islam yang “otoriter”
mempengaruhi budaya politik kaum muslimin dan mendorong masyarakatnya menerima
pemerintahan bercorak otoriter. Pada pihak lain, nilai-nilai politik yang
egalitarian ternyata tidak mampu memberikan pengaruh dalam pengembangan
sistem-sistem politik yang partisipan.
Menurut
Amien Rais (Ishomudin, 2002:87), munculnya sekularisme di Eropa bersamaan
dengan renaissance dan reformasi yang
mengakibatkan ambruknya institusi gereja dan negara. Tesis pokok sekularisasi
dan sekularisme adalah bahwa mekarnya modernisasi dan perkembangan politik
membuat agama kehilangan daya tarik dan pengaruhnya atas manusia modern. Dalam
perkembangannya, sekularisme memiliki dua varian:
1. Sekularisme
moderat, yakni agama sebagai urusan-urusan pribadi sehingga tidak mencampuri
urusan publik (seperti politik) dan dunia material
2. Sekularisme
radikal, yakni memusuhi agama yang dipandang sebagai perintang kemajuan,
seperti dalam komunisme.
Para
Pelaku Politik Yang Terikat dengan Sistem-sistem Keagamaan
|
Agama Hindu
|
Agama Budha
|
Agama Islam
|
Agama Katolik
|
I. Tokoh-tokoh
perorangan
A. Para
fungsionalis agama
|
-
|
Biksu-biksu : U Ottama (Birma);
Budharakkhita (Sri Lanka); Tri Quang (Vietnam Selatan)
|
Ulama-ulama: Jamaludin Al-Afghony
(Timur Tengah); Abd. Kalam Azad (India); Syabbir Ahmad Usmanai (Pakistan);
Bin Ba-Badis (Aljazair)
|
Pendeta-pendeta: Manuel Hidalgo
(Meksiko); Camimilo Torres (Kolombia); Don Helder Camara (Brazil)
|
B. Orang-orang
awam
|
B.G.Tilak, Aurobindo Ghose, V.D
Savarkar, M.K. Ghandi, MR Gowalkar (India)
|
U Nu (Birma); S.W.R.D. Bandaranaike
(Sri Lanka)
|
Sayid Ahmad Khan, M.Iqbal (India);
M.Ali Jinnah (Pakistan); M.Nasir (Indonesia)
|
Gabriel Garcia Moreno (Ekuador);
Eduardo Frei (Chili)
|
II.
Kelompok-kelompok Kepentingan
A. Hirarki
Agama
|
-
|
Sangharaja dan hirarki agama
(Thailand); Birma sampai akhir abad ke-19; Hirarki-hirarki sekte Siam di Sri
Lanka
|
-
|
Keuskupan nasional (uskup-uskup agung
dan uskup-uskup di setiap negara di Amerika Latin)
|
B. Perhimpunan-perhimpunan
keagamaan
|
Bharat Sadhu Samaj, perhimpunan orang
suci (India); dari segi organisasi dan politik lemah
|
Perhimpunan Biksu-biksu muda,
perhimpunan biksu-biksu pemimpin dan banyak lainnya(Birma); Front persatuan
Biksu Sri Lanka.
|
Nadhlatul Ulama (Indonesia); Jamiat
Ulamai-Hind (India); Masyarakat Ulama Pembaharu (Aljazair)
|
Ordo-ordo keagamaan: Fransisco,
Dominican Jesuit
|
C. Kelompok-kelompok
kepentingan dari kalangan awam
|
Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) – India:
berorientasi komunal (anti Muslim)
|
Perhimpunan pemuda Budha (Birma dan
Sri Lanka); Kongres Umat Budha Seluruh Sri Lanka.
|
Jamaat Islami (sebelum 1947 di India);
Ikhwanul Muslimin (sebelum 1945 di Mesir); Muhammadiyah (Indonesia)
|
Cabang-cabang Katolik (kelompok
mahasiswa, profesional dan buruh)
|
D. Perhimpunan-perhimpunan
kasta
|
Gujarat Ksatria Sabha; Vanniya Kula
Ksatria Sagham (Negaar bagian Madras)
|
-
|
-
|
-
|
Sekte-sekte agama
|
Arya Samaj
|
Sekte-sekte sinkretis; Hoa Hao dan Cao
Dai (Vietnam Selatan)
|
Anshar dan Khatmiyah (Sudan);
Ahmadiyah (Pakistan); Qadiriyah (di seluruh dunia Islam); Tijaniah (Afrika
Utara dan Barat)
|
-
|
Umat-umat beragama
|
Umat Hindu di India dan Pakistan
(banyak konflik dengan umat muslim)
|
Umat Budha di Sri Lanka (sering
konflik dengan umat Hindu dan Kristen); umat Budha di Birma (sering konflik
dengan umat Muslim); umat Budha di Vietnam Selatan (sering konflik dengan
umat Katolik).
|
Umat Muslim di India dan Pakistan
(sering konflik dengan umat Hindu); umat Muslim di Malaysia (sering konflik
dengan orang Cina); umat Muslim di
Libanon
(sering konflik dengan umat Kristen)
|
-
|
Partai-partai politik
Partai-partai komunal
|
Hindu Mahasaba, Jana Sangh (India)
|
-
|
Liga Muslim, Majelis Ittihad Muslim
(India)
|
-
|
Partai-partai berdasarkan kasta
|
-
|
-
|
Ummah dan Partai Persatuan Nasional
(Sudan)
|
-
|
Partai-partai tradisionalis
|
-
|
-
|
Nadhlatul Ulama (Indonesia), Jamaat
Islami (Pakistan), Ikhwanul Muslimin (Mesir, Syiria), Partai Bangsa (Nation
Party, Turki), Fidaiyan-i-Islam (Iran)
|
Partai Konservatif (Argentina, Kolumbia, Ekuador, Chili, dsb);
Partido de Accion Nacional (Mexico); Union Civica (Uruguay)
|
Partai-partai
Modern
|
-
|
-
|
Liga Muslimin (Pakistan); Masyumi dan
Partai Muslimin Indonesia (Indonesia)
|
Partai Kristen Demokratik (Chili,
Venezuela, Peru, El Savador)
|
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama adalah suatu ciri kehidupan
sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai
cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut
“agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam
suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan
nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi
mereka (Sanderson, Stephen K., 2011: 517). Politik adalah proses pembentukan
dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses
pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan.
Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta
kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas
manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama;
kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak
membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang
dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya
yang transcendent.
Daftar Pustaka
Dadang Kahmad. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hendro Puspito. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Malang:UMM Press.
Sanderson, Stephen K. 2011. Makrososiologi. Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
0 Response to "HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN POLITIK "
Post a Comment