Teori Sosiologi Klasik
Wednesday, 13 November 2013
Add Comment
A. AUGUSTE COMTE
1. Biografi Auguste
Comte
Auguste Comte atau juga Aguste Comte (nama panjangnya Isidore Marie Auguste François Xavier Comte)
lahir pada tanggal 19 januari
1798 di Kota Montpellier di Perancis Selatan (Pickering,
1993: 7)[1]. Orang tuanya berasal dari keluarga menengah dan
hingga akhirnya sang ayah meraih posisi sebagai petugas resmi pengumpul pajak
local. Orang tuanya adalah pegawai kerajaan dan penganut Agama Katholik yang
shaleh. Pada usia 16 tahun Comte pindah ke Paris masuk ke sekolah politeknik
studi keinsinyuran. Dia sangat
kritis terhadap mahagurunya, dia sering mengajukan petisi apabila melakukan
kesalahan. Sikapnya yang demikian dikeluarkan dari sekolah dan kembali ke kota
asalnya Monpellier, sekalipun di tidak betah lama disana dan kembali ke Paris.
Dua tahun setelah kembali ke Paris dia bertemu dengan Saint Simon yang kelak
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dirinya.
Comte memulai karir profesionalnya dengan memberi
les dalam bidang matematika. Meskipun ia sudah memperoleh pendidikan dalam
matematika, perhatiannya sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan
sosial. minat ini mulai berkembang di bawah pengaruh Saint Simon, yang
memperkerjakan Comte sebagai sekretarisnya dan dengannya Comte menjalin
kerjasama erat dalam mengembangkan karyanya sendiri. Kepribadian kedua orang
ini saling melengkapi: Saint Simon seoreng yang tekun, arif, bersemangat, dan
tidak disiplin, sedangkan Comte seorang yang metodis, disiplin, dan refleksif.
Tetapi sesudah tujuh tahun, pasangan ini pecah karena perdebatan mengenai
kepengarangan karya bersama, dan Comte lalu menolak pembimbingnya ini.
Heilbron (1995) menggambarkan bahwa comte bertubuh
pendek dengan mata juling, dan sangat merasa gelisah dengan situasi sosial yang
ada disekitarnya, khususnya ketika menyagkut perempuan. Ia juga terasing dari
masyarakat secara keseluruhan. Ini dapat membantu menjelaskan bahwa comte
menikah dengan Caroline Massin (perkawinan yang berlangsung dari tahun 1825
sampai dengan 1842). Ia adalah seorang anak haram yang belakangan ini disebut
“pelacur” oleh comte, meskipun tuduhan itu akhir-akhir ini dipertanyakan
kembali (pickering, 1997: 37)[2]. Kegelisahan pribadi comte berlawanan dengan
kapasitas intelektualnya dan tampak bahwa rasa percayanya begitru kuat.
Ingatan comte yang luar biasa begitu tersohor.
Didukung dengan ingatan fotografis ia dapat mengucapkan kembali setiap kata
yang telah ia baca meskipun hanya sekali membacanya. Kekuatan konsentrasinya
begitu hebat sehingga ia dapat menggambarkan seluruh buku tanpa menuliskan
catatan sedikitpun. Seluruh kuliah disampaikannya tanpa catatan. Ketika ia
duduk menulis buku-bukunya, ia menulis semua yang ada di dalam ingatannya (Schweber,
1991: 134).[3]
Ketika dalam perjalanan hidupnya dia berdebat
setelah menyelesaikan monograf berjudul The Secientific
Lobors Necessary for The Reorganisazion of Society pada tahun 1822 dan diterbitkan ulang pada 1824
dengan judul yang berbeda, pada saat diterbitkan Comte menuduh Saint Simon
mencuri ide-idenya. Setelah Saint Simon meninggal, karya Comte terbesar adalah A courese of Positive Phylosophy.
Heilborn menandaskan bahwa kehancuran terbesar
terjadi dalam kehidupan comte pada tahun 1838 dan sejak saat itu ia kehilangan
harapan bahwa setiap orang akan memikirkan secara serius karyanya tentang ilmu
pengetahuan secara umum, dan khususnya sosiologi. Pada saat yang bersamaan ia
mengawali hidup “yang menyehatkan otak” yaitu comte muylai tidak mau membaca
karya orang lain, yang akibatnya adalah ia menjadi kehilangan harapan untuk
dapat berhubungan dengan perkembangan intelektual terkini.
Setelah tahun 1838 ia mulai mengembangkan gagasan
anehnya tentang reformasi masyarakat yang dipaparkannya dalam buku systeme de
politique positive. Comte mulai
menghayal dirinya sebagai pendeta tinggi agama baru kemanusiaan, ia percaya
pada dunia yang pada akhirnya akan dipimpin oleh sosiolog-pendeta. (comte
banyak dipengaruhi oleh latar belakang katoliknya). Menarik untuk disimak,
ditengah-tengah gagasan berani itu, ia mendapatkan banyak pengikut di prancis
maupun di Negara – Negara lain.
Sifat tulisan Comte umumnya berubah drastis setelah
bertemu dengan Clothilde. Dia juga sudah memulai karya bagian keduanya yaitu
System of Positive Politics yang merupakan suatu pernyataan menyeluruh mengenai
strategi pelaksanaan praktis pemikirannya mengenai filsafat positif yang
dikemukakannya sebelumnya. Namun, karya keduanya ini menjadi suatu bentuk
perayaan cinta, tetapi dengan keinginan besar yang sama yakni membangun sistem menyeluruh, seperti dalam karyanya yang
lebih dahulu.
Perubahan dalam tulisan
Comte membingungkan beberapa pengagumnya, perasaan dan cinta yang merugikan
akal budi merupakan
peenyangkalan terhadap
gagasan-gagasan positivis yang disanjung-sanjungnya dalam bukunya, serta
kepercayaan akan kemajuan yang mantap dari pikiran manusia, dengan janji untuk
suatu masyarakat yang lebih cerah di masa yang akan datang.
Auguste Comte wafat pada 5 september 1857 karena
serangan kanker.
2. Karya - Karya Auguste Comte
Berikut ini adalah karya-karya
dari auguste comte yang terkenal:
a.
Course Of Positive Philosophy
b.
System Of Positive Politics
c.
Appeal to Conservatives
3. Teori Yang Dikemukakan
Auguste Comte dibesarkan dalam tahun-tahun setelh
revolusi Perancis dan jelas-jelas dipengaruhi oleh radikalisme dan keresahan
masa itu. Sumber lain yang menjadi latar belakang pemikiran Comte adalah
filsafat sosial yang berkembang di Prancis pada abad ke-18, yaitu paham
ensiklopedis meskipun dia kelak keluar dari aliran ini. Latar belakang lainnya
adalah aliran reaksioner dari para ahli theokratik terutama yang bernama De
Maistre dan De Bonald. Serta latar belakang pemikiran Comte yang terakhir
adalah aliran sosialistik yang terutama diprakarsai Saint Simon, Comte disatu
pihak akan membangun ilmu pengetahuan sosial, dan dipihak lain akan membangun
kehidupan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat secientific. akibat dari latar belakang di atas Comte membagi
sosiologi menjadi dua bagian yaitu social statis dan social dinamis. Sosial
statis di sisni adalah sebagai suatu tentang hokum-hukum aksi dan reaksi antara
bagian-bagian dari suatu sistem sosial. Pada dasarnya sosial statis merupakan
hasil suatu pertumbuhan.
Comte berpendapat yang terpenting dari sosiologi
adalah sosial dinamis yaitu teori yang menyatakan perkembangan dan kemajuan
masyarakat manusia yang menghilangkan studi tentang sejarah filsafat yang
spekulatif.
Namun pembagian tersebut bukan berarti memisahkan
satu dengan yang lainnya dimana sosial statis menghasilkan pendekatan yang
elementer, akan tetapi itu semua tidak akan terjadi tanpa memahami itu sebagai
hasil suatu perkembangan (sosial dinamis).
a. Sosial dinamis
1.
The Law of Three
stages
Hukum ini adalah hukum perkembangan intelegensi
manusia. Hukum ini membagi masyarakat
membagi dalam tiga tahapan yaitu teologis, metafisis, dan ilmiah (positivisme)
dan di dalam tahapan ini masing-masing terdapat bagian sub ordinari yang
pertama teologis dibagi menjadi tiga yaitu fetishism, polytheism, dan
monoteism. Ketiga tingkatan ini merupakan dasar teori yang dikembangkan oleh
Auguste Comte.
2.
The Law of the
hierarchie of the sciences
Hukum kedua dari sosial dinamis adalah hierarki
dari ilmu pengetahuan dimana dalam pemikiran ini tidak selalu bersifat
positive, seringkali masih ada pemikiran teologis.
3.
The Law of the
correlation of pratical activities
Comte mengemukakan ada hubungan yang bersifat
natural antara cara berfikir teologis dan militerisme. Menurut pemikirannnya
teologis mendorong timbulnay usaha untuk menjawab semua persoalan melalui
kekuatan.
4.
The Law of the
correlation of the feeling
Dalam hukum ini masyarakat hanya dipersatukan oleh
feeling (perasaan), korelasinya antara perkembangan pemikiran manusia dengan
perkembangan daripada perkembangan sosial sentiment. Dalam tahapan ini hanya
terabatas dalam suatu masyarakat local atau suatu city state. Sosial sentiment
berkembang secara meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen.
b. Sosial Statis
Dalam hal ini, Comte bermaksud mengenai teori
tertib dasar masyarakat. Sebagaimana disebut diatas membagi Sosiologi kedalam
dua bagian yang memiliki kedudukan yang tidak sama, sekalipun sosial statis
merupakan bagian yang lebih elementer dalam sosiologi. Tetapi kedudukannya
tidak begitu penting disbanding dengan sosial dinamis. Fungsi sosial statis
untuk mencari hukum-hukum dari bagian didalam suatu sistem sosial.
1.
The doctrine of
the individual
Comte menganggap teori tentnag sikap=sikap dasar
manusia sangat penting di dalam sosiologi. Dia menganggap bahwa individu adalah
cerminan dari suatu masyarakat. Jadi jika kita menghilangkna dari sesuatu
individu sama saja kita menghilangkannya dari masyarakat. Comte mengakui adanya
sesuatu yang disebut insting yang dibagi menjadi dua yaitu egoistic insting dan
altruistic insting.
2.
The doctrine of
the family
Keluarga adalah unit masyarakat yang sebenarnya,
keluarga terbentuk melalui insting dan daya tarik alamiah natural affection.
3.
The doctrine of
the society
Keluarga menurut Comte bukanlah masyarakat namun
masyarakat merupakan kesatuan yang lebih luas yang terdiri dari sejumlah
esakeluarga.
4.
The doctrine of
the state
Comte menganggap bahwa negara dan masyarakat itu
merupakan dua hal yang berbeda. Menurutnya negara adalah bentuk khusus dari asosiasi
atau organisasai sosial (Siahaan: 1986)[4]
Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami
masyarakat akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini
didasari pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan
Perkembangan tersebut pada hakikatnya melewati tiga tahap,
sesuai tahap-tahap pemikiran manusia yaitu:
a.
Tahap teologis
Ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia
ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas
manusia. Cara pemikiran tersebut tidak dapat dipakai dalam ilmu pengetahuan,
karena ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencari sebab serta akibat dari
gejala-gejala.
Contoh: Sebagaian masyarakat
Indonesia masih percaya denagan kekuatan-kakuatan ghaib. Misalnya kepercayaan
masyarakat jawa akan Nyi Roro Kidul dan penunggu Gunung Merapi.
b.
Tahap metafisis
Pada tahap ini manusia masih percaya
bahwa gejala-gejala didunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada
di atas manusia. Manusia belum berusaha untuk mencari sebab dan akibat
gejala-gejala tersebut.
Contoh: sebagian masyarakat
Indonesia sudah menghilangkan kepercayaan akan hal-hal yang berbau mistis
seperti
c.
Tahap positif
Merupakan tahap dimana manusia telah sanggup untuk berfikir
secara ilmiyah. Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.
Contoh: masyarakat sudah mulai
berfikir rasional, seperti semua
mempercayai apabila ada faktanya.
