-->

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN POLITIK


HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN POLITIK


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Agama merupakan hal yang sangat menarik untuk diperdebatkan. Bahkan suatu hal jika tanpa membawa-bawa agama terkesan biasa saja, namun setelah membawa agama maka akan menarik berbagai orang untuk memperdebatkannya. Demikian juga dalam bidang politik. Betapa Politik yang melibatkan agama sangat ramai dalam pro kontranya dibandingakan politik yang tidak melibatkan agama.
Menilik agama yang berhubungan dengan politik. Bagaimana bisa agama dan politik bersatu. sebab seringkali orang mengartikan yang namanya agama itu hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. Agama berperan mengoreksi politik yang menyimpang dari tujuan mulianya menyejahterakan rakyat dan politik mesti pula membangkitkan kesadaran agama untuk tidak terbuai dalam permainan politik lalu melupakan fungsi kritis agama dan sikap membisu agama terhadap aktivitas politik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi agama dan politik?
2.      Bagaimana keterkaitan hubungan agama dan politik?
3.      Bagaimana agama dalam perkembangan politik?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Agama dan Politik
1.      Pengertian Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka (Sanderson, Stephen K., 2011: 517).
Dalam kehidupan, agama merupakan identitas individu sehingga dapat membedakannya dari orang lain. Ada banyak sekali pendapat-pendapat mengenai makna agama. R.H. Thouless mengambil 3 definisi dimana masing-masing definisi itu merupakan suatu segi dari segi-segi agama pribadi, definisi tersebut adalah:
a.       Definisi Frazer
Agama adalah mencari keredaan atau kekuatan yang tinggi dari pada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia dapat mengendalikan, menahan/menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia.
b.      Definisi James Martineau
Agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, dimana diakui bahwa dengan pikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperkuat.
c.       Definisi Mattegart
Agama adalah suatu keadaan jiwa, atau lebih tepat keadaan emosi yang didasarkan kepercayaan keserasian diri kita dengan alam semesta.

Sedangkan menurut pandangan sosiolog, Emile Durkheim mengemukakan makna agama, bahwa adanya perbedaan yang –sakral dan yang –profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang –sakral memang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama. Yang –sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok.  Syarat-syarat lain dari agama adalah kepercayaan, ritual agama dan gereja (tempat ibadah). Sedangkan definisi agama menurutnya adalah: “kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua melekat padanya” (Ritzer, 2011: 105).
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas atau fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local, regional, nasional, maupun mondia maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani).
Meskipun agama berkaitan dengan berbagai keharusan, ketundukan, dan kepatuhan tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut dengan agama; bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu maupun kelompok.

2.      Pengertian Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan gabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat dilihat dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
a.       Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
b.      Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
c.       Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
d.      Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

B.     Hubungan Agama dan Politik
Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan politik juga seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi ini agak berbeda dengan politik di negara Barat yang memisahkan secara tegas antara politik dan agama. Politik dan posisi-posisi politik harus dipisahkan secara tegas dengan agama. Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak terlibat dalam politik praktis.
Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi.Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Deliar Noer termasuk orang yang berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep negara dan Islam dengan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai sebuah konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi oleh:
1.      Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2.      Hukum harus dijalankan,
3.      Prinsip Syura (Musyawarah) dijalankan,
4.      Kebebasan diberikan tempat,
5.      Toleransi antar agama.

Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama khususnya Islam.
Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha (Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo. Hal. 53).
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua, Memberagamakan warga masyarakat yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama.
Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks.  maka agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada.
Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar dari agama.
Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam olehnegara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik.
Telah menjadi sunatullah setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya harus berlabel Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme” keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat. Negara harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama, agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan ideologis.
Di lain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran keimanan haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada masa-masa yang akan datang hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan melalui dialog budaya yang hidup dan berlingkup luas.
Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama (din), akal (aql), jiwa (nafs),harta (mal) dan keturunan (nasl). Sementara pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Kepemimpinan politik kultural mempunyai fungsi yang strategis yakni sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass root).
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa) dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.
Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringkali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent. 

Teologi Politik Kristen di Indonesia
Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti Pattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran dan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras. Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan sebagian merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat mencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’. Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’ gererja, dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam semua ruang gereja.
Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggung jawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri. Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang Kristen harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah.

Pendekatan Agama Buddha Terhadap Politik
Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai". Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rohini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harusbertindak berdasarkan pada prinsip- prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata, "Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya).
Agama Buddha dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik.

