Sosiologi Pariwisata (Keraton Yogyakarta)
Thursday, 10 October 2013
Add Comment
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Yogyakarta adalah tempat obyek wisata
yang tidak asing lagi dimata orang ataupun di berbagai manca Negara. Disitu
banyak berbagai tempat-tempat obyek pariwisata yang sangat penting, bersejarah
dan mempunyai keunikan tersendiri dengan ciri khasnya masing-masing.
Tempat-tempat obyek pariwisata tersebut misalnya: Monumen Jogja Kembali
(Monjali), Kraton Yogyakarta, Malioboro, Tamansari, dan lain sebagainya. Untuk itu kami mencoba menjabarkan berbagai
fenomena yang ada pada salah satu tujuan wisata di Yogyakarta, yaitu Kraton
Yogyakarta.
Di kawasan Kraton Yogyakarta ada
banyak fenomena yang bisa ditemui. Di sekitar Kraton dijumpai banyak pedagang
makanan, pedagang souvenir, pedagang batik, tukang parkir, tukang becak, dan
sebagainya. Mereka setiap harinya mencari pendapatan di sekitar Kraton
Yogyakarta. salah satunya masyarakat
sekitar yang ramah-ramah. Baik pemandu wisata, pedagang, tukang parkir pun
melayani pengunjung dengan ramah dan santun. Selain itu Kraton Yogyakarta juga
mempunyai keunikan tersendiri yang berupa peninggalan budaya yang menarik untuk
kita pelajari.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
deskripsi kawasan wisata Kraton Yogyakarta?
2. Bagaimana
sejarah dan perkembangan wisata Kraton Yogyakarta?
3. Apa
keunikan dari Kraton Yogyakarta?
4. Apa
pengaruh wisata Kraton Yogyakarta bagi masyarakat?
C.
Tujuan
Dengan dilakukannya observasi
lapangan dan pembuatan laporan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai kawasan wisata Kraton Yogyakarta, sejarah, perkembangan kawasan wisata, keunikan, dan pengaruh wisata Kraton
Yogyakarta bagi masyaraka.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
DESKRIPSI WISATA KRATON
YOGYAKARTA
Lokasi dan
Fasilitas
Kompleks
Kraton Yogyakarta terletak di pusat kota Jogjakarta, tepatnya persis di sebelah
selatan titik km 0 Kota Jogjakarta. Dari Tugu Jogjakarta, kita tinggal berjalan
lurus ke selatan, melewati Jalan Malioboro hingga memasuki gerbang utara
Keraton di Alun-Alun Utara Jogjakarta. Karena terletak di pusat kota
Jogjakarta, fasilitas dan akomodasi di sekitar kompleks Kraton Yogyakarta
sangatlah lengkap. Selain segala jenis hotel, dari mulai hotel berbintang
hingga hotel melati, dan segala jenis restoran/tempat makan, dari mulai
restoran mewah hingga angkringan (warung makan kaki lima khas Jogjakarta), kita
juga bisa belanja dengan segala macam cinderamata, pakaian, kerajinan, dan
makanan khas Jogjakarta di sepanjang Jalan Malioboro, di Pasar Beringharjo,
maupun di toko-toko di sekitar kompleks keraton. Semuanya tidak terlalu jauh
dari keraton dan bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik becak maupun andong.
Begitu pula dengan sarana transportasi dan komunikasi, semuanya dapat kita
peroleh dengan mudah. Kawasan wisata Kraton Yogyaakarta ini buka setiap hari
Senin hingga Minggu.
Kraton Yogyakarta (Jogja) atau sering
disebut dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terletak di jantung
provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta. Karena tempatnya berada di tengah-tengah
Jogja, dimana ketika di ambil garis lurus antara Gunung Merapi dan Laut Kidul,
maka Keraton menjadi pusat dari keduanya. Keraton atau Kraton Jogja merupakan
kerajaan terakhir dari semua kerajaan yang pernah berjaya di tanah jawa. Ketika
kerajaan hindu-budha berakhir kemudian di teruskan dengan kerajaan islam
pertama di Demak, lalu berdiri kerajaan yang lain seperti Mataram islam yang di
dirikan oleh Sultan Agung lalu berjalan dan muncul Keraton Jogja yang didirikan
oleh Sultan Hamengku Bowono I. Hingga sekarang, keraton Jogja masih menyimpan
kebudayaan yang sangat mengagumkan.
Dalam perkembangannya, Keraton Jogja
banyak mengalami masa pasang surut kepemimpinan dan terjadi perpecahan. Yang
paling terkenal adalah perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana kerajaan
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu wilayah timur yang sekarang menjadi Keraton Surakarta
dan wilayah barat yang disebut dengan Keraton Yogjakarta. Namun, Keraton Jogja
juga banyak menyimpan sejarah yang tak bisa dilupakan begitu saja oleh bangsa
Indonesia, termasuk dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Selain itu, Keraton Jogja sangat kental
dengan warisan budaya etnik jawa yang sangat menajubkan yang masih bisa di
temukan di sekitar dan dalam keraton sendiri. Ketika ke Keraton Jogja, maka
itulah gambaran sederhana tentang budaya dan keindahan tanah jawa. Semua hampir
terwakilkan dalam satu tempat yang menarik dan sangat memukau. Di Keraton masih
banyak menyimpan tentang berbagai kesenian, hasil budaya, ragam pakaian adat
dan bentuk rumah ala jawa yang indah. Di Keraton Jogja juga mempertunjukkan
bagaimana supelnya orang jawa dalam berkomunikasi dan bersapa dengan
semua orang yang datang disana.
Istana Jogja, sebagai representasi dari
budaya jawa bisa ditemukan ketika masuk ke dalam Keraton, seperti pergelaran
tari-tari jawa tentang berbagai cerita (babad tanah jawa, epic ramayana) yang
dipentaskan oleh penari yang handal dan mampu memukau menarik penonton seperti
terbawa suasana sakral yang sangat menghipnotis. Di iringi suara gemelan yang
mengalun indah bercampur dengan bait-bait jawa dilantunkan indah oleh pesinden
dan warangono Keraton Jogja. Selain tari, juga disajikan pentas wayang
orang yang sangat menarik untuk di lihat, wayang orang ini berbeda dengan
kebanyakan karena gerakannya hampir mirip dengan gerakan ballet. Pementasan
tari jawa tersebut dilakukan di tempat terbuka mirip dengan pendopo Keraton.
Melihat sudut Keraton yang lain seperti
Kedhaton, dimana kedhaton ini merupakan tempat bertemunya Raja dengan semua
pemangku Keraton. Dengan suasana bangunan joglo yang indah dengan beberapa
ornamen jawa yang menghiasi di setiap tembok dan pilar, juga berbagai macam
tanaman rindang menambah suasana sakral jawa lebih sejuk dan menarik.
Pilar-pilar yang berjajar sedemikian rupa menambah gagah dan kuatnya Keraton
Jogja waktu itu. Beberapa bangunan taman juga menghiasi setiap sudut komplek
Kedhaton Keraton Jogja. Ada yang menarik dikomplek Kedhaton tersebut, ketika
masuk pintu area Karaton maka akan selalu bertemu dengan para penjaga (pekerja
khusus) Keraton atau yang biasa di sebut dengan Abdi Dalem. Abdi
Dalem tersebut tidak boleh atau dilarang untuk mungkur (ina: membelakangi
Kedhaton). Jadi sang Abdi Dalem akan selalu menghadap ke arah
Kedhaton, bukan membelakangi kedhaton. Kedhaton merupakan simbol Raja, disana
tempat Raja duduk dan begitulah salah satu cara untuk menghormati kepada Raja.
Didalam Keraton juga disajikan berbagai
budaya jawa yang indah seperti batik yang merupakan warisan budaya jawa yang
sudah diakui secara internasional. Beberapa lukisan, keris, foto raja-raja
jawa, silsilah raja jawa, dan berbagai hasil budaya jawa. Ketika masuk di rumah
batik, disana dilarang untuk memotret. Karena semua motif batik disana
merupakan ciri Keraton Jogja yang merupakan simbol dari istana jawa yang hanya
boleh dicetak dan dipakai di lingkungan istana saja. Beragam motif batik istana
sangat menarik memang, desain yang khas dan berbeda dengan kebanyakan batik.
Beberapa alat gamelan juga ditampilkan
di Istana Jogja, gamelan berasal dari kata gamel yang berarti memukul.
Gamelan sendiri merupakan alat musik khas jawa dimana permainan musik ini
dilakukan dengan mengunakan alat seperti kenong, kempul, kendhang, gong,
suling, kecapi dan lain sebagainya. Gamelan sendiri dimainkan bersama penyanyi
yang disebut dengan Sinden (perempuan) atau Warangono
(lelaki) seperti yang di pentaskan ketika masuk ke komplek Istana Jogja dimuka. Ketika
memasuki ruang lukisan, banyak dijumpai lukisan bersejarah seperti raja-raja
jogja, istri dan anak-anak raja jogja, lukisan tentang kemerdekaan, dan
berbagai macam pengambaran tentang keraton.
B. SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN KAWASAN WISATA KRATON YOGYAKARTA
Sejarah
Asal mula
Kasultanan Jogjakarta diawali ketika pada tahun 1558 M Ki Ageng Pamanahan
mendapatkan hadiah sebuah wilayah di Mataram dari Sultan Pajang karena jasanya
telah mengalahkan Aryo Penangsang. Pada tahun 1577, Ki Ageng Pemanahan yang
tetap selalu setia pada Sultan Pajang sampai akhir hayatnya, membangun
istananya di Kotagede. Penggantinya, Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan,
berbeda dengan ayahandanya. Sutawijaya menolak tunduk pada Sultan Pajang dan
ingin memiliki daerah kekuasaan sendiri bahkan menguasai Jawa.
Setelah
memenangkan pertempuran dengan Kerajaan Pajang, pada tahun 1588, Mataram
menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan yang bergelar Panembahan
Senopati. Kerajaan Mataram mengalami perkembangan pesat pada masa kekuasaan
Sultan generasi keempat, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Setelah Sultan Agung
wafat dan digantikan putranya, Amangkurat I, Kerajaan Mataram mengalami konflikinternal/konflik
keluarga yang dimanfaatkan oleh VOC hingga berakhir dengan Perjanjian Giyanti
pada bulan Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta. Dalam perjanjian tersebut, dinyatakan
Pangeran Mangkubumi menjadi sultan Kasultanan Jogjakarta dengan gelar Sri
Sultan Hamengku Buwana I. Sejak tahun 1988 hingga sekarang, Kasultanan
Jogjakarta dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwana X.
Keraton
Jogjakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca
Perjanjian Giyanti. Lokasi keraton konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang
bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan
jenazah raja-raja Mataram yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain
menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang
ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Jogjakarta, Sultan
Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk
wilayah Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Lokasi Keraton Jogjakarta berada
di antara Sungai Code di sebelah timur dan Sungai Winongo di sebelah barat
serta Panggung Krapyak di sebelah selatan dan Tugu Jogja di sebelah utara.
Lokasi ini juga berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan dan Gunung
Merapi.
C.
KEUNIKAN KRATON
YOGYAKARTA
Kata keraton
berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Secara
fisik istana para Sultan Yogyakarta ini memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan
Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Secara garis besar wilayah keraton
memanjang 5 km ke arah selatan hingga Panggung Krapyak dan 2 km ke utara
berakhir di Tugu. Pada garis ini terdapat garis linier dualisme terbalik. Bisa
dibaca secara simbolik filosofis bahwa dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton
(Kompleks Kedhaton) menunjukkan "sangkan", yaitu asal mula
penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari
kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal
dari kata "wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I.
Panjaitan ditanami pohon asam dan pohon tanjung yang melambangkan masa
anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedhaton)
menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya.
Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh
langkah/gerbang menuju surga (seven steps to heaven). Sedangkan dari
Keraton menuju Tugu juga diartikan sebagai jalan hidup yang penuh godaan. Pasar
Beringharjo melambangkan godaan wanita, sedangkan godaan akan kekuasaan
dilambangkan lewat Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di sebelah kanan. Jalan
lurus itu sendiri sebagai lambang manusia yang dekat dengan Pencipta (Sankan
Paraning Dumadi). Secara sederhana, Tugu adalah perlambangan Lingga
(laki-laki) dan Panggung Krapyak perlambangan Yoni (perempuan). Sedangkan
Keraton sebagai jasmani yang berasal dari keduanya.
Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil
atau Bangsal Kencana (tempat singgasana raja), terletak dalam garis lurus. Hal
ini mengandung arti, ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang ke arah
Tugu, maka beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti).
Tatanan Keraton sama seperti Keraton Dinasti Mataram pada umumnya. Bangsal
Kencana yang menjadi tempat raja memerintah –menyatu dengan Bangsal Prabayeksa
sebagai tempat menyimpan senjata-senjata pusaka Keraton (di ruangan ini
terdapat lampu minyak Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak
padam)— berfungsi sebagai pusat. Bangsal tersebut dilingkupi oleh pelataran
Kedhaton, sehingga untuk mencapai pusat, harus melewati halaman yang
berlapis-lapis menyerupai rangkaian bewa (ombak) di atas lautan. Tatanan
spasial Keraton ini sangat mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu
Dwipa, yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya.
Bangunan-bangunan
Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di
beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis,
Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berkonstruksi Joglo
atau turunan konstruksinya. Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari
halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta
pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain
dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang
biasanya bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal.
Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang
disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat
ornamen yang khas.
Keraton
diapit dua alun-alun yaitu Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan. Masing-masing
alun-alun berukuran kurang lebih 100×100 meter. Sedangkan secara keseluruhan
Keraton Yogyakarta berdiri di atas tanah seluas 1,5 km persegi. Bangunan inti
keraton dibentengi dengan tembok ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur
sangkar (1.000 x 1.000 meter). Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu
gerbang lengkung yang disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang plengkung (dua
di antaranya masih masih bisa kita saksikan hingga kini) yaitu Plengkung
Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut, Plengkung Jogosuro
atau Plengkung Ngasem di sebelah barat daya, Plengkung Joyoboyo atau Plengkung
Tamansari di sebelah barat, Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah
selatan, dan Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur.
Di dalam benteng, khususnya yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan
kecil yang berfungsi untuk mobilisasi prajurit dan persenjataan. Sedangkan
sebagai pertahanan, pada keempat sudut benteng dibuat bastion (tiga di
antaranya masih bisa kita saksikan hingga kini) yang dilengkapi dengan lubang
kecil yang berfungsi untuk mengintai musuh.
Di dalam
bangunan benteng, selain ada bangunan keraton tempat tinggal Raja, di
sekitarnya juga ada sejumlah kampung sebagai tempat bermukim penduduk, yang
pada zaman dulu merupakan abdi dalem keraton, namun pada perkembangan berikutnya,
hingga sekarang, orang yang tinggal di dalam benteng keraton tidak harus
sebagai abdi dalem. Nama-nama kampung di dalam "njeron beteng"
(wilayah dalam benteng) mempunyai sejarahnya sendiri dan masing-masing berbeda.
Sebagai contoh gamelan, dahulu merupakan tempat tinggal para abdi dalem yang
bekerja sebagai gamel (pemelihara kuda), siliran (pemelihara
lampu/alat penerangan), nagan (niyagan/penabuh gamelan), matrigawen
(penjaga keamanan lingkungan keraton), patehan (pembuat dan penyedia teh), kenekan
(dari kata Bahasa Belanda knecht/pembantu, untuk menyebut para abdi dalem yang
membantu kusir/sais kereta kuda), Langenastran (tempat tinggal kesatuan
prajurit Langen Astra yang bertugas sebagai pengawal Sultan), Suryaputran (tempat
tinggal Pangeran Suryaputra, putra Sultan Hamengku Buwana VIII), Kauman
(tempat tinggal para Kaum/pemimpit umat Islam), rotowijayan (tempat menyimpan
dan memelihara kereta kuda milik keraton), tamansari (tempat tinggal para istri
dan puteri raja yang belum menikah), dan seterusnya.
D. PENGARUH
WISATA KRATON YOGYAKARTA BAGI MASYARAKAT
Dampak
Positif:
1. Wilayah
Kraton tidak esklusif dan tidak terkesan tertutup dengan masyarakat, karena
jadi tempat wisata.
Kraton yang dulunya
hanya merupakan sebuah kerajaan, dan bukan merupakan tempat umum kini menjadi
tempat tujuan pariwisata yang mempunyai ciri khas tersendiri.Bahkan banyak
wisatawan dari mancanegara yang tertarik mengunjungi Kraton Yonyakarta.
2. Masyarakat
semakin cinta terhadap peninggalan budaya.
Dengan mengunjungi
Kraton Yogyakarta, maka kita akan lebih mengenal dan mengetahui berbagai
peninggalan-peninggalan bersejarah yang patut kita lestarikan.
3. Menghidupkan
sendi-sendi ekonomi di masyarakat sekitar.
Dengan adanya wisata
Kraton Yogyakarta, banyak masyarakat yang mencari nafkah di sekitar kawasan
kraton. Misalnya saja banyak pemandu wisata, pedagang makanan, pedagang
souvenir, pedagang batik, tukang parkir, tukang becak, dan sebagainya.
4. Menambah
devisa negara dan pendapatan asli daerah.
Dampak
Negatif:
1. Muncul
banyaknya pengemis yang ada di sekitar kawasan wisata.
2. Ketika
pengendalian dan pengawasan kurang, maka lingkungan menjadi semrawut, kotor,
karena pengelolaan daerah wisata kurang baik.
Teori Fungsionalisme-
Strukturalisme
Teori struktural-Fungsionalis termasuk
dalam teori konsensus, yang dipelopori oleh Herbert Spencer, Emile Dukheim,
Redclirre. Brown, Talcott Parson, dan Robert Marton. Teori konsensus memandang
masyarakat sebagai suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan, yang dipelihara oleh suatu mekanisme keseimbangan.
Teori Fungsionalisme-Strukturalisme
melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai suatu sistem dari
interaksi anatar manusia dan berbagai institusinya, dan segala sesuatunya
disepakati secara konsensus, termasuk dalam hal nilai dan norma. Teori
Fungsionalisme menekankan pada harmoni, konsistensi, dan keseimbangan dalam
masyarakat.
Teori Fungsionalisme sebagai mana
diungkapkan oleh Durkheim, menggunakan analogi bahwa masyarakat sama dengan
organisme dimana setiap organ mempunyai fungsi tertentu yang menjamin
keberlanjutan masyarakat secara harmonis. Kalau organisme harus dilihat secara
keseluruhan, maka demikian pula halnya dengan masyarakat, tidak bisa dilihat
secara parsial.
Beberapa asumsi pokok Teori
Fungsionalisme-Strukturalisme adalah sebgai berikut:
1. Masyarakat,
sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang
interdipendent. Masing-masing bagian mempunyai fungsi-fungsi tertentu, yang
berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan.
2. Setiap
elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan dengan fungsi-fungsi dan
peranannya terhadap sistem, serta dilihat apakah subsistem tersebut berfungsi
atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu subsistem.
Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi yang seharusnya.
3. Kalau
suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem tersebut akan
stabil.
4. Berfungsinya
masing-masing bagian (subsistem) dalam suatu sistem, akan menyebabkan sistem
ada dalam keadaan equilibrium. Masyarakat yang equilibrium adalah masyarakat
yang stabil, normal, karena semua faktor yang saling bertentangan telah
melakukan keseimbangan (Talcott Parsons).
5. Apabila
terjadi disfungsi pada suatu bagian, maka akan terjadi kondisi abnormal,
sehingga keadaan equilibrium terganggu (Merton, 1957). Tetapi berfungsi atau
disfungsinya suatu elemen sosial pada akhirnya akan menghasilkan equilibrium
baru, dalam proses self-regulation
(Mennel, 1980).
6. Masing-masing
elemen sosial mempunyai fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest
adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak
dirancang, tidak diharapkan, atau tidak disadari (Merton, 1957).
Kaitan
Teori
Kaitan antara teori
Fungsionalime-Strukturalisme dengan Kraton Yogyakarta bisa terlihat dengan
adanya struktur dalam kraton, yang mana masing-masing menjalankan fungsinya,
sesuai dengan fungsi yang seharusnya dilaksanakan. Hal ini bisa dijelaskan
sebagai berikut:
Berdasarkan peraturan yang
dibuat oleh raja Mataram yaitu Amangkurat, yang kemudian dilengkapi oleh
Paku Buwana X, terdapat lima tingkatan dalam hiererki kebangsawanan yaitu:
1. Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti.
2. Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3. Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana
4. Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5. Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula warga
1. Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti.
2. Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3. Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana
4. Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5. Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula warga
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menunjukkan bahwa istana
(keraton) menjadi pusat kehidupan tradisional Masyarakat Jawa. Sehingga dapat
dikatakan Pusat dari segala kebudayaan Jawa yang terkenal adiluhung itulah di
kota Yogyakarta dengan pusatnya Kraton Yogyakarta. Di Kraton ini terdapat
berbagai struktur sosial yang sangat jelas dengan Raja sebagai pimpinan
struktur paling atas. Hal ini seperti disampaikan oleh Abdurrachman (2000
: 27) yaitu bahwa di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terdapat sebuah sistem
yang terbentuk dari komponen-komponen sesuai dengan susunan-susunan kelas yang
terdiri dari :
a. Lapis pertama: Sultan.
Sultan bertugas sebagai kepala pemerintahan yang berkuasa di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
b. Lapis kedua : Kerabat Keraton atau Sentana Keraton.
Kerabat Keraton merupakan keturunan dari Raja yang mempunyai keistimewaan dalam bidang-bidang tertentu.
c. Lapis ketiga : Pekerja Administrasi Kasultanan maupun pemerintahan (Abdi Dalem atau Kaum Priyayi).
Abdi Dalem bertugas sebagai pegawai Keraton yang bekerja sesuai dengan jenjang kepangkatan atau gelar mereka.
d. Lapis keempat : Golongan Wong Cilik.
Golongan wong cilik merupakan rakyat biasa yang patuh dan hormat terhadap Raja.
Raja di pandang sangat sacral dan tidak setiap rakyat kecil (wong cilik) atau masyarakat umum dapat secara bebas bertemu dengan raja. Dilihat dari struktur tersebut Abdi dalem menempati lapis ketiga. Posisi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan wong cilik. Bagi mereka menjadi abdi dalem adalah sebuah kebanggan karena mampu secara langsung dapat mengabdi kepada raja. Menurut mereka abdi dalem merupakan suatu pengabdian yang dituturkan sebagai abdining kanjeng sinuwun, yaitu abdinya Sultan, dan dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan kepada Sultan dan penguasa alam ini, setia terhadap yang menguasai keadaan alam ini dan setia dengan penguasa yang dapat diartikan sebagai Raja KeratonYogyakarta. Abdi dalem Kraton sudah ada dan melayani Sultan sejak berdirinya kerajaan ini.
Raja sebagai
pemimpin tidak melihat abdi dalem sebagai hubungan antara pimpinan dan bawahan,
melainkan abdi dalem sebagai seseorang yang mengabdi kepada budayanya.
Pesan ini dapat ditemukan dicorak pakaian Pranakan yang dikenakan oleh
mereka. 188 tahun yang lalu ketika Sri Sultan Hamengkubuwana V(1820-1855)
menciptakan pakaian untuk para abdi. Warna biru tua yang melekat, dengan
corak garis vertikal berjumlah tiga dan empat garis memiliki makna dalam.
Garis berjumlah tiga dan empat memiliki arti Telupat yang bermakna Kewuluminangka
Perpat yang artinya di rengkuh dan disaudarakan dalam satu kesatuan di
kerajaan. Sifat persaudaraan yang diharapkan adalah persaudaraan sesama
abdi dalem dan persaudaraan dengan Sri Sultan raja mereka. Abdi ingin
merasa dekat dengan raja mereka, ini disimbolkan dengan pakaian pranakan yang
berwarna biru tua yang artinya memiliki tekat yang kuat dan kesungguhan hati
dalam pengabdian terhadap raja mereka. Melihat pakaian badi dalem tersebut
merupakan symbol bagaimana mereka dengan keikhlasan mengabdi kepada raja.
Abdi dalem juga mempunyai tingkatan dan struktur organisasi
dan pembagian tugas diantara mereka. Para abdi dalem bekerja dibawah koordinir
Pengageng. Pengageng membawahi personalia dari setiap tepas (kantor) dan caos
(piket). Struktur sistem tersebut menunjukkan bahwa permasalahan yang ada di
Keraton cukup banyak dan rumit. Oleh karena itu dibuat koordinator yang
masing-masing membawahi bagian kerja yang saling berkaitan. Masing-masing
bagian itu memiliki carik (sekretaris) yang bertugas dalam :
• Mengelola pembagian gaji
• Mengelola absensi
• Mengelola jalannya bagian kerja
• Menerima dan melayani tamu
• Melaksanakan tugas dan kesekretariatan
Masing-masing Kawedanan Hageng, tepas dan koordinator
dipimpin oleh kerabat Sultan. Sementara itu, pelaksana tugas masing-masing
kawedanan dan tepas tersebut dilaksanakan oleh pegawai Keraton yaitu Abdi
Dalem. Dalam struktur organisasi tersebut, masing-masing komponen memiliki
tugas. Tugas- tugas itu dikerjakan dengan ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab
terhadap pemimpinnya yaitu Sultan. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta jumlahnya
mencapai ribuan orang bahkan lebih dengan berbagai tugas dan pengabdiannya
masing-masing. Oleh karena itu Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dibagi dalam
beberapa jenis serta tugasnya (Afrianto, 2002 : 40), yaitu :
1. Abdi Dalem Punokawan
Yaitu Abdi Dalem yang berasal dari rakyat biasa bukan Pegawai Pemda DIY. Mereka sengaja ingin mengabdikan diri di Keraton Yogyakarta dan Sri Sultan.
Abdi Dalem Punokawan dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Abdi Dalem Punokawan Sowan
b. Abdi Dalem Punokawan Caos
2. Abdi Dalem Keparak
Yaitu Abdi Dalem perempuan yang umumnya menunaikan
kewajibannya di Keraton kilen (keputren). Abdi Dalem Keparak umumnya bertugas
menyiapkan piranti seperti sesaji kalau ada acara-acara Upacara Keraton.
Abdi Dalem bekerja dengan prinsip sukarela, artinya mereka mau melakukan pekerjaan apa saja atas kemauan sendiri dengan gaji yang sangat kecil. Mereka bekerja di Keraton dengan prinsip rame ing gawe sepi ing pamrih untuk mendapat berkah dalem. Sehingga dengan kata lain mereka tidak mengukur pengabdian mereka dari aspek material. Secara lahiriah jika dilihat besar gaji Abdi Dalem dari Keraton tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Abdi Dalem dan keluarga, tetapi mereka tetap mau bekerja di Keraton. Gaji yang diterima mereka berkisar Rp. 15.000,-Rp. 50.000.
Abdi Dalem bekerja dengan prinsip sukarela, artinya mereka mau melakukan pekerjaan apa saja atas kemauan sendiri dengan gaji yang sangat kecil. Mereka bekerja di Keraton dengan prinsip rame ing gawe sepi ing pamrih untuk mendapat berkah dalem. Sehingga dengan kata lain mereka tidak mengukur pengabdian mereka dari aspek material. Secara lahiriah jika dilihat besar gaji Abdi Dalem dari Keraton tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Abdi Dalem dan keluarga, tetapi mereka tetap mau bekerja di Keraton. Gaji yang diterima mereka berkisar Rp. 15.000,-Rp. 50.000.
Disana kita melihat abdi dalem yang bertugas sebagai guide.
Abdi Dalem guide di Keraton berbeda dengan guide yang berada ditempat wisata
pada umumnya, karena kebanyakan mereka memandu pengunjung dengan penuh ikhlas
tanpa mengharap imbalan. Dan jika ada pengunjung yang memberi uang tip untuk
Abdi Dalem guide maka mereka akan menerima apa adanya tanpa meminta tambahan
lagi. Semua itu karena pengabdian yang tulus, walaupun mereka harus mendapat
tambahan jam kerja. Pakaian yang digunakan oleh abdi adlem adalah pakaian
beskap. Adapun pakaian yang digunakan ketika mengahdap raja dijelaskan oleh
Margana yaitu :
1. Pakaian abdi dalem punakawan yang mengahadap pada hari senin-kamis atau harian adalah baju beskap atau pranukan atau embagi. Pada saat pasowanan senin kamis baju pranakan sembagi dibuka.
2. Abdi para bendoro pangeran atau lainya yang ikut mengahdap masuk berpakaian kulukan , baju sikepan kampuhan dan diijinkan memakai keris. Kampuhan diijinkan memakai keris apabila kulukan baju jawa diperbolehkan memakai keris . (margana 2004 : 97)
Ketika mengunjungi keraton abdi dalem memakai pakaian beskap dan blangkon khas Yogyakarta. Mereka tidak memakai sandal melainkan beralas kaki ketika memandu para wisatawan. Bagi mereka pasir di keraton itu suci.
Bahasa yang digunakan abdi dalem guide adalah bahasa
Indonesia karena tidak semua pengunjung mengerti bahasa jawa. Sedangkan bahasa
yang diucapka kepada Raja adalah bahasa Jawa yang tingkatanya sangat tinggi
yakni bahasa jawa kromo alus.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kraton Yogyakarta merupakan salah
satu wisata yang menarik di Yogyakarta, karena mempunyai nilai sejarah,
keunikan, dan berbagai peninggalan- peninggalan budaya.
Dalam kaitannya dengan teori, Kraton
Yogyakarta cenderung sesuai dengan teori Fungsionalisme-Strukturalisme. Hal ini
bisa terlihat dengan adanya struktur dalam kraton, yang mana masing-masing
menjalankan fungsinya sesuai dengan fungsi yang seharusnya dilaksanakan.
Saran
Kami
selaku penyusun makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan
makalah ini kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
I
Gede Pitana, dan Putu G.Gytri. 2005. Sosiologi
Pariwisata. Yogyakarta: Andi.
0 Response to "Sosiologi Pariwisata (Keraton Yogyakarta)"
Post a Comment