Pemikiran Auguste
Comte mengenai agama humanitas
Seiring dengan
observasi yang dilakukan oleh Comte dalam mencari jalan tengah dia selalu
bersentuhan dengan perang terus menerus dan individualitas pada zaman revolusi
Perancis, hal itu semakin menentukan arah pemikiran Comte. Pendobrakan
dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat
manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan
ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama)
mendapatkan kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan melakukan
pembodohan yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap
miskin.
Melalui ilmu pengetahuan yang telah ditebarkannya, Comte mencoba
mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial
dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari umat manusia.
Begitupun kesatuan organis terkecil di masyarakat,, mempengaruhi Comte sebagai
institusi yang dapat meradiasi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam
pembentukan sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola
dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat
manusia dan kemudian menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya
yaitu berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus,
hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, yang kemudian dinamakn agama
humanitas. dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap
manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia.
Comte dikatakan telah
kehilangan konsistensinya terhadap ilmu pengetahuan oleh para intelektual
lainnya, karena sudah terbungkus oleh perasaannya terhadap Clotilde de Vaux
yang mendapat penolakan darinya. Namun permasalahan pemujaan Comte, terhadap
perempuan bukan karena hal itu melainkan diadopsi dari rentang sejarah cerita
bunda Maria. Comte dapat juga dikatakan mengadakan sublimasi terhadap
obsesinya, yaitu kebebasan berpikirnya atas idealismenya agar dapat menyiasati
secara strategis. Menciptakan masyarakat positivis di masa depan, dalam
kontekstual hubungan seks antara pria dan perempuan tidak perlu ada lagi
dan “kelahiran manusia-manusia baru akan keluar dengan sendirinya dari
kaum perempuan”. Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat
institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan agama
humanitas-nya kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku kembali
dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal to
Conservatives.
B. HERBERT SPENCER
1. Biografi Herbert
Spencer
Spencer lahir pada 27 April 1820 di kota kecil
Derbyshire, Midland, Inggris. Sebagai anak tunggal seorang guru sekolah. Dia
sebenarnya tidak terlahir tunggal, melainkan sembilan bersaudara. Hanya saja
dia menjadi satu-satunya anak pasangan William dan Haerriet Spencer yang
bertahan hidup. Potret keluarga Spencer yang bergelut melawan penyakit menjadi
semacam mozaik dari kehidupan Inggris zaman Victorian abad ke-19. Ke-8
saudaranya meninggal karena sakit, penyebabnya adalah Inggris yang memasuki
Revolusi Industri terperosok ke dalam problem negara industri yang sangat suram
sekaligus mengkhawatirkan. Kala itu, bangunan pabrik biasanya menyatu dengan
kawasan pemukiman. Bangunannya tua dan tidak terawat, ventilasi minim, kotor,
penuh jelaga hitam, sempit, dan sumpek. Selain mengepung kota dengan asap
hitam, limbah pabrik juga menimbulkan pencemaran, sanitasi yang tidak terawat,
jalanan yang buruk, dan tentu saja polusi.
Karena alasan kesehatan, Spencer kecil menjalani
pendidikan di rumah. Dia tidak belajar seni dan humaniora, melainkan teknik dan
bidang utilitarian (Ritzer dan Goodman, 2007).[5]
Dalam usia relatif muda, 17 tahun tepatnya pada
tahun 1837 Spencer muda terjun ke dunia kerja sebagai insinyur sipil di sebuah
perusahaan kereta api London dan Birmingham. Karirnya terbilang bagus hingga
akhirnya dia dipercaya menjadi wakil kepala bagian mesin di perusahaan
tersebut. Pekerjaan ini dijalaninya sampai tahun 1846. Selama periode ini
Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri.
Spencer memiliki kemampuan sangat baik dalam
mekanika. Kemampuan itulah yang memengaruhi imajinasinya dalam ilmu
pengetahuan, terutama tentang biologi, masyarakat, dan ilmu sosial. Pada saat
menjadi insinyur inilah Spencer mulai belajar menulis artikel secara serius.
Tulisan pertamanya di bidang sosial dengan judul On the Proper Sphere of
Government pada 1842 dimuat di majalah Non Conformist. Enam tahun
kemudian, 1848, tulisan yang sama dimuat The Economist, majalah ekonomi
terkemuka yang berbasis di London.
Tulisan Spencer mendapat sambutan hangat
penggemarnya sehingga mereka rela membayar lebih dulu tulisan-tulisan Spencer
sebelum tulisan itu diterbitkan. Kondisi inilah yang mendorong Spencer untuk
berpikir alih profesi menjadi penulis ilmu pengetahuan bidang pengetahuan
sosial, khususnya sosiologi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, saat
usianya menginjak 28 tahun dia pindah menjadi wakil editor majalah The
Economist, berita mingguan yang berbasis di London. Majalah ini merupakan
oposisi pemerintah dan pendukung perdagangan bebas. Melalui majalah ini Spencer
banyak bertemu dengan orang terkenal pada saat itu, seperti Thomas Huxley dan
George Eliot.
Saat usianya memasuki 30 tahun, Spencer telah
mampu menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Social Statics. Tiga
tahun kemudian, pamannya (Thomas Spencer) meninggal dunia dan mewariskan harta
cukup banyak kepada Spencer. Berbekal warisan itulah Spencer berani memutuskan
untuk berhenti bekerja dan mencurahkan seluruh kegiatannya untuk menulis.
Keberhasilan Spencer menulis banyak buku karena selain gemar membaca, Spencer
adalah kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di
manapun di dunia, ini seorang yang rajin mengumpulkan informasi, membuat
sistematika atau klasifikasi data. Spencer memang sejak kecil mempunyai hasrat
dan keinginan yang besar untuk menambah dan mengumpulkan ilmu pengetahuan
sebanyak-banyaknya dan memahami keseluruhannya.
Spencer juga mengembangkan sistem filsafat
dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme
Jeremy Bentham yang memelopori aliran gerakan reformasi. Jeremy Bentham
berpendapat bahwa logika ilmiah harus didasarkan pada pengetahuan yang cukup
mengenai kondisi kehidupan sosial yang aktual. Konsep ini mendahului konsep-konsep
Charles Darwin (Sukanto: 1982: 36).[6]
Spencer adalah orang yang pertama kali
memperkenalkan konsep Survival of the fittest atau yang kuatlah yang
akan menang dalam bukunya Social Statics yang terbit pada tahun 1850.
Konsep ini untuk menggambarkan kekuatan fundamental ilmu biologi yang menjadi
dasar perkembangan evolusioner. Konsepsi ini dipengaruhi karya Thomas R.
Malthus mengenai tekanan kependudukan, An Essay on the Principle of
Population (1798). isi konsepnya antara lain adalah perjuangan untuk
dapat bertahan bagi suatu masyarakat atau bagi beberapa masyarakat agar
menghasilkan keseimbangan karena perubahan yang terjadi dari keadaan yang
homogen yang tidak terpadu menjadi heterogen yang terpadu.
Sembilan tahun kemudian teori evolusioner karya
Darwin terbit. Spencer dan Darwin melihat adanya persamaan antara evolusi
organisme dengan evolusi sosial. Evolusi sosial adalah serangkaian perubahan
sosial dalam masyarakat yang berlangsung dalam waktu lama yang berawal
dari kelompok suku atau masyarakat yang masih sederhana dan homogen kemudian
secara bertahap menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju dan
akhirnya menjadi masyarakat modern yang kompleks (Horton dan Hunt, 1989:208).[7]
Selama hidupnya, Spencer menghasilkan sejumlah
karya besar. Sebagian besar pemikiran Spencer tentang sosiologi ditulis dalam
10 buku (dua jilid Biologi, dua jilid psikologi, tiga jilid Sosiologi, dan dua
jilid tentang moralitas) yang kemudian dikemas menjadi Programme of a System
of Synthetic Philosophy (1862-1896). Paket ini memuat seluruh teori evolusi
universal, meliputi evolusi bilogi, psikologi, sosial, dan etika. Karya-karya
tersebut mengukuhkan dirinya sebagai penganut filsafat sintesis, yakni ilmu
filsafat yang menggabungkan beberapa ilmu pengetahuan menjadi satu (Soekanto,
1990)[8].
Dari sederet karya tersebut, buku Principles
of Sociology merupakan karya monumental Spencer yang mendorong perkembangan
Sosiologi sebagai ilmu populer di masyarakat, terutama di Prancis, Jerman, dan
Amerika Serikat. Meski begitu, Spencer kurang mendapat sambutan di negeri
sendiri.
Spencer menderita karena keengganannya
membaca secara serius karya-karya orang lain. Sebaliknya jika ia membaca karya
lain sering kali hanya dilakukan untuk mencari penegasan atas gagasannya sendiri
yang tercipta secara independen. Ia mengabaikan gagasan-gagasan yang tidak sejalan
dengan gagasannya.
Jadi rekan sejawatnya, Charles
Darwin bercerita tentang spencer: “jika saja ia mendidik dirinya untuk meneliti
lebih banyak, bahkan dengan…merugikan daya pikirnya sendiri, ia akan menjadi seorang
yang luarbiasa” (Wilt-shire, 1978:70).
Herbert Spencer meninggal pada 8 Desember 1903.
2. Karya-karya
Herbert Spencer
Selama hidupnya, Spencer
menghasilkan sejumlah karya besar. Sebagian besar pemikiran Spencer tentang
sosiologi ditulis dalam 10 buku (dua jilid Biologi, dua jilid psikologi, tiga
jilid Sosiologi, dan dua jilid tentang moralitas) yang kemudian dikemas menjadi
Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896). Paket ini
memuat seluruh teori evolusi universal, meliputi evolusi bilogi, psikologi,
sosial, dan etika. Karya-karya tersebut mengukuhkan dirinya sebagai penganut
filsafat sintesis, yakni ilmu filsafat yang menggabungkan beberapa ilmu
pengetahuan menjadi satu (Soekanto, 1990)[9].
Dari sederet karya tersebut, buku Principles
of Sociology merupakan karya monumental Spencer yang mendorong perkembangan
Sosiologi sebagai ilmu populer di masyarakat, terutama di Prancis, Jerman, dan
Amerika Serikat. Meski begitu, Spencer kurang mendapat sambutan di negeri
sendiri.
Berikut sejumlah karya utama Spencer semaca hidupnya:
- Social
Statics
(1850).
- Principles
of Psychology (1855).
- Principles
of Biology
(1861 dan 1864).
- First
Principles
(1862).
- The
Study of Sociology (1873).
- Descriptive
Sociology
(1874).
- The
Principles of Sociology (1877).
- Principles
of Ethics
(1883).
- Esai-esai:
- Education (1861).
- The Study of Sociology (1873).
- The Nature and Reality of Religion (1885).
- Various and Fragments (1897).
- Facts and Comments (1902).
Bila dicermati, karya-karya Spencer
senantiasa mendasarkan konsepsi bahwa seluruh alam, baik yang berwujud organis,
nonorganis, maupun superorganis berevolusi karena dorongan kekuatan mutlak yang
kemudian disebutnya sebagai evolusi universal (Koentjaraningrat, 1987:34).[10]
Gambaran menyeluruh tentang evolusi
universal umat manusia menunjukkan bahwa pada garis besarnya Spencer melihat
perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari suatu bangsa di dunia sudah melalui
tingkatan evolusi yang sama.
3. Teori Yang
Dikemukakan
Sebagai salah seorang pendiri
sosiologi, usaha Spencer untuk memajukan ilmu ini sebagai suatu ilmu
pengetahuan, menekankan pada perlunya pendekatan ilmiah bagi seluruh gejala
yang ada serta meningkatkan pendekatan ini bagi pengakajian kehidupan sosial.
Anggapan yang ada selama ini memang bahwa semua gejala yang berhubungan dengan
masalah kemasyarakatan selalu dikaikan dengan konsep-konsep metafisis dan
agama. Seperti juga Comte, Spencer memperkenalkan ide-ide barunya dengan
pendekatan yang juga baru yang pada saat itu dianggap bertentangan dengan semua
pendekatan yang ada. Ide-ide Spencer pada saat itu memang mengalami tantangan.
Sadar akan hal inilah Spencer melakukan rekonsiliasi antara ilmu pengetahuan
dan agama yang termuat di dalam bukunya: First Principles, di mana dia
membedakan antara dua fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahuai dan
fenomena yang tidak dapat diketahui. Hal-hal yang dapat diketahui katanya
adalah yang merupakan pengalaman kenyataan dan mudah diterima oleh manusia
sedangkan hal-hal atau gejala-gejala yang tidak dapat diketahui merupakan
hal-hal yang berada di bawah lapangan pengetahuan manusia serta konsepsi
manusia. Sejak kepercayaan absolut tentang Tuhan diterima oleh manusia,
katanya, maka kepercayaan terhadap Tuhan merupakan kategori yang tidak dapat
diketahui dan tidak dapat dilihat. Spencer mencoba melakukan kompromi antara
ilham pengetahuan dengan agama.
Spencer memulai tiga garis besar teori umum yaitu apa yang
disebutnya dengan tiga kebenaran universal yang berbunyi: (1) adanya materi
yang tidak terusakkan, (2) adanya kesinambungan gerak, (3) adanya tenaga
kekuatan yang terus menerus. Di samping itu ada proposisi yang berasal dari
kebenaran universal yaitu:
- Kesatuan
hukum, kesinambungan hubungan antara kekuatan-kekuatan yang tidak pernah
muncull dengan sia-sia dan tanpa akhir.
- Bahwa
kekuatan tersebut tidak pernah musnah namun akan ditransformasikan ke
dalam bentuk persamaan yang lain.
- Segala
sesuatu yang bergerak sepanjang garis setidak-tidaknya akan dirintangi
oleh suatu kekuatan yang lain.
- Adanya
suatu irama daripada gerakan atau disebut dengan gerakan alternatif.
Menurut Spencer, harus ada suatu hukum yang dapat menguasai
kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda-beda di halaman proses evolusioner
ini. Dan hukum itu ialah pernyataan bahwa hilangnya sesuatu gerakan biasanya
diiringi oleh tujuan gerakan itu sendiri dan akan munculnya suatu disintergrasi
dari keadaan tersebut atau menurut Spencer, adanya evolusi selalu diikuti oleh
disolusi. Evolusi yang sederhana hanyalah merupakan suatu gerak yang hilang dan
merupakan suatu redistribusi dari keadaan. Evolusi itu sendiri terjadi
dimana-mana dalam bentuk inorganik seperti astronomi dan geologi, kehidupan
organik sepertii biologi dan psikologi serta kehidupan superorganik seperti
sosiologi.
Spencer mengajukan empat pokok
penting tentang sistem evolusi umum yaitu:
- Ketidakstabilan
yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar dan
akan kehilangan homogenitasnya karena kejadian setiap insiden tidak sama
besar.
- Berkembangnya
faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris. Berkembangnya
bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan
(equilibrium) saja, yaitu suatu keadaan yang seimbang yang berhadapan
dengan kekuatan-kekuatan yang lain.
- Kecenderungan
terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui
bentuk-bentuk pengelompokan atau segresi.
- Adanya
batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di
dalam bentuknya yang paling kompleks. Evolusi ini adalah merupakan evolusi
superorganis yang termasuk semua proses dan produk tindakan yang dillakukan
oleh individu-individu. Di dalam karyanya, Prinsip-Prinsip Sosiologi, Spencer
membagi pandangan sosiologisnya menjadi 3 bagian yaitu:
- Faktor-faktor
extrinsic asli seperti: fisis dan iklim.
- Faktor-faktor
intrinsic asli seperti: fisis, intelektual, rasa, atau emosional manusia.
- Faktor
asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan,
hukum, dan lembaga-lembaga.
Dalam tahun 1890 Prof. Giddengs membuat singkatan ajaran
sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri. Adapun singkatan
sistem sosial Spencer adalah sebagai berikut:
- Masyarakat
adalah oragnisme, atau mereka adalah superorganis yang hidup
berpencar-pencar.
- Antara
masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi
tenaga, suatu kekuatan yang seimbang. Keseimbangan itu ialah antara
masyarakat dan masyarakat, anatra kelompok sosial satu dengan kelompok
sosial lain.
- Equilibrasi
antara masyarakat dan masyarakat, antara masyarakat dan lingkungan mereka
berjuang satu sama lain demi eksistensi mereka di antara warga
masyarakatnya. Akhirnya konflik mejadi suatu kegiatan masyarakat yang
sudah lazim.
- Di
dalam perjuangan ini kemudian timbullah rasa takut di dalam hidup bersama
serta rasa takut untuk mati. Rasa takut mati adalah pangkal kontrol
terhadap agama.
- Dengan
diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama maka kebiasaan
konflik menjadi benih militerisme. Militerisme membentuk sifat dan tingkah
laku serta membentuk organisasi sosial dalam peperangan pada umumnya.
- Militerisme
menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang kecil menjadi kelompok sosial
yang lebih besar. Dalam penggabungannya ini diperlukan integrasi sosial.
Proses semacam ini memperluas medan integrasi sosial yang biasanya
terdapat pemupukan rasa perdamaian antara sesamanya serta rasa
kegotong-royongan.
- Kebiasaan
berdamai dan rasa kegotong-royongan membentuk sifat, tingkah laku serta
organisasi sosial yang suka pada hidup tentram dan penuh dengan rasa setia
kawan.
- Di
dalam tipe masyarakat yang penuh dengan perdamaian kekuatannya akan
berkurang namun sebaliknya rasa spontanitas serta inisiatif semakin
bertambah, organisasi sosial menjadi semacam plastik saja sedangkan
anggota masyarakat dapat berpindah dengan leluasa dari satu tempat ke
tempat yang lain. Mereka mengubah hubungan sosial mereka tanpa merusak
kohesi sosial yang telah ada. Kesemuanya ini merupakan elemen di mana rasa
simpati dan seluruh pengetahuan yang ada di dalam kelompok sosial
merupakan kekuatan tersendiri bagi masyarakat primitif.
- Perubahan
dari semangat militerisme menjadi semangat industrialisme, semangat kerja
keras tergantung pada luasnya tenaga antar kelompok-kelompok masyarakat
yang ada serta kelompok masyarakat tetangganya, antara ras dalam suatu
masyarakat yang ada serta masyarakat yang lain, antara masyarakat pada
umumnya serta lingkungan fisis yang ada. Akhirnya semangat kerja keras
yang disertai dengan penuh rasa perdamaian tak dapat dicapai sampai
keseimbangan bangsa-bangsa serta ras-ras yang ada tercapai lebih dahulu.
- Di
dalam masyarakat, seperti pada kelompok masyarakat lain tertentu, luasnya
perbedaan serta jumlah kompleksitas segenap proses evolusi tegantung pada
nilai-nilai proses integrasi. Semakin lambat nilai integrasinya, semakin
lengkap dan memuaskannya jalannya evolusi itu.
Setelah mempelajari evolusi
sosialnya Spencer, maka Rumney menyimpulkan bahwa konsep yang telah dicapai
dapat dikualifikasikan sebagai berikut:
- Perkembangan
yang tidak linier harus dikeluarkan.
- Batas-batas
harus diletakkan di setiap proses sosial atau garis perkembangan.
- Evolusi
dalam artian menurunnya modifikasi yang tidak boleh dikacaukan dengan
evolusi yang berkonotasi terhadap asal mula segala sesuatu.
- Formula
evolusi sosial tidak perlu diperluas atau bila diperluas akan kehilangan
nilai penjelasannya.
- Integrasi
serta perbedaan yang meningkat terjadi di dalam evolusi, namun peningkatan
kesemuanya itu tidak perlu menimbulkan kompleksitas.
- Spencer
hanya memberikan sedikit mengenai faktor manusia, kesadaran dalam
pembuatan perencanaan yang dibuat oleh individu atau kelompok.
- Dia
melupakan aspek-aspek kualitatif mengenai evolusi.
- Dia
salah dalam mengasosiakan kemajuan yang ada dalam evolusi.
Spencer menggunakan istilah progres
dan evolusi sebagai suatu istilah yang sinonim. Dia beranggapan bahwa evolusi
itu sudah jamak, otomatis dan mempunyai kaitan dengan hal-hal yang bersifat
progresif. Bahwa evolusi manusia telah mengambil tempat sudah tidak diragukan
lagi daripada evolusi biologisnya. Namun yang masih tetap diragukan ialah
penyebab evolusi itu sendiri.
Spencer tentang Teori Evolusi
Soekanto (1990:484-485)
mendefinisikan evolusi sebagai serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan
dan kumulatif yang terjadi dengan sendirinya dan memerlukan waktu lama. Evolusi
dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena
usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan,
keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Perubahan ini tidak harus sejalan dengan rentetan peristiwa di dalam
sejarah masyarakat yang bersangkutan.[11]
Menurut Soekanto (1990:345-347),
teori tentang evolusi dapat dikategorikan dalam tiga kategori:
- Unilinear
theories of evolution. Teori ini berpendapat bahwa manusia dan
masyarakat (termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan melalui tahapan
tertentu, mulai dari bentuk sederhana menuju ke yang lebih kompleks (madya
dan modern) dan akhirnya menjadi sempurna (industrial, sekuler). Pelopor
teori ini antara lain adalah August Comte dan Herbert Spencer.
Variasi teori ini adalah Cyclical theories yang dipelopori oleh
Vilfredo Pareto dengan mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan
mempunyai tahap-tahap perkembangan yang merupakan lingkaran yang pada
tahap tertentu dapat dilalui berulang-ulang. Pendukung teori ini adalah
Pitirim A. Sorokin yang mengemukakan teori dinamika sosial dan kebudayaan.
Menurut Sorokin, masyarakat berkembang melalui tahap kepercayaan, tahap
kedua dasarnya adalah indera manusia, dan tahap terakhir dasarnya adalah
kebenaran.
- Universal
theory of evolution. Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat
tidak perlu melalui tahap-tahap perkembangan tertentu yang tetap.
Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Spencer
mengemukakan prinsip-prinsipnya yaitu antara lain mengatakan bahwa
masyarakat merupakan hasil perkembangan sifat maupun susunannya dari
kelompok homogen ke kelompok yang heterogen.
- Multilined
theories of evolution. Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian
terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat.
Misalnya mengadakan penelitian tentang pengaruh sistem mata pencaharian
dari sistem berburu ke sistem pertanian kekeluargaan dalam masyarakat.
v Hukum Evolusi
Sejak tahun 1879 spencer mengetengahkan sebuah teori tentang
Evolusi Sosial yang hingga kini masih
dianut walaupun disana sini ada perubahan. Evolusi secara umum adalah
serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan
sendirinya, dan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan evolusi dalam masyarakat
adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut
untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul
sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat
primitive ke masyarakat industri. Herbert spencer memperkenalkan pendekatan
analogi organic, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu
organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Proses evolusi masyarakat yaitu
perorangan-perorangan bergabung menjadi keluarga, keluarga-keluarga bergabung
menjadi kelompok, kelompok-kelompok menjadi desa, desa menjadi kota, kota
menjadi Negara, dan Negara menjadi perserikatan bangsa-bangsa(Veeger, 1992: 80).[12]
Evolusi adalah penyatuan dan pengintegrasian materi kedalam
kesatuan-kesatuan yang lebih besar dan lebih rumit strukturnya.
v Evolusi Masyarakat
·
Teori tentang evolusi hukum dalam masyarakat.
Skema teori:
Hukum keramat hukum sekuler hukum
kekuasaan otoriter hukum keramat raja undang-undang
Spencer mengatakan bahwa hukum yang
ada pada masyarakat pada awalnya adalah hukum keramat. Hukum keramat berasal
dari nenek moyang yang berupa aturan hidup dan pergaulan. Karena masyarakat semakin
kompleks sehingga hukum keramat tersebut tidak cocok lagi.
Maka timbullah hukum sekuler yaitu
hukum yang berlandaskan azaz saling butuh-membutuhkan secara timbal balik di
dalam masyarakat. Namun karena jumlah masyarakat semakin banyak maka dibutuhkan
sebuah kekuasaan otoriter dari raja untuk menjaga hukum sekuler tersebut..
dalam perkembangan selanjutnya timbullah masyarakat “beragama” sehingga
kekuasaan otoriter rajapun tidak lagi cukup. Untuk mengatasi hal tersebut
ditanamkanlah suatu keyakinan kepada masyarakat yang mengatakan bahwa raja
adalah keturunan dewa sehingga hukum yang dijalankan adalah hukum keramat.
Pada perkembangan selanjutnya
timbullah masyarakat industry, dimana kehidupan manusia semakin bersifat
individualis sehingga hukum keramat tidak bisa lagi mengaturkehidupan
bermasyarakat. Maka muncul hukum undang-undang.
·
Teori asal mula religi
Skema teori:
Penyembahan roh nenek moyang penyembahan
dewa-dewa.
Spencer mengatakan bahwa semua
bangsa yang ada di dunia ini, religi itu dimulai dengan adanya rasa sadar dan
takut akan maut.ia berpendapat bahwa religi tertua adalah penyembahan terhadap
roh-roh nenek moyang yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang
telah meninggal. Bentuk religi ini akan berevolusi ke bentuk religi yang lebih
kompleks yaitu penyembahan kepada dewa-dewa seperti dewa kejayaan, dewa perang,
dewa kebijaksanaan, dewakecantikan, dewa maut dll.
Spencer juga berpendapat bahwa dalam
evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan
tahan dalam masyarakat, adalah hukum yang dapat melindungi kebutuhan warga
masyarakat.
Sementara itu, perspektif
evolusioner adalah sudut pandang teoretis paling awal dalam sosiologi.
Hal tersebut berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert
Spencer (1820-1903). Keduanya menaruh perhatian pada perkembangan masyarakat
secara evolusioner dari keseluruhan atau kesatuan yang utuh.
Horton dan Hunt (1989:16-17)
menjelaskan, perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif, sekali pun
bukan merupakan perspektif utama dalam sosiologi.[13]
Dalam bukunya, Positive
Philosophy (1851-1854), Comte menulis tentang tiga tingkatan yang pasti
dilalui pemikiran manusia yaitu: teologis, metafisik (atau filosofis), dan
akhirnya positif (atau ilmiah). Comte berpendapat bahwa masyarakat mempunyai
kedudukan yang dominan terhadap pribadi.
Sebaliknya, Spencer berpendapat
bahwa pribadi mempunyai kedudukan dominan dalam struktur masyarakat. Dia
menekankan bahwa pribadi merupakan dasar struktur sosial, meskipun masyarakat
dapat dianalisis pada tingkat struktural. Struktur sosial suatu masyarakat
dibangun untuk memungkinkan anggotanya memenuhi berbagai keperluan. Oleh
karena itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat individualistis. Terkait
ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat
modern, Spencer menilai masyarakat bersifat organis. Pandangan ini yang
kemudian menjadikan Spencer sering disebut sebagai seorang teoretis organik
karena usahanya memperluas prinsip-prinsip evolusi pada ilmu biologi ke
institusi sosial.
Lebih jauh Spencer mengungkapkan
bahwa perubahan alamiah dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat.
Kumpulan pribadi dalam masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya
proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam
menentukan kualifikasi.
Bagi Spencer, masyarakat
merupakan material yang tunduk pada hukum universal evolusi. Masyarakat
mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk
tertentu dalam masyarakat, terutama dalam organisasinya. Masyarakat tersusun
atas dasar hakikat manusia dan bentuknya sangat dipengaruhi oleh alam yang
sulit dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan oleh manusia sangat sulit
ditentukan akibatnya (Haryanto, tt:24).[14]
Diakui atau tidak, Spencer terpikat
Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of
Species (1859), sembilan tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi
universalnya. Spencer memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan
yang harus dilalui semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana
ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.
Horton dan Hunt (1989:59-61) menilai
adanya suatu optimisme di masyarakat. Kemajuan masyarakat yang terus meningkat
pesat pasti akan mengakhiri kesengsaraan dan meningkatkan kebahagiaan manusia.[15]
Menurut Haryanto (tt:25), semua
teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang
dilalui semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen) yang
sering digambarkan dalam arti diferensiasi struktural, perubahan dalam arti
dari yang paling sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Masyarakat
sederhana tidak terpadu yang tidak pasti (indefinite, incoherent homogenity),
memiliki karakteristik, tidak ada pembagian tugas atau peran yang rinci dan
lebih banyak bersifat informal. Sedang masyarakat yang lebih kompleks (definite,
coherent heterogenity) memiliki karakteristik terspesialisasi dan formal.[16]
Evolusi terjadi pada tingkat organis
dan pada tingkat anorganis. Pada tingkat organis, perubahan terjadi dari sel
homogen sederhana menuju organisme terpadu yang lebih tinggi dan kompleks.
Evolusi anorganis prosesnya adalah proses yang bermula dari bulatan gas yang
tidak menentu, tidak terpadu dan homogen, kemudian menggumpal menjadi bintang,
planet, matahari, bulan yang berbeda yang kemudian diintegrasikan menjadi satu
keseluruhan dalam gerakan yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Selain evolusi
organis dan anorganis, ada evolusi yang disebut evolusi superorganis. Evolusi
superorganis ini hanya terjadi pada masyarakat. Evolusi superorganis di
kemudian hari lebih dikenal sebagai evolusi sosial dan evolusi produksi yang
sekarang kita kenal sebagai evolusi kebudayaan.
Seperti halnya sel pada organisme
yang mempunyai cara dan sifat masing-masing, Spencer menilai watak dan sifat
manusia itulah yang membawa perbaikan bagi masyarakat. Watak yang baik mudah
menjadi teladan mengalami kemajuan karena rintangan yang muncul dapat terkikis
dengan sendirinya pada saat terjadi proses menyelaraskan diri dengan masyarakat
dan kemajuan. Hal ini juga berarti perjuangan hidup (struggle for life)
dapat diatasi sehingga terbentuk masyarakat terbaik. Perjuangan hidup dan survival
of the fittest adalah suatu wujud tenaga evolusi dalam masyarakat. Hal ini
membuat manusia dalam masyarakatnya selaras dengan kehidupan politik, industri,
dan sebagainya di sekitarnya. Di sini Spencer melihat kehidupan dalam
masyarakat selalu mendorong anggotanya bersikap menyesuaikan diri dengan
panggilan hidup yang lebih maju.
Peraturan negara harus menjaga agar
supaya rakyat dan masyarakat dapat hidup merdeka dan memperjuangkan hidupnya.
Spencer tidak setuju dengan peraturan yang melindungi pihak yang lemah, yang tidak
mampu menyesuaikan diri terhadap kemajuan masyarakat. Spencer berpendapat bahwa
pihak yang lemah hendaknya binasa saja atau harus berusaha belajar keterampilan
dan keuletan sehingga nantinya yang akan tinggal hanya mereka yang terkuat (the
fittest).
Spencer berpendapat bahwa
orang-orang cakap dan bergairah (enerjik) yang akan mampu memenangkan
perjuangan hidup dan berhasil, sedang orang yang malas dan lemah akan tersisih
dengan sendirinya dan kurang berhasil dalam hidup. Kelangsungan hidup keturunan
manusia lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan tenaga hidupnya. Kekuatan
hidupnyalah yang mampu mengatasi kesukaran ujian hidup, termasuk kemampuannya
menyesuaikan diri (berevolusi) dengan lingkungan fisik dan sosial yang selalu
berubah dari waktu ke waktu.
Spencer berpendapat, suatu organisme
akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi
antara bagian-bagiannya. Hal ini berarti ada organisme yang mempunyai fungsi
yang lebih matang di antara bagian-bagian lain dari organisme sehingga dapat
berintegrasi dengan lebih sempurna. Secara evolusioner, tahap organisme
tersebut akan semakin sempurna sifatnya. Dengan demikian organisme mempunyai
kriteria yang dapat diterapkan pada setiap masyarakat yaitu kompleksitas,
diferensiasi, dan integrasi. Evolusi sosial dan perkembangan sosial pada
dasarnya adalah pertambahan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian
kerja, dan suatu transisi dari keadaan homogen ke keadaan heterogen (Soekanto,
1990: 39-41).[17]
Dalam bukunya Principles of Sociology,
Spencer berpendapat bahwa pada masyarakat industri yang telah terjadi
diferensiasi dengan mantap, akan ada stabilitas yang menuju pada keadaan
hidup yang damai. Seperti juga Comte, Spencer berpendapat bahwa tujuan hidup
setiap manusia adalah menyesuaikan diri dengan panggilan hidup dalam masyarakat
sekitarnya yang selalu berevolusi menuju perbaikan dan kemajuan.
Pusat perhatian Spencer juga tertuju
pada gerak yang dipandang sebagai suatu tenaga yang menggerakkan proses
pemisahan (diferensiasi, membedabedakan) dan proses mengikat (integrasi,
persatuan). Tenaga ini membawa kesamaan dan perpecahan dan ketidakpastian dalam
evolusi sehingga membentuk kelompok, golongan, ras, suku bangsa, bangsa, dan
negara. Evolusi terus berlanjut, ada yang menuju kesempurnaan, tetapi ada juga
yang sebaliknya. Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh
menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan
hidupnya.
Seperti telah disinggung di atas,
pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi pesatnya kemajuan ilmu
biologi. Beberapa di antaranya adalah:
- Pelajaran
tentang sifat keturunan (descension), Lamarck (1909) yang
menyatakan bahwa sifat manusia yang diturunkan kepada anak cucunya
sangat dipengaruhi oleh tempat tinggal dan sifat bangsa itu. Teori
evolusi ini berdasarkan pendapat bahwa hewan yang bertulang punggung bisa
menyempurnakan bentuk badannya berdasarkan kebutuhannya kepada
keturunannya.
- Teori
seleksi dari Darwin (1859) mengatakan bahwa alam akan membuang segala
sesuatu yang tidak terpakai dan memperkuat segala sesuatu yang berguna,
seperti yang terjadi pada binatang, yang kuat akan mampu bertahan hidup
dan yang lemah akan binasa.
- Teori
tentang penemuan sel. Tubuh hewan dan tumbuh-tumbuhan terdiri dari
organisme kecil-kecil yang disebut sel. Sel ini mempunyai sifat dan bentuk
yang sama, tetapi mampu mempengaruhi sifat binatang atau tumbuhan
berdasarkan ciri yang terkuat pada sel tersebut.
Teori-teori Spencer sangat
dipengaruhi oleh pelajaran tentang sifat keturunan Lamarck yang menyamakan
masyarakat dengan suatu organisme, dengan sel-selnya, dan selanjutnya ia
membandingkannya seperti itu. Pendapat tentang biologi mempengaruhi dunia
filsafat, psikologi dan lain sebagainya sehingga terjalin pertalian yang erat
antara ilmu pengetahuan itu dengan sosiologi.
Membandingkan masyarakat dengan
organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detail pada semua
masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada tiga
kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme, yaitu:
1. Pertumbuhan dalam ukurannya
2. Meningkatnya kompleksitas struktur
3. Diferensiasi fungsi.
Spencer berkeyakinan bahwa kehidupan
masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang semakin baik. Karena
itu, kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri, lepas dari campur
tangan yang mungkin akan memperburuk keadaan. Spencer menerima pandangan bahwa
institusi sosial sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi
secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Ia juga menerima
sudut pandang Darwinian bahwa proses seleksi alamiah, “survival of the
fittest”, juga terjadi dalam kehidupan sosial (istilah survival of the
fittest justru diciptakan oleh Spencer beberapa tahun sebelum karya Darwin
mengenai seleksi alam muncul). Jika tidak diganggu intervensi dari luar,
individu yang layak akan bertahan hidup dan berkembang, sedangkan individu yang
tak layak akhirnya punah. Spencer memusatkan perhatian pada individu, sedangkan
Comte menekankan pada unsur yang lebih besar seperti keluarga.
Ritzer dan Goodman (2007) merangkum
teori evolusi Spencer ke dalam dua perspektif. Pertama, teorinya berkaitan
dengan peningkatan ukuran (size) masyarakat. Peningkatan ini menyebabkan
diferensiasi fungsi yang dilakukannya. Kedua, masyarakat berubah melalui
penggabungan. Makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan.
Dia berbicara tentang gerak evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke
penggabungan dua kali lipat dan penggabungan tiga kali lipat.[18]
Di bagian lain, Spencer menawarkan
teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri. Pada mulanya,
masyarakat militan dijelaskan sebagai masyarakat terstruktur guna melakukan
perang, baik yang bersifat defensif maupun ofensif. Sejalan dengan tumbuhnya
masyarakat industri, fungsi perang sebagai perubahan berakhir. Masyarakat
industri didasarkan pada persahabatan, tidak egois, dan penghargaan terhadap
prestasi.
Dalam tulisannya mengenai
etika dan politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusi sosial yang lain. Di
satu sisi ia memandang masyarakat berkembang menuju ke keadaan moral yang ideal
atau sempurna. DI sisi lain ia menyatakan bahwa masyarakat yang paling mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup (survive),
sedangkan masyarakat yang tak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya.
Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat
secara keseluruhan.
Jadi, Spencer mengemukakan
seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Mula-mula gagasannya menikmati sukses
besar, tetapi kemudian ditolak selama beberapa tahun, dan baru belakangan ini
hidup kembali dengan munculnya teori sosiologi neoevolusi
Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:
a.
Tahap penggandaan atau
pertambahan
Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde
social dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah
b.
Tahap kompleksifikasi
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya
struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin
kompleks.
c.
Tahap Pembagian atau Diferensiasi
Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau
fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan
social (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas social.
d.
Tahap pengintegrasian
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan
bahaya perpecahan, maka kecenderungan negative ini perlu dibendung dan
diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan
tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia
sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai
integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan
sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses
pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses
pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia.
C.
EMILE
DURKHEIM
1.
Biografi
Emile Durkheim
Sosiolog besar ini dilahirkan di Epinal suatu perkampungan kecil
orang Yahudi di Bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas
pada tanggal 15 April 1858, ia disebut sosiolog Prancis pertama yang menempuh
jenjang ilmu sosioloogi paling akademis. Beliau memperbaiki metode berpikir
sosiologis yang tak hanya berdasar pemikiran-pemikiran logika filosofis namun
sosiologi menjadi suatu ilmu pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala
sosial sebagai fakta-fakta yang dapat di observasi.
“ A thing definite as anything that could be observed. Social
phenomena, he said, must be treated as “things”, If Sosiology was to be made a science.” Dan Durkheim pula dengan
kukuh menolak interpretasi yang biologistik dan psikologistik terhadap
masalah-masalah sosial. Itulah sebabnya Sorikin memasukkan Durkheim masuk
kedalam aliran sosiologistik.
Dia lahir dalam keluarga agamis namun pada usia belasan tahun
terhadap agama lebih akademis daripada teologis. Pada usia 21 tahun Durkheim di
terima di Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam ujian masuk.
Di Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan kritis,
kemudian pemikiran Durkheim di pengaruhi oleh dua orang profesor di
universitasnya itu (Fustel De Coulanges dan Emile Bouttroux). Setelah
menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim mengajar filsafat
di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di Paris pada tahun
1882 sampai 1887. Kemudian masih pada tahun 1887 (29 tahun) di samping
prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil mencetuskan
sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah dibidang akademik karena prestasinya
itu dia dirgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan dan
fakultas ilmu sosial di universistas Bourdeaux.
Tahun 1893 Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa
perancis yaitu The Division Of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa
latin tentang Montesqouieu. Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu
The Rules of Socological Method. Tahun 1896 diangkat menjadi profesor penuh
untuk pertama kalinya di Prancis dalam bidang ilmu sosial.
Tahun 1897 menerbitkan buku ketiganya yang berjudul
Suicide (Lesucide) dan mendirikan Socologique (jurnal ilmiah pertama tentang
sosiologi). Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun 1906 dipormosikan
sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun kemudian (1912)
menerbitkan karya keempatnya yaitu The Elementary Forms of Religious Life. Satu
tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi profesor ilmu pendidikan
dan sosiologi. Pada tahun ini sosiologi resmi didirikan dalam lembaga
pendidikan yang sangat terhormat di Prancis. Tahun 1915 Durkheim mendapat
musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal.
Durkheim mengenal akar-akar sosiologi dari pemikiran filsuf kuno
seperti Plato dan Aristoteles, dan filsuf Perancis Montesquieu dan Condorcet,
Durkheim memandang filsuf terdahulu belum melangkah jauh sebeab mereka belum
mencoba menciptakan disiplin baru
Minat Durkheim
dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam
Perang Prancis-Rusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan
yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat
nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan
Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis,
berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya
secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai
seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti
Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris,
dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke
Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang
pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu
posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah
Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali,
kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial
semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Minat Durkheim pada sosialisme
dijadikan bukti bahwa ia bukan seorang konservatif namun sosialisme yang
berbeda dengan minat marx dan pengikutnya. Durhkeim menyebut Marxisme sebagai
serangkaian “hipotesis yang dapat diperdebatkan” dan ketinggalan zaman. Bagi
Durkheim sosialisme sangat berbeda dengan pada umumnya karena baginya
sosialisme tak lain adalah suatu paham dan keadaan yang merepresentasikan
sistem tempat dimana prinsip moral yang diungkap oleh sosiologi ilmiah harus
diberlakukan.
Pemikiran Durkeim juga berpengaruh
pada bidang selain sosiologi seperti antropologi, sejarah, linguistik, dan
ironisnya lewat lingkaran ini dia menyerang disiplin yang jadi musuh bebuyutan
psikologi.
Durhkeim wafat pada 15 November
1917. Ia disegani dikalangan intelektual Prancis, namun pemikirannya itu baru
berpengaruh signifikan dalam sosiologi di Amerika setelah Talcott Parson menerbitkan
buku berjudul The Structure of Social
Action.
2.
Karya-Karya
Emile Durkheim
Empat buah buku ditulis durkheim untuk mengukuhkan dirinya sebagai
sosiolog besar, buku pertama ialah disertasi doktornya dari Unversitas Sorbone
berjudul One the Division of Social Labor yang diterbitkan tahun 1893, Buku
kedua berjudul The Rules of Sociological Method terbit tahun 1895, buku ketiga
berjudul Suicide terbit tahun 1897, dan buku keempat berjudul The Elementary
forms of Religious life terbit tahun 1912.
3.
Teori
Yang Dikemukakan
A.
Fakta
sosial
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat dan memberinya kejelasan
serta identitas tersendiri, Durkheim (1895/1982) menyatakan bahwa pokok bahasan
sosiologi haruslah berupa studi atas fakta sosial (lihat Gane, 1988;
Gilbert,1994; dan edisi spesial sociological perspectives 1995). Secara
singkat, fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai
yang berada di luar dan memaksa aktor.
Hal yang penting dalam pemisahan sosiologi dari filsafat adalah ide
bahwa fakta sosial dianggap sebagai “sesuatu” (S. Jones, 1996) dan dipelajari
secara empiris. Artinya, bahwa fakta sosial mesti dipelajari dengan perolehan
data dari luar pikiran kita melalui observasi dan eksperimen.
Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang
dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa
juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum
dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari
manifestasi-manifestasi individual. (Durkheim, 1895/111982: 13).
Hal itu menunjukkan bahwa Durkheim memberikan definisi agar
sosiologi terpisah dari ilmu filsafat dan psikologi.
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada
individu, namun mesti di pelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut
fakta sosial dengan istilah latin sui generis, yang berarti “unik”.
Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa fakta sosial memiliki
karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas kesadaran individual.
Jika fakta sosial dianggap bisa dijelaskan dengan merujuk pada individu, maka
sosiologi akan tereduksi menjadi psikologi.
Durkheim sendiri memberikan beberapa
contoh tentang fakta sosial , termasuk aturan legal, beban moral, dan
kesepakatan sosial. Dia juga memasukan bahasa sebagai fakta sosial, dan
menjadikannya contoh yang paling mudah dipahami. Pertama karenakan bahasa
adalah “sesuatu” yang mesti dipelajari secara empiris. Kedua bahasa adalah
sesuatu yang berada di luar individu. Meskipun individu menggunakan bahasa,
namun bahasa tidak dapat didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Ketiga,
bahasa memaksa individu. Bahasa dapat membuat sesuatu itu sulit dikatakan.
Terakhir, perubahan dalam bahasa dapat dipelajari dengan fakta sosial lain dan
tidak bisa hanya keinginan individu saja.
Sebagian sosiologo berpendapat bahwa
Durhkeim terlalu mengambil posisi yang ekstrem dalam hal ini. sebab ia terlalu
membatasi sosiologi hanya pada fakta sosial saja. Padahal ada banyak
cabang-cabang dalam sosiologi.
Fakta
Sosial Material dan Nonmaterial
Durkheim membedakan dua tipe
ranah fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material seperti gaya arsitektur bentuk teknologi, dan
hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa
diamati secara langsung. Lebih penting lagi, fakta sosial material tersebut
sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang
sama-sama berrada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah
yang disebut dengan fakta sosial nin material.
Studi Durkheim yang paling penting
dan inti dari sosiologi terletak pada studi fakta sosial nonmaterial. Durkheim
mengungkapkan : “tidak semua kesadaran sosial mencapai ... eksternalisasi dan
materialisasi” (1897/1951: 315). Apa yang saat ini disebut norma dan nilai,
atau budaya oleh sosiolog secara umum (Alexander, 1988c) adalah contoh yang
tepat untuk apa yang disebut Durkheim dengan fakta sosial nonmaterial. Durkheim
mengakui bahwa fakta sosial nn material memiliki batasan tertentu, ia ada dalam
individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara
sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri (Durkheim, (1912)
1965: 471). Dalam karya yang sama durkheim menulis: pertama, bahwa “hal-hal
yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah
produk aktivitas manusia” dan kedua Masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan
sejumlah individu.masyarakat akan hanya bisa dipahami dengan interaksi bukan
individu. Interaksi nonmaterial juga memiliki tingkatan-tingkatan realitasnya
sendiri. Inilah yang disebut “realisme relasional” (Alpert, 1939).
Durkheim melihat fakta sosial berada
di sepanjang kontinum hal-hal yang material. Durkheim menyebut ini dengan fakta
morfologis, dan semua itu termasuk hal yang paling penting dalam buku
pertamanya, The Division of Labor.
Jenis-jenis
Fakta Sosial Nonmaterial
a. Moralitas.
Persperktif durkheim mengenai moralitas:
pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain,
moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada diluar individu, ia
memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Kedua, Durkheim
dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya
pada kesehatan moral kesehatan moral masyarakat modern.
Dalam pandangan Durkheim, orang
selalu terancam kehilangan ikatan moral, dan hal ini dinamakan “patologi”. hal
tersebut penting bagi Durkheim karena tanpa itu individu akan diperbudak oleh
nafsu yang tidak pernah puas. Seseorang akan didorong oleh nafsu mereka ke
dalam kegilaan untuk mencari kepuasan namun setiap kepuasan akan menuntut lebih
dan lebih. Jika masyarakat tidak membatasi kita maka kita akan menjadi budak
kesenagan yang selalu meminta lebih. Sehingga Durkheim memegang pandangan bahwa
individu membutuhkan moralitas dan kontrol dari luar untuk bebas. Pandangan
hasrat yang tidak pernah puas ini ada pada setiap manusia adalah inti dari
sosiologi Durkheim.
b.
Kesadaran
kolektif.
Durkheim mencoba mewujudkan
perhatiannya pada moralitas dengan berbagai macam cara dan konsep. Usaha
awalnya untuk menaangani persoalan ini adalah dengan mengembangkan ide tentang
kesadaran kolektif. Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut:
seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah
masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri,
kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan
demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa
disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular.
Dari hal itu jelas bahwa Durkheim
berpendapat kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat
ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Hal yang
lain bahwa kesadaran kolektif sebagai sesuatu yang terlepas dari dan mampu
menciptakan fakta sosial. Hal terakhir dari pendapatnya bahwa kesadaran kolektif
baru bisa “terwujud’ melalui kesadaran-kesadaran indivisual.
Duekheim menggunakan konsep yang
sangat terbuka dan tidak tetap untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif”
memiliki kesadaran kolektif yang kuat yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan
bersama lebih daripada masyarakat modern.
Ada 2 sifat kesadaran kolektif
menurutnya yaitu:
1. Sifat
yang exterior
Yaitu kesadaran
kolektif berada diluar individu manusia dan yang masuk kedalam individu
tersebut akan perwujudannya sebagai aturan-aturan moral, agama, aturan baik
buruk, luhur dan mulia, dan sebagainya. Aturan-aturan tersebut akan tetap ada
sekalipun individu-individiu yang bersangkutan sudah tidak ada lagi.
2. Sifat
yang constraint
Kesadaran
kolektif ini memiliki daya memaksa terhadap individu-individu manusia,
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota teersebut terhadap kesadaran kolektif
ini akan mengakibatkan adanya sanksi hukum.
c. Representasi
Kolektif
Kesadaran kolektif tak dapat
dipelajari secara langsung karena sesuatu yang luas dan gagasan yang tidak
memiliki bentuk yang tetap. Sehingga perlu didekati dengan relasi fakta sosial
material. Contoh dari representasi kolektif ialah simbol agama, mitos, dan
legenda populer. Semua yang tersebut itu adalah cara-cara dimana masyarakat
merefleksikan dirinya.
Representasi kolektif tidak dapat
direduksi kepada individu-individu karena ia muncul dari interaksi sosial dan
hanya dapat dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan
simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau praktek seperti ritual.
Contoh dari
representasi ialah mengenai perubahan yang dialami Abraham Lincoln dalam
menanggapi fakta-fakta sosial lain. Ia mengalami kejayaan yang memuncak dan
ditahun lain ia memperlihatkan kemerosotan martabatnya.
d. Arus
sosial
Sebagian besar fakta sosial yang dirujuk emile
Drukheim sering diasosiasikan dengan organisasi sosial. Namun dia menjelaskan
bahwa fakta sosial tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas”. Durkheim
menyebutnya arus sosial. Dia mencontohkan dengan “luapan semangat, amarah, dan
rasa kasihan”. Fakta-fakta sosial nonmaterial bahkan bisa memengaruhi institusi
yang paling kuat sekalipun. Hal ini dicontohkan pada konser rock yang terjadi
di Erropa timur. Konser rock merupakan tempat muncul dan berseminya standar
buadaya, fashion. Dan gejala perilaku yang lepas kntrol partai. Dengan kata
lain kepemimpinan politik takut pada konser rock karena berpotensi menekan
perasaa individu dari alienasi menjadi
motivasi keterasingan sebagai fakta sosial.
e. Pikiran
kelompok
Arus
sosial dapat dilihat sebagai serangkaian makna yang disepakati dan dimiliki
bersama oleh seluruh anggota kelompok. Karena itu arus sosial tidak bisa
dijelaskan berdasarkan suatu pikiran individual. Arus sosial juga tidak bisa
dijelaskan secara intersubjektif yaitu berdasarkan interaksi antar individu.
Arus sosial hanya akan tampak pada level interaksi bukan individu.
Kenyataannya ada kesamaan yang kuat
antara teori fakta sosial dari Durkheim
dengan teori mutakhir tentang hubungan otak dengan pikiran individu. Keduanya
sama-sama menggunakan gagasan bahwa sistem yang kompleks akan terus berubahdan
menunjukkan ciri-ciri baru.
Durkheim juga
memiliki pemahaman modern tentang fakta sosial nonmaterial yang mengandung
norma, nilai, budaya, dan berbagai fenomena psikologis sosial bersama.
B. Teori
Bunuh Diri (Suicide)
Emile Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini
relative merupakan fenomena kongkrit dan sfesifik, dimana tersedia data yang
bagus cara komperatif .akan tetapi , alasan utama Durkheim untuk melakukan
studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin sosiologi . Dia
melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa .
Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan
kesimpulan bahwa gejala-gejala /psikologi sebenarnya tidak berpengaruh terhadap
kecenderungan untuk melakukan bunuh diri . Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa
bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu
dapat dijadikan srana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur
sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat . dalam
bukunya yaqng verjudul suicide di kemukakan dengan jelas hubungan integrasi sosial
terhadap kecendrungan melakukan bunuh diri. Durkheim dengan tegas menolak
anggapan lama tentang penyebab bunuh diri disebabkan oleh penyakit kejiwaan
sebagaimana teori-teori psikologi mengatakannya. Dia juga menolak anggapan
sarjana perancis gabriel tarde yang menyatakan bahwa bunuh diri akibat dari imitasi atau peniruan. Dia juga
menolak teori iklim yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme dan dia
juga menolak orang bunuh diri karena kemiskinan.
dengan angka-angka statistik
dari hasil penelitiannya di banyak negara ternyata kenyataan orang-orang dari
lapisan atas ( kaya ) justru lebih tinggi tingkat bunuh dirinya di bandingkan
dengan orang-orang di lapisan bawah atau miskin ( miskin ). Hal itu ditunjukkan
dengan negara miskin di eropa seperti italy dan spanyol , justru memiliki angka
bunuh diri yang lebih rendah di bandingkan dengan negera-negara eropa yang
lebih makmur seperti perancis, jerman dan negara-negara skandinavia, demikian
juga di negara-negara tersebut kels-kelas sosial di atas kota-kota justru lebih
besar angka bunuh dirinya dibandingkan kelas bawah.
Durkheim memusatkan
perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat :
a. Bunuh
diri dalam kesatuan agama
Dari data yang dikumpulkan Durkheim menunjukkan
bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan
dengan penganut agama katolik atau lainnya . .Penyebabnya terletak di dalam
perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada
para penganutnya . penganut agama protestan
memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk menacari sendiri
hakekat ajaran kitab suci, sedangkan dengan agama khatolik tafsir agama lebih
ditentukan oleh pater ( pemuka-pemuka gereja ), sebaliknya agama protestan
menolak ajaran-ajaran tradisional sebagaimana ditafsirkan oleh pemuka-pemuka
gereja.akibatnya ialah bahg wa kepercayaan bersama dari orang-orang protestan
menjadi berkurang sehingga timbul suatu keadaan di mana penganut ajaran protestan
tidak lagi menganut ajaran-ajaran atau tafsir yang sama sehingga sekarang ini
terdapat banyak sekte-sekte gereja protestan. Atau dengan kata lain ada
perbedaan derajat integrasi sosial di antara penganut agama khatolik. Integrasi
yang rendah dari agama protestan itu menyebabkan angka laju bunuh diri dari
penganut ajaran ini lebih besar kecenderungannya melakukan bunuh diri
dibhandingkan penganut ajaran khatolik.
b. Bunuh
diri dalam kesatuan keluarga
Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa
semakin kecil jumlah anggota dalam suatu keluarga , maka akan semakin kecil
pula einginan untuk hidup . Kesatuan sosial yang semakin besar mengikat orang
dalam kegiatan-kegiatan sosial diantara anggota-anggota kesatuan tersebut .
c. Bunuh
diri dalam Kesatuan Politik .
Dari data ,yang ber hasil dihimpun , Durkheim
menyimpulkan bahwa dalam situasi perang , golongan militer lebih terintegrasi
dengan baik , dibandingkan dalam keadaan damai . sebaliknya dengan masyarakat
sipil . Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri
ternyata lebih kecil dari masa revolusi atau pergolakan politik , dibandingkan
dengan masa tidaj terjadi pergolakan politik .
Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam :
1) Bunuh
diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoitis dapat ditemukan dalam masyarakat
atau kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial
yang luas . Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan
bagian dari masyarakat , dan masyarakat bukan pula bagian dari individu .
Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas , dan arus tersebut
melahirkan perbedaan angka bunuh diri . Misalnya , pada masyarakat yang
disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang
melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas di
lihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan
ketidakmaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor
paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu
menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2) Bunuh
Diri Altruistis
Terjadi ketika intergrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah
dapat di katakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya
adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di jonestown, Guyana
pada tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di jepang (harakiri).
Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang
tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah
setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seseorang akan melakukan
bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat di pakai untuk meneruskan
kehidupannya, begitu sebaliknya.
3) Bunuh
Diri Anomic
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat
terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas
karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran
dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi
ketika menempatkan orang dalam situasi normal lama tidak berlaku lagi sementara
norma baru di kembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam
situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenagah kerjanya
kehilangan perkerjaan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini
mereka rasakan.
Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa
kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat
mereka sebelumnya melekatkan diri.
4) Bunuh
Diri Fatalistis
Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim
menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang
yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang
menindas. Contoh: perbudakan.
C.
Teori
tentang Agama (The Elemtary Forms of Religious Life).
Dalam teori ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber
bentuk-bentuk, akibat, dan variasi agama dari sudut pandang sosiologistis.
Agama menurut Durkheim merupakan ”a unified system of belief and practices
relative to sacret things”, dan selanjutnya “ that is to say, things set apart
and forbidden – belief and practices which unite into one single moral
community called church all those who adhere to them.” Agama menurut Durkheim
berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai
hal-hal yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan
perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu ada
perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat
itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam
collective representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu
sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah
personifikasi masyarakat).
Kesimpulannya, agama merupakan lambang collective
representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat
kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara
keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin
bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam
kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective
consciouness tersebut semakin lemah kembali.
D.
MAX
WEBER
1.
Biografi
Max Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tanggal 21 April 1864, dari
keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi
politik yang relatif penting. Selain itu, Weber senior adalah sesorang yang
menikmati dunia, dan di dalam banyak hal, ia sangat berlawanan dengan istrinya.
Ibu Weber adalah seorang Calvinis yang sangat religius, seorang perempuan yang
berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam
kenikmatan duniawi yang didambakan dalam oleh suaminya.
Pada usia 18 tahun, Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk
belajar di universitas Heidelberg. Disana ia berkembang secara sosial, paling
tidak sebagian karena banyaknya bir yang ia konsumsi bersama teman-temannya.
Selang 3 tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer,
dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan ke rumah orang tuanya untuk mengambil
kuliah di universitas Berlin. Ia tetap disains selama hampir 8 tahun kemudian
ketika ia menyelesaikan studinya, meraih gelar doktor, menjadi pengacara dan
mulai mengajar di universitas Berlin. Dalam proses ini, minatnya lebih banyak
beralih ke persoalan-persoalan sepanjang masa ekonomi, sejarah, dan sosiologi.
Pada tahun 1896, giatnya dalam bekerja membawanya dalam posisi
sebagai profesor ekonomi di Heidelberg namun pada tahun 1897 ketika karier
akademik berkembang, ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat
dengannya. Tidak lama setelah itu, Weber mulai menunjukkan gejala yang
membawanya pada keruntuhan mental. Seringkali tidak dapat tidur atau bekerja,
Weber mengahabiskan waktu kurang lebih 6 sampai 7 tahun kemudian dalam kondisi
yang hampir mati suri.
Pada tahun 1904 dan 1905, ia menerbitkan salah satu karya
terkenalnya The Protestant Ethic And The
Spirit Of Capitalism. Dalam karya ini Weber menyatakan kesalehan sang ibu
yang diwarisinya pada level akademik. Weber banyak menghabiskan waktu untuk
mempelejari agama, kendati secara pribadi ia tidak rseligius. Pada tahun 1904
weber mampu menghasilkan beberapa karya pentingnya. Pada tahun-tahun itu Weber
menerbitkan studinya tentang agama-agama dunia dalam perspektif sejarah dunia
(misalnya China, India dan Yahudi kuno). Ketika ia meninggal (14 juni 1920) ia
tengah mengerjakan karya terpentingnya Econami
and society. Meskipun bukunya diterbitkan dan kemudian diterjemahkan
kedalam banyak bahasa, buku ini tidak selesai.
Selain menghasilkan banyak tulisan ketika itu, Weber melakukan
sejumlah aktivitas lain. Ia membantu mendirikan masyarakat sosiologi Jerman
pada tahun 1910. Rumahnya menjadi pusat bagi banyak intelektual termasuk
sosiolog seperti George Simmel, Robert Michels, dan saudaranya Albert Webber,
maupun filsuf kritik sastra George Lukacs.
Dalam kehidupan Weber, dan lebih penting lagi dalam karya-karyanya,
terdapat ketegangan antara pikiran birokratis sebagaimana ditampilkan oleh sang
ayah, dengan religiusitas ibunya. Ketegangan yang tak terpecahkan itu merasuk
kedalam karya Weber dan dalam kehidupan pribadinya.
2.
Karya-Karya
Max Weber
Beberapa karya Weber
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris antara lain:
a.
The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1930)
b.
From Max Weber: Essays in Sociology (1947)
c.
The Theory of Social and Economic Organization (terjemahan Talcott
Parsons atas Economy and Society volume 1) (1947)
d.
Max Weber on the Methodology of the Social Sciences (1949)
e.
General Economic History - The Social Causes of the Decay of Ancient
Civilizations (1950)
f.
The Religion of China: Confucianism and Taoism (1951)
g.
Ancient Judaism (1952)
h.
Max Weber on Law in Economy and Society (1954)
i.
The City (1958)
j.
The Religion of India: The Sociology of Hinduism and Buddhism (1958)
k.
Rational and Social Foundations of Music (1958)
l.
The Three Types of Legitimate Rule (1958)
m.
Basic Concepts in Sociology (1962)
n.
The Agrarian Sociology of Ancient Civilizations (1976)
o.
Critique of Stammler (1977)
p.
Economy and Society : An Outline of Interpretive Sociology (1978), On
Charisma and Institution Building (1994)
q.
Weber: Political Writings (1994)
r.
The Russian Revolutions (1995) dan
s.
Essays in Economic Sociology
(1999). Selain yang disebutkan tadi masih banyak karya Weber yang lain.
3.
Teori
Yang Dikemukakan
Weber memisahkan empat tindakan sosial di dalam
sosiologinya, yaitu yang disebut dengan :
a)
Zweck
rational
yaitu suatu tindakan sosial yang ditujukkan untuk mencapai tujuan
semaksimal mungkin dengan menggunakan dana daya seminimal mungkin.
b)
Wert
rasional
yaitu
tindakan sosial yang rasional, namun tetap berpeganganpada nilai-nilai absolute
teretentu. Nilai-nilai ini bisa nilai etis, estetis, keagamaan atau nilai-nilai
lain.
c)
Effectual
yaitu tindakan sosial yang timbul karena dorongan atau motivasi
yang sifatnya emosional. Contoh tindakan effectual, ledakan kemarahan seseorang
atau ungkapan rasa cinta dan kasihan.
d)
Tradisional
tindakan seseorang yang didorong dan berorientasi kepada tindakan masa
lampau. Tradisi di dalam pengertian ini adalah suatu kebiasaan bertindak yang
berkembang di masa lampau.
Keempat tindakan sosial ini yang menurut Weber akan
mempengaruhi pola-pola hubungan sosial serta struktur sosial masyarakatnya.
Ø Wewenang
Marx weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang di
dalam hubungan manusia yang menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Wewenang
adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara
formal oleh anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu
kemmapuan yang dimiliki seseorang untuk
mempengaruhi yang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang
formal.
Weber mengemukakan jenis wewenang yang disebutnya rational-legal authority sebagai bentuk
hieraki wewenang yang berkembang di dalam kehidupan masyarakt modern. Wewenang
ini dibangun atas legitimasi yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya.
Organisasi-organisasi modern yang bersifat politis adalah tipe dari wewenang di
mana keabsahan si pemegang kekuasaan untuk memberikan perintah berdasar kepada
peraturan yang disepakati bersama. Eabsahan untuk membuat peraturan dan
menjalankannya selalu berdasarkan konstitusi yang ditafsirkan secara resmi.
Para “official” adalah pejabat adalah pemegang kekuasaan untuk memberi perintah
tetapi dia tidak pernah menggunakan kekuasaan tersebut sebagai hak pribadinya,
melainkan dia menggunakan sebagai suatu institusi impersonal.
Disamping jenis wewenang yang bersifat rational-legal, terdapat juga jenis
wewenang yang bersifat tradisional,
yaitu jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat tradisional. Wewenag
jenis ini mengambil keabsahannya dari atas dasar tradisi yang dianggap suci.
Jenis wewenang ini dapat dibedakan ke dalam jenis wewenang yang disebut dengan patriarkhalisme dan patriomonalisme. Patriakhalisme adalah
jenis wewenang di mana kekuasaan berdasarkan senioritas. Mereka yang lebih tua
atau senior dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Contoh dari
pathriakhalisme misalnya, adalah wewenang ayah, suami anggota tertua dalam
rumah tangga, anak tertua terhadap anggota keluarga yang lebih muda, dll.
Sedangkan patriomonalisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang
pemimpin bekerjasama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orang-orang terdekat
yang memiliki loyalitas pribadi kepadanya. Si pemegang kekuasaan adalah mereka
yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan.
Ciri khas dari wewenang baik patriakhalisme maupun
patrimonalisme adalah adanya system norma yang dianggap keramat yang tidak
dapat di ganggu gugat. Si pemegang kekuasaan dalam merumuskan
keputusan-keputusannya atas dasar pertimbangan pribadinya, dan bukan atas dasar
pertimbangan ‘fungsinya’.
Weber juga memperkenalkan jenis wewenang lain yaitu
wewenang kharismatik. Wewenang ini dimiliki seseorang karena kualitas yang
‘luar biasa’ yang dimilikinya. Wewenang kharismatis adalah penguasaan atas diri
orang-orang, dimana pihak si tertakluk menjadi tunduk dan patuh karena
kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut.
Masalah fundamental dalam studi weber sesungguhnya
mempersoalkan hubungan antara gejala agama dengan gejala ekonomi. Dia
mempersoalkan hal ini mulai dari mengajukan beberapa pertanyaan dasar tentang :
Apakah sesungguhnya gejala ekonomi dipengaruhi oleh gejala agama?
Jawaban yang diajukan weber terhadap pertanyaan
demikian, bahwa antara gejala agama dengan gejala ekonomi sesungguhnya memiliki
ketergantungan yang timbal balik. Weber mengambil factor agama sebagai salah
satu variable dan mencoba menunjukkan pengaruh factor agama terhadap gejala
ekonomi dan gejala-gejala sosial lainnya.
Marx weber memusatkan perhatiannya pada ‘etika
ekonomi dari suatu agama’ atau apa yang disebutnya dengan wirtschafsethik untuk menemukan pengaruh agama terhadap kehidupan
ekonomis. ‘Etika ekonomi dari suatu agama’ bukanlah dogma-dogma agama yang
teologis tetapi sebagai bentuk totalitas dari bentuk-bentuk praktis pedoman
tingkah laku yang didorong dan dikehendaki oleh agama terhadap para pemeluknya.
Demikianlah, weber memusatkan perhatiannya terhadap
factor religi, dan mempelajarinya dalam enam agama yaitu Confusianisme, Hindu,
Budha, Kristen, Islam, Yahudi yang kesemuanya dari agama-agama itu dipelajari wirtschaftsethik atau etika ekonomi dari maisng-masing agama
tersebut, dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya terhadap organisasi dan
tingkah laku dari para pemeluk agama-agama tersebut.
Ø Verstehen
Menurut
Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang memiliki kelebihan daripadailmuan alam.
Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena
sosial, sementara ilmuan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang
perilaku atom atau ikatan kimia. Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen. Pemakaian istilah verstehen
ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang
paling banyak dikenal, dan paling kontroversial, terhadap metodologi sosiologi
kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen,
kita akan menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber,
muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan
Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya.
Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar
mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal di kalangan sejarawan
Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu
memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran
Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman
pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika.
Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran
tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran
pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas
gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial : memahami
aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering
terjadi menyangkut konsep verstehen
adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan intuisi, irasional,
dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen
hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati, atau empati.
Baginya, verstehen melibatkan penelitian sistematis dan ketat dan bukannya
hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber
verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan
verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi
penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga
menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik
yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G.
Runciman (1972) dan Murray Weax (1967) melihat verstehen sebagai alat untuk
mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
Max Weber juga memasukkan problem pemahaman
dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah
salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia
menyebut perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi
ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransformasikan konsep tentang
pemahaman. Meski begitu baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan
unik terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia
ketimbang dengan binatang atau kehidupan non hayati lainnya. Manusia bisa
memahami atau berusaha memahami niatnya sendiri melalui instropeksi, dan ia
bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang
mereka akui atau diduga mereka punyai.
Dengan
kata lain verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha untuk mengerti
makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan historis. Pendekatan
ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan
makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.
Namun
dalam berjalannya waktu teori ini banyak mendapatkan kritikan.Kritik yang
berkaitan mengenai metode verstehen menganggap Weber terperangkap di antara dua
persoalan terkait dengan verstehen ini. Di satu sisi, verstehen tidak bisa
semata – mata berarti intuisi subjektif karena demikian, maka verstehen tidak
akan ilmiah. Di sisi lain, sosiolog tidak dapat begitu saja menyatakan makna
objektif fenomena sosial. Weber menandaskan bahwa metode ini terletak di antara
dua pilihan, tapi sayangnya dia tidak pernah menjelaskan bagaimana itu bisa
terjadi.
Ø Etika Protestan dan
Spirit Kapitalisme
Esay Weber yang sangat menggemparkan
itu berjudul : The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism yang sejak
dituliskannya, hingga saat ini telah menjadi bahan pergunjingan yang
kontroversial bagi kehidupan ilmiah yang tak habis-habisnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa
Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan Kapitalisme modern. Situasi
sedemikian ini barang kali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan
antara tingkah laku agama dan ekonomi itu, terutama di masyarakat Eropa Barat
yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber
dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, dimana
pertumbuhan Kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan kegoncangan-kegoncangan
hebat di lapangan kehidudan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan
ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perjembangan
teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan sedemikian itu telah
menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil
orang-orang yang memilki modal dan yang dengan modal sedemikian itu lalu
menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki
modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama yang disebutnya kau
borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih
besar yang tidak digunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal
yang sudah mereka miliki.
Pada hakekatnya
Weber tidak berselisih pendapat dengan Marx dalam hal ini, terutama tentang
ciri-ciri yang menandai pertumbuhan Kapitalisme modern itu.
Adapun
karakteristik dari Spirit Kapitalisme modern menurut Weber adalah sebagai
berikut:
1. Adanya
usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional di atas
landasan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan berkembangnya pemilikan/kekayaan
priadi.
2. Berkembangya
produksi untuk pasar.
3. Produksi
untuk masa dan melalui massa.
4. Produksi
untuk uang.
5. Adanya
Anthusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia
kepada penggilan kerja.
Kerja adalah
merupakan suatu tujuan pribadi dari setia orang, kerja tidak dipandang sebagai
kegiatan yang insidental melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalam
eksistensi hidup manusia (hidup sendiri itu kerja). Masyarakat kapitalis
memandang manusia terutama sebagai pekerja dan tidak perduli apapun yang
menjadi pekerjaan mereka. Dan inilah yang disebut dengan vocational ethics yang merupakan tingkah laku yang menonjol dari
Sprit Kapitalisme modern. Mereka yang miskin
vocational ethicsnya akan mengalami keuuhan, dan mereka yanng memiliki vocational ethicsitu dengan baik akan
berhasi; meningkatkan prestasi hidupnya.
Selain berbagai
faktor di atas, perlu ditambahkan sejumlah elemen-elemen ekonomi kapitalis
yaitu :
1. Di
satu pihak berkembangnya rasionalisme, utilitarianisme, rangsangan untuk
berinisiatif dan menemukan hal-hal baru melalui berbagai sarana yang mungkin,
dan di lain pihak.
2. Terjadinya
reduksi (penyusutan atau penyederhanaan) besar-besaran daripada tradisionalisme
di dalam hal yang dipandang tidak efisien, kuno dan bersifat tahayul,
irrasional dan segala sesuatu yang tidak sempurna dipandang dari sudut
metoda-metoda rasional.
Semua tingkah
laku ini dianggap sebagai suatu type yang ideal dari karakteristik Kapitalisme
modern. Dan sesungguhnya tingkah laku ideal yang didambakan berbeda dengan
bentuk-bentuk Kapitalisme kuno dan bahkan Kapitalisme dalam abad pertengahan.
Spirit dan tingkah laku yang dicitrakan adalah gejala khusus dari masyarakat
barat yang modern. Dan semua elemen-elemen di atas kemudian menyatakan diri di
dalam masyarakat kapitalis dalam berbagai bentuk dan kondisi tertentu seperti :
1. Rational
capital accounting and business management (perhitungan modal dan pengelolaan
usaha secara rasional).
2. Appropriation
of all means of production (pengerahan segala sarana produksi secara tepat
guna).
3. Rational
technique of production (penggunaan teknik-teknik produksi rasional).
4. Rational
law (hukum rasional).
5. Free
labor (adanya tenaga kerja yang bebas).
6. Commercializtion
and marketing of the products of labor (komersialisasi dan pemasaran
hasil-hasil produksi dan tenaga kerja).
Selanjutnya
Weber mempersoalkan bahwa kondisi-kondisi ini hanya dapat dimungkinkan terwujud
apabila manusia terlebih dahulu memiliki sejumlah karakteristik psikologis
tertentu. Karakteristik psikologis ini terlebih dahulu haruslah dianut oleh
sejumlah orang yang memiliki lebih dahulu Etika Kapitalisme sebelum dia menjadi
seorang kapitalis. Dan karakteristik psikologis tertentu itu menurut Weber
tercermin di dalam berbagai citra yang merupakan bentuk-bentuk idela yang
tercermin di dalam berbagai ungkapan atau semboyan-semboyan seperti : Time is
Money, Credit is Money; Money grows money; “Honesty is the best polocy”;
Carefull accounting is necessary for any bussiness, And orderly conduct and
honesty, Diligence, Efficiency, Truth, Sinceriing and integrity are necessary
for sucesss in any field and in the field of business too.
Sekarang, kata
Weber, persoalannya adalah kekuatan macam apakah sesungguhnya yang telah
menyebabkan terjadinya transformasi ummat manusia dan tingkah laku itu? Dan
Weber mengajukan jawab:
“ Bahwa kapitallisme (barat) modern
adalah bersumber di dalam agama Protestan, yang hal itu merupakan Wirtschaftsethik. Spirit Kapitalisme
modern adalah Protestanisme, yaitu merupakan aturan-aturan agama Protestan
tentang watak dan perilaku (Rules of conduct) penganut-penganutnya di dalam
kehidupan sehari-hari”.
Spirit Kapitalisme lahir sebelum Etika
Protestan dan Kapitalisme modern lahir. Dan Spirit itu terolah nyata di dalam
kehidupan agama Protestan sehari-hari. Dan inilah yang merupakan catatan Weber
sebagai contoh bagaimana suatu organisasi ekonomi didahului dan diprasyaratkan
(conitioned) oleh faktor-faktor ideologi (dalam hal ini ideologi agama
Protestan). Bagaimana Weber membuktikan pendapatnya ini?
Weber mengajukan pembuktian secara
analitis dengan melakukan penelitian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran
Protestan sebagaimana diajarkan oleh Luther terutama ajaran Calvin dan juga
berbagai ajaran Protestan lainnya. Dari hasil penelitiannya yang mendalam
tentang ajaran-ajaran Protestan ini, Weber menunjukan bahwa Spirit Protestan di
dalam etika praktis sehari-hari, identik dengan Spirit Kapitalisme modern.
Menurut Weber, Etika Protestan mewujudkan diri sebagai suatu pengertian
tertentu tentang Tuhan, dimana Tuhan dianggap sebagai Yang Maha Esa, Maha
Pemcipta dan Penguasa dunia.
Akibat konsepsi mengenai Tuhan, maka
penganut agama Protestan menganggap kesenangan merupakan sesuatu yang tidak
baik, sebaliknya untuk mengagungkan Tuhan orang harus berhemat. Semangat
Protestan menurut Weber identik dengan semangat/Spirit Kapitalisme modern yang
pada pokoknya menganggap bahwa bekerja keras merupakan calling atau suatu
panggilan suci bagi kehiduan manusia. Berlaku hemat dengan cara menggunakan
hasil kerjanya tidak untuk bersenang-senang/berfoya-foya maupun untuk
upacara-upacara keagamaan. Dunia harus dipelajari secara ilmiah, rasional, hal
ini terjadi karena Tuhan sesungguhnya tidak dapat dibujuk untuk mengubah nasib
manusia. Spirit Protestan juga menganut paham bahwa membuat atau mencari uang
dengan jujur adalah merupakan aktifitas yang tidak berdosa.
Itulah pembuktian pertama secara analitis
yang dianjurkan Weber tentang bagaimana hubungan antara Spirit Kapitalisme
modern identik dengan Spirit Protestan. Tentang bagaimana faktor agama
mempunyai pengaruh terhadap aktifitas ekonomi.
Pembuktian kedua olehnya diajukan
angka-angka statistik. Jika benar bahwa ajaran Protestan mengkibatkan
perkembangan Kapitalisme modern, maka harus dapat dibuktikan dua hal kata
Weber, yaitu:
1.
Di
masyarakat-masyarakat yang mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang sama untuk
perkembangan Kapitalisme modern, haruslah dijumpai agama-agama tertentu yang
memiliki Etika Protestan atau yang sama dengan Etika Protestan.
2.
Di
masyarakat-masyarakat dimana Kapitalisme modern tidak timbul harus tidak
dijumpai ajaran-ajaran agama Protestan ata yang sama dengan Etika Protestan.
Maka diajukan oleh Weber fakta-fakta
bahwa sejak jaman Reformasi, negara-negara yang menganut agama Protestan
sebagai mayoritas adalah negara-negara yang lebih maju ekonominya. (Dia
menunjuk negara-negara seperti Holland, Inggris, Amerika dan lain-lain).
Sementara itu negara-negara yang mayoritas menganut agama atau ajaran Katolik
atau ajaran-ajaran non Protestan lainnya, pada umumnya ketinggalan di dalam
perkembangan ekonominya. Dengan menerangkan hal ini, maka jelaslah bagaimana
etika ekonomi Protestan telah mendidik dan melatih para
anggota-anggotanya/penganutnya menjurus kepada ekonomi kapitalis. Spirit
Protestan telah menanamkan pola kebiasaan – kebiasaan dan bentuk-bentuk
aktifitas yang perlu untuk membangun dan mengatur perusahaan-perusahaan
Kapitalisme modern secara sukses.
Pembuktian
ketiga dari hipotesa yang diajukan Weber juga melalui angka-angka statistik
yang dilakukan di Jerman. Di negeri Jerman katanya, yang menganut Protestan
itu, penduduknya yang menganut agama Protestan secara ekinomi lebih baik/lebih
kaya dibandingkan dengan penduduk yang menganut agama Katholik atau agama-agama
non Protestan lainnya. Anak-anak yang beragama dari keluarga-keluarga Protestan
justru menunjukan presentase keberhasilan yang lebih besar di dalam
sekolah-sekolah dagang dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga
Katholik dan non Protestan lainnya.
Tetapi barangkali juga kenyataan ini
dapat dibantah, demikian kata Weber selanjutnya. Artinya bahwa mungkin saja
dapat diajukan hipotesa yang menentang hipotesa di atas itu. Negara-negara
Inggris, Holland dan negara-negara lain yang secara ekonomi lebih baik
kehidupannya bukan karena mereka menganut ajaran Protestan, tetapi mereka lebih
baik. Atau mengambil contoh dari penelitian di Jerman, barangkali juga
keuluarga-keluarga kaya itu menjadi kaya bukan karena mereka menganut ajaran
Protestan tetapi mungkin juga bahwa ajaran Protestan tetapi mungkin juga bahwa
ajaran Protestan dianut oleh keluarga-keluarga kaya itu karena alasan kekayaan
atau karena memang mereka sudah kaya terlebih dahulu.
Tetapi hipotesa itu adalah salah
kata Weber. Buktinya kalau kita lihat di negara-negara yang mayoritas memeluk
ajaran Katolik atau ajaran non Protestan lainnya, orang-orang dari sekte
Protestan yang merupakan minoritas, justru amat terkenal karena kesuksesannya
di dalam bidang industri; karena ketrampilannya di dalam usaha-usaha dagang dan
peran mereka yang menonjol di dalam setiap aktifitas ekonomi.
Weber menganalisa Wirtschaftsethik
atau Etika Ekonomi dari suatu agama dari agama-agama lain seperti Confusianism,
Taoism, Hinduism, Budhaism, dan bahkan agama Judaism. Dia berkesimpulan bahwa
tradisi ajaran dan spirit dari masing-masing agama itu sangat berbeda dengan
Spirit Kapitalisme modern, dan ajaran serta spirit bertanggung jawab terhadap
keterbelakangan Kapitalisme dari negara-negara yang menganut agama-agama itu.
Kesimpulan ini dikucilkannya untuk sebagian penganut Judaisme, sebab dalam
beberapa hal, agama ini memiliki banyak persamaan dengan agama Kristen,
terutama dalam spriritnya.
Daftar Pustaka
Achmad, Fedyani. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Durkheim, Emile, 1947. The Elementary Forms of
Religious Life.
New York: Free Press.
_________,
1964. The Division of Labour in Society. New York: Free Press.
Haryanto. (tt). Herbert Spencer
(Modul Pembelajaran Universitas Terbuka). Jakarta: Universitas Terbuka.
Horton, Paul B. dan Hunt, Chester
L.1989.Sosiologi, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah
Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
Osborne,
Richard dan Borin Van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi for Beginners. Bandung. Mizan.
Paul, Johnson doyle.1986.Teori Sosioligi
Klasik Dan ModernI.Jakarta:PT Gramedia
Pickering,
Mary. 1993. Auguste Comte: an
Intellectual Biography. Vol. 1. Cambridge. Eng: Cambridge University Press.
Ritzer,
George dan Goodman, Douglas J. 2007.Teori Sosiologi Modern (Edisi VI).
Jakarta: Kencana.
———–. 2011. Teori
Sosiologi. Jil 6. Bantul: Kreasi Wacana
Schweber,
Silvan. 1991. Auguste Comte and the
Nebular Hypotesis.” Dalam R.T. Bienvenu dan M. Feingold (ed), in the presence of the past: Essay in Honor
of Frank Manuel. Dordrecht, Netherlands: Kluwer: 131-191.
Siahaan,
Hotman M. 1986. Pengantar Kearah
Sejarah dan Teori Sosiologi.
Jakarta. Erlangga.
Spencer,
Herbert. 1897. The Principles of Sociology Vol. 1 (Edisi III). New Yrok:
A. Appleton and Company.
Sukanto,
Soerjono. (1982). Teori Sosiologi tentang Pribadi dan Masyarakat.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
———–. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Press.
Veeger,
KJ.1992.Pengantar Sosiologi.jakarta:
Gramedia.
———–.1986.BAB
II.B. Herbert Spencer dan C. Darwinisme Sosial. Dalam KJ. Veeger. 1986. Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia.
[1] Pickering, Mary.
1993. Auguste Comte: an Intellectual
Biography. Vol. 1. Cambridge. Eng: Cambridge University Press.
[2] Pickering,
Mary. 1993. Auguste Comte: an
Intellectual Biography. Vol. 1. Cambridge. Eng: Cambridge University Press.
[3] Schweber, Silvan.
1991. Auguste Comte and the Nebular
Hypotesis.” Dalam R.T. Bienvenu dan M. Feingold (ed), in the presence of the past: Essay in Honor of Frank Manuel. Dordrecht,
Netherlands: Kluwer: 131-191.
[5] Ritzer, George dan Goodman, Douglas
J. 2007.Teori Sosiologi Modern (Edisi VI). Jakarta: Kencana.
[6] Sukanto, Soerjono. (1982). Teori
Sosiologi tentang Pribadi dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[12] Veeger, KJ.1992.Pengantar Sosiologi.jakarta: Gramedia
hal.80
[14] Haryanto. (tt). Herbert Spencer
(Modul Pembelajaran Universitas Terbuka). Jakarta: Universitas Terbuka.
[16] Haryanto. (tt). Herbert Spencer
(Modul Pembelajaran Universitas Terbuka). Jakarta: Universitas Terbuka.
[18] Ritzer, George dan Goodman, Douglas
J. 2007.Teori Sosiologi Modern (Edisi VI). Jakarta: Kencana.
0 Response to "Teori Sosiologi Klasik"
Post a Comment