Politik dan Agama Hindu
Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, system kasta tidak diakui lagi sebagai nilai agama Hindu dan versi ini yaitu agama Hindu tanpa kasta, hanya dikomunikasikan oleh kelompok kecil para pengikut saja dan itupun kurang berhasil. Sebab menurut agama Hindu tradisional, hierarki kasta sosial dengan kasta brahmana ditingkat teratas itu, ditentukan oleh Tuhan bagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab sucinya. Hal ini terbukti dimasa kini banyaknya orang-orang yang beragama Hindu turut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Hal ini merupakan salah satu wujud dari keterbukaan kasta tersebut. Dalam keikutsertaannya dalam politik, orang-orang Hindu cenderung tidak mencampuradukan antara agama dan politik. Akan tetapi dalam keikutsertaannya dalam politik, orang-orang Hindu tersebut tetap berpedoman pada agama yang mereka anut.

C.    Agama dan Perkembangan Politik
Peranan agama dalam masyarakat menjadi objek utama sosiologi agama. Sosiologi agama sebagai cabang sosiologi pada umumnya mempelajari agama dari pendekatan sosiologis sehingga tidak memiliki wewenang untuk membuktikan benar-tidaknya suatu agama. Agama dilihat bukan dari aspek doktrin-doktrinnya yang kebenarannya bersifat mutlak, tetapi pada institusi agama, perilaku sosial para pemeluknya, dan apa yang dapat dimainkan oleh agama dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Agama diperlukan sebagai sistem keyakinan, sistem makna yang muncul dan terwujud dalam kehidupan sosial, melalui interaksi yang responsif terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh para penganutnya. Agama mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Agama dapat membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh. Di sisi lain, suatu agama dapat menjadi negatif apabila interpretasi terhadapnya bersinggungan dengan doktrin ajaran agama lainnya atau sistem nilai lainnya, terutama dalam masyarakat pluralistik.
Pembangunan politik memiliki tiga karakteristik, yaitu:
1.      Tekanan pada diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik
2.      Tekanan pada persamaan, terutama pada ide, yang menyatakan perlunya keikutsertaan rakyat dalam politik
3.      Tekanan kemampuan suatu sistem politik yang semakin berkembang dalam menggerakkan perubahan sosial dan ekonomi.
Berdasarkan pengertian ini, Donald Smith (Ishomudin, 2002:86) menekankan, diferensiasi sistem harus diikuti oleh sekularisasi politik. Pertama-tama harus disisihkan sistem religio-politik tradisional, yaitu memisahkan struktur politik dan struktur keagamaan. Pembangunan politik identik dengan modernisasi politik. Proses ini berjalan satu arah (linear), yang ditandai dengan melalui tahap sekularisasi politik sebelum sampai pada kematangan sistem politik (the maturity of political system).
Terdapat empat agama besar di dunia, yaitu Hindu, Budha, Islam, dan Katolik. Menurut Smith (Ishomudin, 2002:86) terdapat dua pembagian agama, yaitu agama historis dan agama ahistoris. Agama historis merupakan agama yang memiliki sejarah manusia sebagai suatu yang nyata dan pokok, sebab ia merupakan panggung tempat Tuhan menyusup ke tengah umat manusia seperti peristiwa turunnya wahyu. Termasuk agama historis adalah agama Islam dan agama Katolik. Sedangkan, yang dimaksud dengan agama ahistoris adalah agama yang sejarah umat manusianya tidak relevan dengan ujian rohani walaupun petunjuk para pemimpin agama sebelumnya juga ada gunanya.
Agama Islam masuk dalam kategori “historis dan organis”. Smith menyimpulkan bahwa sekularisasi yang diharapkan dalam Islam, seperti pengenalan nilai-nilai Barat, menimbulkan beberapa ketegangan. Peranan agama (Islam) dalam politisasi selalu ditemukan. Inilah yang membedakannya antara Hindu dan Budha. Di dalam negara yang berpenduduk mayoritas beragama Hindu dan Budha tidak pernah ditemukan adanya partai politik dengan ideologi yang bersumber dari kedua agama tersebut. Menurut Smith, inilah yang menyebabkan nilai-nilai Islam yang “otoriter” mempengaruhi budaya politik kaum muslimin dan mendorong masyarakatnya menerima pemerintahan bercorak otoriter. Pada pihak lain, nilai-nilai politik yang egalitarian ternyata tidak mampu memberikan pengaruh dalam pengembangan sistem-sistem politik yang partisipan.
Menurut Amien Rais (Ishomudin, 2002:87), munculnya sekularisme di Eropa bersamaan dengan renaissance dan reformasi yang mengakibatkan ambruknya institusi gereja dan negara. Tesis pokok sekularisasi dan sekularisme adalah bahwa mekarnya modernisasi dan perkembangan politik membuat agama kehilangan daya tarik dan pengaruhnya atas manusia modern. Dalam perkembangannya, sekularisme memiliki dua varian:
1.      Sekularisme moderat, yakni agama sebagai urusan-urusan pribadi sehingga tidak mencampuri urusan publik (seperti politik) dan dunia material
2.      Sekularisme radikal, yakni memusuhi agama yang dipandang sebagai perintang kemajuan, seperti dalam komunisme.

Para Pelaku Politik Yang Terikat dengan Sistem-sistem Keagamaan

Agama Hindu
Agama Budha
Agama Islam
Agama Katolik
I. Tokoh-tokoh perorangan
A.    Para fungsionalis agama
-
Biksu-biksu : U Ottama (Birma); Budharakkhita (Sri Lanka); Tri Quang (Vietnam Selatan)
Ulama-ulama: Jamaludin Al-Afghony (Timur Tengah); Abd. Kalam Azad (India); Syabbir Ahmad Usmanai (Pakistan); Bin Ba-Badis (Aljazair)
Pendeta-pendeta: Manuel Hidalgo (Meksiko); Camimilo Torres (Kolombia); Don Helder Camara (Brazil)
B.     Orang-orang awam
B.G.Tilak, Aurobindo Ghose, V.D Savarkar, M.K. Ghandi, MR Gowalkar (India)
U Nu (Birma); S.W.R.D. Bandaranaike (Sri Lanka)
Sayid Ahmad Khan, M.Iqbal (India); M.Ali Jinnah (Pakistan); M.Nasir (Indonesia)
Gabriel Garcia Moreno (Ekuador); Eduardo Frei (Chili)
II.                Kelompok-kelompok Kepentingan
A.    Hirarki Agama
-
Sangharaja dan hirarki agama (Thailand); Birma sampai akhir abad ke-19; Hirarki-hirarki sekte Siam di Sri Lanka
-
Keuskupan nasional (uskup-uskup agung dan uskup-uskup di setiap negara di Amerika Latin)
B.     Perhimpunan-perhimpunan keagamaan
Bharat Sadhu Samaj, perhimpunan orang suci (India); dari segi organisasi dan politik lemah
Perhimpunan Biksu-biksu muda, perhimpunan biksu-biksu pemimpin dan banyak lainnya(Birma); Front persatuan Biksu Sri Lanka.
Nadhlatul Ulama (Indonesia); Jamiat Ulamai-Hind (India); Masyarakat Ulama Pembaharu (Aljazair)
Ordo-ordo keagamaan: Fransisco, Dominican Jesuit
C.     Kelompok-kelompok kepentingan dari kalangan awam
Rashtriya  Swayamsevak Sangh (RSS) – India: berorientasi komunal (anti Muslim)
Perhimpunan pemuda Budha (Birma dan Sri Lanka); Kongres Umat Budha Seluruh Sri Lanka.
Jamaat Islami (sebelum 1947 di India); Ikhwanul Muslimin (sebelum 1945 di Mesir); Muhammadiyah (Indonesia)
Cabang-cabang Katolik (kelompok mahasiswa, profesional dan buruh)
D.    Perhimpunan-perhimpunan kasta
Gujarat Ksatria Sabha; Vanniya Kula Ksatria Sagham (Negaar bagian Madras)
-
-
-
Sekte-sekte agama
Arya Samaj
Sekte-sekte sinkretis; Hoa Hao dan Cao Dai (Vietnam Selatan)
Anshar dan Khatmiyah (Sudan); Ahmadiyah (Pakistan); Qadiriyah (di seluruh dunia Islam); Tijaniah (Afrika Utara dan Barat)
-
Umat-umat beragama
Umat Hindu di India dan Pakistan (banyak konflik dengan umat muslim)
Umat Budha di Sri Lanka (sering konflik dengan umat Hindu dan Kristen); umat Budha di Birma (sering konflik dengan umat Muslim); umat Budha di Vietnam Selatan (sering konflik dengan umat Katolik).
Umat Muslim di India dan Pakistan (sering konflik dengan umat Hindu); umat Muslim di Malaysia (sering konflik dengan orang Cina); umat Muslim  di Libanon
(sering konflik dengan umat Kristen)
-
Partai-partai politik
Partai-partai komunal

Hindu Mahasaba, Jana Sangh (India)
-
Liga Muslim, Majelis Ittihad Muslim (India)
-
Partai-partai berdasarkan kasta
-
-
Ummah dan Partai Persatuan Nasional (Sudan)
-
Partai-partai tradisionalis
-
-
Nadhlatul Ulama (Indonesia), Jamaat Islami (Pakistan), Ikhwanul Muslimin (Mesir, Syiria), Partai Bangsa (Nation Party, Turki), Fidaiyan-i-Islam (Iran)
Partai Konservatif  (Argentina, Kolumbia, Ekuador, Chili, dsb); Partido de Accion Nacional (Mexico); Union Civica (Uruguay)
Partai-partai Modern
-
-
Liga Muslimin (Pakistan); Masyumi dan Partai Muslimin Indonesia (Indonesia)
Partai Kristen Demokratik (Chili, Venezuela, Peru, El Savador)





















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka (Sanderson, Stephen K., 2011: 517). Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent. 







Daftar Pustaka

Dadang Kahmad. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hendro Puspito. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Malang:UMM Press.
Sanderson, Stephen K. 2011. Makrososiologi. Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.



0 Response to "HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN POLITIK "

Post a Comment

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaan)

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaa...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel