KULIAH KERJA LAPANGANKU YANG PENUH TANDA TANYA? (Masyarakat Baduy, LP Wanita Tangerang, & BNN, Bogor)
Wednesday, 7 January 2015
Add Comment
KULIAH KERJA LAPANGANKU YANG PENUH TANDA TANYA?
(Baduy, LP wanita Tangerang, PSK, Balai rehabilitasi
besar BNN)
Senin
24 november 2014, dimana seperti biasanya aku bangun jam setengah 5, lalu
menonton berita di televise, tetapi pagi ini ada yang sedikit berbeda, karena
hari ini aku akan pergi ke banten dan jawa barat untuk melakukan Kuliah Kerja
Lapangan (KKL) jurusan pendidikan sosiologi yang ke 3, aku mulai mempersiapkan
segala sesuatu yang kuperlukan dalam perjalanan nanti, tak lupa yang terpenting
adalah doa dari kedua orang tua.
Pagi
itu kami semua berkumpul di rektorat UNY pukul 08:00 WIB, tetapi kami baru
berangkat menuju banten pukul 09:15 WIB, pada pukul 13:30 kami sampai di rumah
makan jatilawang untuk istrahat siang, makan siang, dan sholat bagi yang
menjalankannya. Setelah semuya selesai kami melanjutkan perjalanan ke banten
tepatnya di suku Baduy, sekitar jam 04:30 pagi kami sampai di rangkasbitung,
kami pun istrahat untuk sholat, perjalanan menuju ke Baduy tinggal 1 jam lagi,
kami semua bersemangat, karena ini adalah pengalaman pertama untuk kami bisa
mengunjungi suku yang masih pedalaman. Saya pribadi ingin sekali sampai di
Baduy dan melakukan serta melihat dan mengamati aktivitas masyarakat
Baduy, ketika perjalanan hampir sampai
di terminal Ciboleger, salah satu dari bis yang kami tumpangi mengalami kendala
ketika ingin melintasi jembatan, roda belakangnya tergelincir dan hampir jatuh,
tetapi karena kuasa dari Tuhan sehingga bisa selamat dan tidak terjadi apa-apa.
Hanya saja karena hal itu, kami harus menunggu lama untuk mengevakuasi bis
tersebut, setelah satu jam proses evakuasi tidak membuahkan hasil, akhirnya
kami diangkut dengan kendaraan mini bus menuju terminal, diterminal kami harus
menunggu kurang lebih 2 jam.an hingga akhirnya bis bisa dievakuasi, dan kami
bisa mengambil barang-barang kami.
Sekitar
pukul 10:40 kami berjalan menuju ke desa Baduy luar tepatnya di desa Gajeboh,
perjalanan ditempuh dalam waktu 1 ½ jam, kami harus naik turun bukit, dan butuh
perjuangan, apalagi setelah kami jenuh harus menunggu 3 jam tanpa kepastian
tentang bis yang terkendala tadi.
Setelah
sampai di desa Gajeboh, kami beristirahat sebentar untuk menunggu rombongan
dari kelas A, dan setelah rombongan sampai semua, yang akan berangkat ke Baduy
dalam dikumpulkan untuk makan siang terlebih dahulu, setelah kami makan siang,
kami ditemani beberapa anak-anak serta orang Baduy dalam serta Tour Gate kami,
melanjutkan perjalanan menuju ke Baduy dalam, perjalanan dimulai sekitar pukul
13:15 selama perjalanan saya menemukan banyak hal yang menarik, hutan yang
masih asri, jalan yang naik turun bukit, melintasi sungai, dengan
jembatan-jembatan buatan masyarakat disana, jembatan tersebut memang hanya
menggunakan bambu yang diikat dengan tali tambang, ya disitu memang masih daerah
baduy luar, maka wajar jika sudah menggunakan kemajuan zaman seperti tali yang
terbuat dari plastik, tetapi selama perjalanan ada yang aneh menurut saya,
ketika saya menyapa masyarakat yang kami lewati, kebanyakan dari mereka tidak
menanggapi sapaan saya, padahal saya sudah menyapa dengan Bahasa sunda “punten
teh/aa” tetapi mereka seperti menganggap kami tidak ada disitu, hal ini bukan
hanya sekali duakali terjadi, tetapi banyak kali ketika saya menyapa dan
tanggapan dari mereka sama saja, yaitu mengabaikan dan menganggap saya tidak
ada, mulai timbul pertanyaan di dalam diri saya mengapa mereka seperti itu,
(dalam benak saya, saya berfikir mungkin adat mereka melarang mereka untuk
berinteraksi dengan orang luar), ketika ada orang yang duduk di depan rumah,
saya mencoba kembali untuk menyapanya, kali ini mereka senyum kepada saya, dan
menjawab sapaan saya, disitu timbul kembali pertanyaan di dalam diri saya, jika
banyak yang mengacuhkan sapaan saya, kenapa ada yang mau menjawab sapaan saya?
Sampai saat ini pertanyaan ini belum dapat saya temukan jawabannya, waktu yang
saya miliki selama saya berada di Baduy terlalu singkat untuk saya dapat
menyimpulkan mengenai hal ini.
Selain
banyak hal baru yang saya temui disana, saya juga tertarik ketika saya melihat
tanaman disekitar saya berjalan, ternyata mereka menanam padi di gunung, setahu
saya padi ditanam di sawah atau dataran rendah, tetapi baru kali ini saya
melihat padi ditanam di pegunungan, saya berfikir bagaimana jika padi tersebut
membutuhkan pengairan? Saya rasa mereka punya adat atau kebiasaan bercocok
tanam yang menarik untuk diteliti. Selama perjalanan yang kurang lebih menempuh
waktu 4 jam, saya menemukan banyak hal yang menarik mulai dari pemandangan yang
indah, hingga sifat dari mahasiswa-mahasiswi sendiri, ada yang manja, ada yang
pantang menyerah, hingga ada yang mudah putus asa.
Ditengah-tengah
perjalanan saya dikejutkan dengan suara gemuruh mirip helikopter atau kendaraan
mobil dengan kenalpot besar, ketika saya melihat keatas bukit tidak ada apa-apa
selain sebuah kincir angin dengan ekor dibelakang kincir tersebut, saya
tertarik ternyata bunyi gemuruh tersebut berasal dari kincir tersebut, saya
bertanya kepada orang Baduy dalam yang bersama rombongan kami, apa fungsi dari
kincir angina tersebut, beliau menjawabnya dan hanya berkata bahwa kincir
tersebut hanya untuk hiburan maysrakat dan anak-anak suku baduy saja. Dalam
hati saya berpendapat bahwa “oh ternyata memang suku ini masih sangat
pedalaman, hingga mainan anak-anaknyapun hanya seperti itu, dan mereka sudah
menyebutnya sebagai hiburan”.
Ketika
kami melampaui tanjakan yang paling tinggi dengan kemiringan kurang lebih 75˚
saya bertanya kepada bapak suku Baduy, “pak apakah masih lama?” dan beliau
menjawab “tinggal sebentar lagi sampai kok”, dalam hati saya sangat senang
karena saya sudah cape apalagi saya membawa 3 tas, karena saya membantu
teman-teman perempuan yang tidak kuat membawa tasnya, tetapi karena hujan turun
dengan lebat, kami memutuskan untuk berhenti sejenak melepas lelah serta
menunggu hujan agak reda, kami beristirahat disebuah rumah, kami juga diberi
timun dari baduy, rasanya seperti timun pada umumnya namun bedanya jika kita
memakan bijinya maka rasanya akan asam, kami makan itu disertai dengan gula
aren. Ketika hujan tak kunjung reda, kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan dengan memakai jas hujan yang saya bawa, saya melanjutkan
perjalanan, namun alangkah kagetnya saya, karena setelah berjalan kurang lebih
30 menit, kami belum juga sampai di suku Baduy dalam tersebut, kaki saya sudah
kram karena terus-terusan berjalan dengan beban berat dan ditambah dinginya air
hujan yang membasahi kaki.
Hari
semakin gelap, hingga akhirnya kami sampai di sebuah jembatan yang menuju ke
sebuah desa kecil, perasaan haru, bercampur keringat, serta dinginya air hujan
menjadi satu, kami sampai di sebuah desa di Baduy dalam bernama desa Cibeo,
lalu kami menuju rumah tempat kami bermalam, perempuan dengan perempuan dan
laki-laki dengan laki-laki, setelah itu saya dan beberapa teman laki-laki
menuju kesebuah pancuran dimana kami akan mandi disitu, kami mandi
bersama-sama, sebuah pengalaman baru, mandi ditempat terbuka, dengan hanya
berbalut kain kecil, hehe..
Setelah
selesai mandi, kami kembali kerumah dimana kami bermalam, saya mencoba
bertanya-tanya tentang suku baduy dalam ini kepada seorang ibu bernama mira (20)
tahun istri dari bapak juli (38), mereka mempunyai seorang anak perempuan
bernama jamah (3). Mereka sudah menikah selama 7 tahun, hal itu berarti teh
mira menikah sejak umur 13 tahun, disana anak-anak tidak boleh pacaran, jadi
pernikahan dilakukan dengan sistem penjodohan. Disanapun menikah menggunakan
adat dan tidak ada catatan sipil, orang baduy dalam harus menikah dengan orang
baduy dalam sendiri.
Saya
mengawali bertanya tentang apa saja yang biasanya dilakukan ibu mira ketika
dirumah, dia menjawab biasanya kalau dirumah itu ya dikebun, mengurusi tanaman,
setelah itu masak dirumah, ibu mira biasanya menanam padi dan buah-buahan, seperti
pisang dan durian. Dalam mengelola tanah, suku baduy dalam menggunakan sistem gantian
dalam pengolahan tanah, jadi tidak ada kepemilikan tanah, disana tanah diolah
oleh setiap orang secara bergantian. Disana setiap akan panen ada upacara
khusus terlebih dahulu, mereka bertanipun menggunakan pupuk organik buatan
masyarakat baduy sendiri. Saya penasaran dengan adat dan kebiasaan suku Baduy,
karena dalam banyak referensi yang saya baca, suku ini masih sangat asli, tidak
mau mengikuti perkembangan yang ada. Oleh karena itu saya penasaran dan
bertanya, jika di dalalm suku Baduy dalam, alat transaksi ekonominya seperti
apa, apakah barter atau bagaimana? Saya terkejut dengan jawaban ibu mira,
karena dia berkata bahwa di Baduy dalam menggunakan mata uang rupiah sama
seperti kebanyakan orang Indonesia, (dalam hati saya berpendapat, wah kalo
kaya gini berarti bukan suku pedalaman
lagi), kemudian saya melanjutkan pertanyaan saya, oh berarti hasil dari kebun
seperti pisang, durian, dan padi dijual di Ciboleger bu? Dia menjawab, iya mas
pisang sama durian dijual disana, kalau padi hanya untuk makan sendiri, jadi
kami simpan di lumbung, karena penasaran saya melanjutkan pertanyaan, bu lalu
uang yang ibu dapat digunakan untuk apa? Beliau menjawab bahwa uangnya digunakan
untuk membeli peralatan dapur seperti wajan, dandang, termasuk juga membeli
bahan kain pakaian yang mereka gunakan. (dalam hati lagi-lagi saya
bertanya-tanya, berarti selama ini mereka juga sudah mengikuti perkembangan
zaman dong, berarti mereka tidak menutup diri dari kemajuan teknologi dong, wah
berarti selama ini banyak informasi salah kaprah yang beredar di media massa), ketika
saya bertanya-tanya kepada bu mira, ada hal menarik yang saya dapati disitu,
yaitu ketika jamah (3) menggunakan dan bermain bedak bayi yang banyak digunakan
anak-anak seumuranya (bedaknya sih kaya bedak Cussons Babby gitu, bahkan persis
seperti itu) dia memakai bedak tersebut lalu dioleskannya ketubuhnya, (lagi-lagi,
kali ini dugaanku semakin menguat, bahwa sebenarnya masyarakat Baduy dalam
sendiri sudah mengalami perubahan yang drastis, buktinya mereka sudah
menggunakan banyak produk-produk dari kemajuan zaman, wah kalo kaya gini mah
namanya mereka gak menutup diri dari kemajuan zaman).
Ketika
saya melihat sekeliling ruangan saya terkejut lagi ketika melihat bahwa ada
lilin disitu (lagi-lagi dan lagi, dalam hati saya berpendapat, “menutup diri
dari kemajuan teknologi? Lha itu lilin apa bukan produk dari kemajuan?” saya
kembali mempertanyakan kedalam diri saya, apakah benar baduy adalah suku
pedalaman yang benar-benar tidak mau menerima kemajuan zaman? Saya rasa ITU
TIDAK, banyak hal sepele yang saya rasa mereka sudah menggunakan kemajuan zaman
tersebut).
Saya
melanjutkan pertanyaan kembali, saya bertanya kemana aa juli kok tidak ada
dirumah, beliau menjawab, aa lagi pergi ke Jakarta untuk menjual madu, biasanya
kalo pergi ke Jakarta gitu 15 harian baru pulang, karena perjalanan dari Baduy
dalam ke Jakarta saja memakan waktu 3 hari jalan kaki, di suku Baduy, ada
larangan bagi orang Baduy dalam menggunakan kendaraan atau transportasi, jika
ada yang ketahuan naik kendaraan maka ia akan dikeluarkan dari suku Baduy
dalam.
Desa
Cibeo di Baduy dalam belum ada listrik, penerangan disana menggunakan dian/
sentir (alat penerangan yang terbuat dari bekas kaleng yang diberi sumbu, dan
untuk bahan bakarnya menggunakan minyak sayur. Tetapi ada keanehan lagi, ketika
saya Tanya ternyata dian tersebut bukan buatan sendiri, tetapi membeli dari
Ciboleger (wah… lagi-lagi ini namanya bukan tertutup dan menolak kemajuan
teknologi, orang penerangan yang sederhana aja beli). Hal yang menarik lainya
adalah ketika saya bertanya apakah didesa Cibeo baduy dalam tersebut ada warung
atau yang jual sesuatu, dan teh Mira menjawab ada yang berjualan disana, yaitu
masyarakat baduy dalam sendiri, saya tertarik dengan itu, dan apa saja yang
dijual disana, tetapi karena keterbatasan waktu dan kesalahan saya tidak
menyempatkan diri untuk melihat warung tersebut, tetapi saya menduga banyak
barang-barang hasil kemajuan teknologi dan kemajuan zaman yang dijual disana,
asumsi saya ini didasari karena berbagai hal yang saya lihat dan saya temukan
di rumah teh Mira tadi.
Saya
kembali bertanya karena saya penasaran dengan suku tersebut, saya bertanya
bagaimana jika ada anggota suku Baduy yang meninggal dunia, teh Mira mengatakan
jasadnya akan dibungkus dengan kain yang dinamakan kain kodar, dan setelah itu
jasadnya dikubur di ladang tempat bercocok tanam, dan setelah 7 hari ladang
atau kebun tersebut boleh diolah lagi dan ditanami kembali. Satu hal yang
menarik saya dapati, bahwa disana anak-anak kecil tidak bersekolah formal,
mereka hanya belajar dari ibunya, baik itu belajar berhitung dan berbicara.
Pertanyaan
saya lanjutkan kembali, saya bertanya tentang pakaian, baju itu dinamakan
“jamang”, celana dinamakan “samping”, dan ikat kepala dinamakan “telekung”,
yang menjadi ciri khas dari orang baduy dalam adalah telekung, atau ikat kepala
berwarna putih, dimanapun mereka berada pasti menggunakan telekung tersebut.
Agama yang dianut masyarakat baduy dalam adalah sunda wiwitan, nabi yang dianut
adalah nabi Adam, bulan kasa, kawalu, dan katiga itu adalah bulan khusus bagi
agama sunda wiwitan hal tersebut dijelaskan oleh bapak Pulung (40)th kakak dari
aa’ juli. Di masyarakat baduy dalam ada 3 bulan yang mereka dilarang untuk
dikunjungi, yaitu bulan kasa, karo, dan katiga, selama tiga bulan tersebut,
tidak ada yang boleh masuk ke baduy dalam. Di masyarakat baduy dalam ada dukun
beranak (peraji) yang membantu proses persalinan, ada dua di kampung ini.
Masyarakat
baduy dalam terkenal sebagai masyarakat pengrajin gelang, cincin, tas dan
lain-lain yang terbuat dari bahan-bahan sederhana dari alam, jika bahan seperti
kain tenun, itu sudah dihasilkan oleh masyarakat baduy luar. Hal yang menarik
adalah ketika saya bertanya-tanya kemudian pak Pulung menawari saya sebuah tas
yang berasal dari bahan-bahan seperti kulit kayu, yang membuat saya kaget
adalah harga yang ditetapkan beliau, yaitu 120 ribu rupiah, (pikir saya dalam
hati, wah tas beginian mahal ya, padahal Cuma kecil bentuknya, dan gak terlalu
menarik, dan yang paling saya pikirkan adalah kenapa bapak ini sudah
berorientasi pada uang, padahal harusnya jika suku pedalaman orientasinya bukan
uang, ini menjadi menarik dan mendukung argument saya diatas bahwa suku Baduy
dalam sudah terkena perubahan sosial yang sangat drastis, dan mereka sudah
mulai berorientasi pada uang, seperti masyarakat kapitalis).
Saya
mencoba sedikit menelaah apakah masyarakat disana juga ada stratifikasi
sosialnya, ya tentunya selain ketua adat atau “PUUN” yang dihormati, saya
menyimpulkan melalui wawancara saya, bahwa disana memang ada stratifikasi
tersendiri hal ini saya simpulkan karena mereka menganggap ada orang kaya dan
tidak, mereka yang kaya apabila hasil panennya banyak, pohon pisangnya banyak,
pohon durianya banyak, dan lumbung padinya banyak, ini merupakan sebuah
stratifikasi yang ada disana. Yang lebih menarik adalah ketika saya mendengar
cerita teman, bahwa sepertinya mereka bangga jika memiliki anak banyak, hal ini
terlihat dari gaya Bahasa dan cara orang-orang disana menyampaikannya, missal
ketika ditanya anaknya berapa? “jawaban tegas, dan percaya diri jika anaknya
banyak”, tetapi jika anaknya hanya sedikit mereka menjawab dengan nada yang “kurang
percaya diri, dan pelan”, saya menilai bahwa ini juga termasuk stratifikasi, dimana ketika mereka
memiliki anak banyak berarti mereka berhasil membuat jumlah anggota suku Baduy
dalam bertambah pesat. Kebanggaan tersendiri juga terlihat apabila sseorang
orang tua, bisa menjodohkan anaknya dan berhasil atas penjodohan tersebut, maka
mereka akan merasa bangga dan merasa berhasil dengan hal itu, tetapi jika ada
anaknya yang keluar atau menikah dengan orang diluar Baduy dalam, maka orang
tua tersebut merasa malu karena gagal mempertahankan dan mengajari anaknya. Hal
itu berarti bisa dijadikan sebuah stratifikasi yang ada disana, karena ada
sesuatu nilai yang dihargai dalam masyarakat.
Hal
yang paling menarik dari suku Baduy yang saya dapatkan adalah ketika saya
bertanya kepada anak-anak kecil yang ada di suku tersebut, saya bertanya apakah
mereka sering main ke Ciboleger? Mereka menjawab sering, dan ketika saya Tanya
kembali, kalau main ke Ciboleger ngapain aja? Mereka menjawab ya main mas,
kadang cari hiburan gitu. Lalu ketika saya Tanya apakah mereka pernah masuk
atau membeli di Alfamart yang ada di terminal Ciboleger, mereka menjawab sering
mas, biasanya beli minuman bersoda seperti itu. (Jawaban mereka membuat saya
kaget, dan menguatkan asumsi saya bahwa sebenarnya suku Baduy dalam sendiri
tidak menolak kemajuan Teknologi dan kemajuan zaman yang ditawarkan, banyak
bukti yang ditemukan yang menguatkan bahwa mereka juga ikut menikmati kemajuan
tersebut). Hanya saja di Baduy dalam memang tidak ada listrik, karena memang
masyarakatnya menolak karena tidak sesuai dengan adat.
Melihat
berbagai hal diatas saya menyimpulkan dari pengalaman saya disana, dari apa
yang saya temukan disana dengan apa yang sering saya baca di
literature-literatur banyak yang bertentangan, entah karena perubahan sosial
yang sudah mulai terjadi di suku baduy atau karena hal lain, saya melihat bahwa
sebenarnya masyarakat baduy tidak menolak kemajuan teknologi dan kemajuan
industri yang ada terbukti mereka menggunakan bedak, uang, lilin,
makanan-makanan hasil industri, minuman-minuman bersoda, bahkan untuk
penerangan yang sederhanapun mereka membelinya, dan mereka juga banyak yang
berorientasi pada uang, hal ini sudah melepaskan ciri bahwa mereka adalah suku
pedalaman yang menolak kemajuan zaman dan kemajuan industri serta teknologi.
Saya melihat bahwa sebenarnya ada keinginan dari mereka untuk menggunakan
kemajuan industri tersebut, hanya mungkin karena akses menuju baduy dalam yang
sangat jauh, dan harus berjalan kaki naik turun bukit, itu yang membuat desa
mereka terisolir sehingga perubahan sosial sangat lambat terjadi, tapi saya
percaya bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi suku baduy akan benar-benar
mengalami perubahan yang sangat pesat, terbukti dengan mulainya mereka
menggunakan barang-barang hasil kemajuan industri tersebut. Oh ya, saya juga
menilai ada beberapa oknum yang mengemas suku baduy sebagai obyek wisata yang
katanya masih pedalaman dan tidak mau menerima kemajuan, saya rasa banyak
informasi sengaja dibuat agar banyak wisatawan yang tertarik untuk masuk dan
berkunjung kesana.
Mengenai
tata tertib larangan atau peraturan yang ada disana saya sangat ragu akan
kebenaran larangan tersebut, jika memang itu larangan yang harus dipenuhi,
mengapa tidak ada pengecekan secara adat atau secara tegas mengenai hal-hal
yang dilarang untuk dibawa kesana, (itu juga menjadi tanda Tanya besar dalam
hati saya) karena saya melihat banyak teman-teman yang membawa dan menghidupkan
ponselnya ketika di baduy dalam, dan nyatanya tidak terjadi apa-apa. Saya rasa
larangan tersebut bisa jadi juga dibuat agar terasa bahwa suku tersebut masih
asli, dan pedalam, padahal ??????
Rabu
26 November 2014, setelah kami sampai di terminal Ciboleger, kami melanjutkan
perjalanan menuju ke Lapas wanita Tanggerang, kami berangkat pukul 11:00, dan
baru sampai di lapas pukul 16:15, kami diterima dengan baik oleh pihak lapas,
meskipun kami mundur dari rencana awal jam 13:00, dikarenakan berbagai kendala
dalam perjalanan. Kami disambut dengan penampilan dari warga binaan lapas,
yaitu dengan penampilan hadroh dan band yang sangat menarik, kami antusias
sekali dengan pertunjukan yang ditampilkan, tak lama kemudian, kami diberi
waktu untuk wawancara sekitar 15 menit, waktu yang sangat singkat, tapi dari 15
belas menit tersebut banyak hal yang saya dapatkan, yah.. meskipun saya juga
meragukan beberapa keterangan dari warga binaan lapas.
Wawancara
dimulai, narasumber pun memperkenalkan dirinya, ada dua narasumber, yang
pertama namanya Rosalimah, lahir di Jakarta, ayah dari Sumatra barat dan ibu
dari jawa barat, dipenjara karena kasus narkoba, dan Susanti dengan kasus yang
sama yaitu narkoba. Kami mengawali pertanyaan dengan bagaimana kronologis mba
rosalimah bisa masuk ke lapas ini, dia mengaku bahwa 3 tahun terakhir semenjak
ayah dan suaminya meninggal, ayahnya meninggal terlebih dahulu kemudian 3 bulan
setelah itu suaminya meninggal dunia, membuat dia harus bekerja keras untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya khususnya anak-anaknya, dan kebetulan dia
mempunyai teman dan menawarinya pekerjaan jual beli narkotika. Dia menuturkan
bahwa hanya dengan kerja 8 jam gaji lebih dari cukup untuk makan dan segala
keperluan keluarga, kerja dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam, dengan gaji 800.000,
dan itu hanya gaji pokok, terkadang ketika ada pembeli, atau teman yang beli,
mba rosalimah mendapatkan pemberian uang, rokok dll, kadang dalam sehari dia
bisa membawa uang paling kecil satu juta, dan
paling banyak 1,5 juta dalam sehari. Dia mengaku hanya melayani
pembelian ditempat dalam arti dia tidak mau mengantar barang haram tersebut. Nama tempat bekerjanya yaitu terkenal dengan
sebutan komplek ambon.
Menurut
pengakuan mba Rosalimah, dia mengaku secara jujur bahwa ia menggunakan
narkotika, hal itu ia ungkapkan dengan pernyataan “tidak mungkin juga kali ya
saya jual barang gituan tapi gak make” tetapi dia mengaku bahwa hanya memakai
sabhu-sabhu saja, yang lainya tidak. Dia mengaku harus bekerja seperti itu
karena desakan ekonomi yang menghimpitnya, dia masih harus mengurusi 3 orang
anak ditambah dengan ibunya mba Rosalimah, dengan biaya hidup dan sekolah anak
di Jakarta sendiri sangat mahal, sehingga memaksa ia untuk berjualan barang
tersebut.
Selama
setahun belakangan ini mba rosalimah mengaku tidak berkomunikasi dengan orang
rumah baik itu ibunya maupun anak-anaknya. Dia berkomitmen bahwa dia tidak mau
sakit di lapas, sehingga dia tidak menghubungi keluarganya. Hukuman penjara
yang diterima dia sebenarnya hanya 4 tahun penjara, dan itu merupakan hukuman
yang menurutnya paling rendah disana, seharusnya dia sudah bisa bebas karena
dia juga mendapatkan potongan hukuman (remisi), tetapi karena dia melanggar
aturan dari pihak lapas dengan kedapatan membawa ponsel, maka hukumanya
diperpanjang sesuai dengan aslinya.
Dia
menuturkan bahwa dia beruntung bisa mendapatkan perlakuan baik ketika dalam
penangkapan, berbeda dengan banyak teman-temanya yang menurutnya harus dipukul,
disiksa dan lalin-lain untuk mengakui perbuatanya. Tetapi dia mengaku bahwa dia
bisa ditangkap karena dia mengalami kecelakaan setelah memakai barang haram
tersebut, sehingga dia mengalami kecelakaan, dank arena itulah polisi mendapati
adanya barang haram tersebut di tas yang saat itu ia bawa. Dia menuturkan bahwa
di dalam tas tersebut terdapat kotak kacamata yang berisi barang haram, tetapi
dia merasa aneh, karena dia tidak memakai kacamata, jadi mana mungkin bisa ada
kotak kacamata disitu, kemudian juga polisi menemukan permen happydent di dalam
tasnya yang isinya juga bukan lagi permen tetapi barang haram. Dia merasa bahwa
polisi merekayasa hal itu, dia juga menuturkan bahwa banyak kasus yang dialami
orang ketika dia kecelakaan, dan tiba-tiba ada narkobanya, sehingga dijerat
kasus narkoba (tetapi saya meragukan berbagai kesaksian yang dituturkan oleh narasumber, karena tidak
mungkin polisi bertindak bodoh, dengan merekayasa suatu kasus dengan cara
seperti itu).
Dalam
persidangan dia membela diri hingga akhirnya dia hanya dihukum 4 tahun penjara
sedangkan tuntutanya adalah 6 tahun penjara. Kembali dia menegaskan bahwa yang
memasukan barang haram tersebut kedalam tasnya adalah polisi, bahkan dalam
keterangan, dia mengaku semua barang bukti dalam persidangan itu hilang, dan
hanya tinggal sedikit barang bukti yang tersedia, dia juga mengaku bahwa ketika
itu dia menyaksikan jam 2 malam ada oknum polisi yang memakai barang haram
tersebut.
Kami
melanjutkan pertanyaan dengan topik yang berbeda, dia mengaku bahwa selama
disini (lapas) memberikan pelayanan yang baik, mereka dibina dan diajarkan
untuk berkreatifitas sesuai dengan bakat dan minatnya hal ini terbukti dari
ketika kami dating kami disambut dengan penampilan yang sangat istimewa dari
para penghuni lapas, yaitu dengan hadroh, band, dan perkusi yang sangat menarik
sekali.
Karena
kami hanya memiliki waktu 15 menit untuk wawancara dan waktu tersebut habis
maka kami tidak bisa mendapatkan banyak
data untuk dibahas, tetapi sebelum kami menyudahi, saya sempat bertanya kepada
narasumber tentang bagaimana pola interaksi yang ada didalam lapas, dan mereka
menjawab hubungan diantara penghuni lapas baik-baik saja bahkan boleh dibilang
tidak ada masalah apapun baik itu yang tua maupun yang muda, yang lebih dulu
masuk lapas, maupun yang baru. Saya
pribadi disini menemukan banyak hal yang sebenarnya menarik untuk dibahas,
yaitu mengapa setelah kami berdiskusi dengan teman-teman, rata-rata jawaban
dari kronologis mereka masuk dan dipenjara karena kasus narkoba itu sama, yaitu
karena dijebak, atau direkayasa oleh kepolisian? Lalu juga saya pribadi menduga
sebenarnya terjadi kesenjangan di dalam lapas, pasti ada pihak yang kuat dan
yang lemah, yang dominan dan yang dikuasai, tetapi mereka menuturkan didalam
hubungan antar napi sangat baik. Lagi-lagi itu hanya menjadi pertanyaan saya,
dan belum bisa mendapatkan jawaban
karena terbatasnya waktu untuk kami bisa mendapatkan data yang maksimal.
Setelah
selesai kami melanjutkan perjalanan menuju hotel, dan setelah makan malam kami
melakukan wawancara degan pekerja seks komersial (PSK), saat itu saya medapat
narasumber bernama Maya (23th) yang berasal dari Sukabumi, dia adalah seorang
janda dia menikah pada usia 20 tahun, namun usia pernikahannya hanya
berlangsung selama 2 bulan saja dan setelah itu kandas, dia sudah menjadi psk
selama 8 bulan, dia menjadi psk dengan alasan ekonomi, dia menjadi tulang
punggung bagi keluarganya di Sukabumi karena untuk biaya hidup keluarganya
butuh pendapatan yang lebih banyak, sedangkan jika hanya bekerja di perusahaan
dia hanya mendapat gaji yang boleh di bilang kecil, oleh karena itu dia menjadi
psk.
Kepada
para keluarganya di Sukabumi dia mengaku bekerja di sebuah perusahaan, jadi
setau keluarganya disana dia bekerja sebagai karyawan, tarif yang diterapkan
ketika dia melayani pelanggan adalah 300 sampai dengan 500 ribu untuk satu kali
main (short time ) biasanya untuk short time waktunya paling lama 1 jam,
tetapi ada juga yang hanya 10 menit, ada juga long time yaitu maksimal 3 jam dengan tarif minimal 900 ribu, tetapi jika dia disewa selama
sehari semalam maka harganya menjadi 6 sampai dengan 7 jutaan. Harga itu
merupakan patokan dari “mami” nya, harga itu dibagi 2 untuk dia dan untuk
“mami”. Ketika menjalani pekerjaan ini, dia mengaku mendapatkan tekanan psikologis,
dengan berbagai rasa bosan dan jenuh karena melakukan hubungan intim dengan
orang yang tidak dia sukai, namun karna dia professional jadi mengabaikan semua
rasa itu ketika berhubungan.
Pekerja
seks komersial yang ada disana rentang umurnya rata-rata 17 th sampai dengan 25
tahun, ada yang masih bersekolah atau kuliah namun ada juga yang memang sudah
tidak bersekolah dan tidak kuliah. Psk disanapun ada yang dikelola oleh “mami”
tapi banyak juga yang tidak, dalam arti mereka berdiri sendiri, biasanya yang
tanpa “mami” adalah yang masih kuliah maupun bersekolah. Perbedaan bagi para
psk yang dikelola oleh “mami” maupun dengan yang tidak dikelola adalah, ketika
psk tersebut tidak dikelola oleh mami, maka dia akan mendapatkan pendapatan
yang lebih tinggi, karena hasil pendapatanya tidak dibagi dua, sedangkan ketika
psk tersebut dikelola oleh “mami” hasil pendapatanya sedikit karena harus
dibagi dua dengan “maminya” tetapi kelebihan dari yang dikelola oleh mami
adalah, mereka mendapatkan banyak fasilitas, Antara lain ketika melakukan
hubungan intim mereka selalu diberikan alat kontrasepsi untuk mencegah
penularan penyakit berbahaya, obat stamina (kaarena tak jarang dalam satu malam
melayani lebih dari 10 pelanggan), nyuci baju dan masak juga disediakan oleh
“mami”, selain itu mereka juga mendapatkan pemeriksaan rutin setiap dua minggu
sekali, hal ini dimaksudkan agar mereka selalu dalam kondisi “bersih”. Selain
itu juga mereka mendapatkan tempat tinggal (mess) oleh “maminya”, dan yang tak
kalah penting adalah “mami” selalu menjaga dan mengawasi para psk yang
dikelolanya, bahkan setiap kali setelah mereka “bermain” sang “mami”
memerintahkan petugas kebersihan hotel untuk memeriksa apakah ada bekas alat
kontrasepsi yang terpakai atau tidak, hal ini guna memastikan anak asuhnya
aman, tutur mb Maya. Dalam hal ini berarti sang “mami” sudah sangat dikenal di
kalangan pegawai banyak hotel ataupun villa yang ada dikawasan sekitar puncak,
dalam arti kerjasama diantara mereka juga sudah terjalin lama, berarti sang
mami memiliki modal sosial yang bagus.
Dalam
semalam bekerja mba Maya minimal mendapatkan 3 pelanggan dan pernah sampai 17
pelanggan dalam satu malam, jam bekerjanya dari jam 21:00 sd 04:00. Terkadang
tak jarang banyak pelanggan yang ditolak olehnya, melihat dari fisiknya, dia
menilai orang tersebut kasar atau tidak dan lain-lain. Yang menarik adalah
bagaimana solidaritas sesama PSK yang kuat, hal ini terbukti dengan tolong
menolong yang ada diantara mereka, misalnya ketika ada pelanggan yang sudah
terlanjur diterima, namun ketika melihat “barang” dari pelangganya ada indikasi
terkena penyakit atau kotor, maka sesegera mungkin dia berusaha menolak dengan
halus, dengan cara meminta kepada temanya agar menelponya dengan alasan aka
nada razia maupun menggunakan alasan ada keluarganya yang sakit dan harus
segera kesana. Dalam melayani pelangganpun banyak pengalaman yang diterima oleh
mba maya, diantara lain pernah diajak main “kasar”, pernah diajak main bertiga
“threesome” (tetapi untuk permainan ini menggunakan tariff yang berbeda yaitu
satu orangya membayar 700 ribu rupiah), ada juga yang sudah melakukan namun
tidak mau membayar. Biasanya mba maya dengan pelangganya melakukan ini di
daerah Mega Mendung, kebanyakan dari pelangganya adalah anak-anak SMA dari kota
Jakarta yang memang sering dating ke puncak untuk main dan sengaja untuk “main”
yang lainya.
Mba
Maya memiliki pelanggan khusus baik dari kalangan pejabat maupun dari kalangan
biasa, tak jarang ada orang kaya yang ketika “main” justru membawa istrinya
untuk melihat mereka melakukan hubungan badan (terlihat gila) namun ini memang
tak jarang dilakukan dengan berbagai alasan, mungkin istrinya tidak mau
melayani atau tidak bisa melayani sehingga harus bersikap seperti itu, dan ketika
ada kejadian seperti ini mba Maya mengaku agak canggung, tetapi karena
profesionalitas sehingga dia biasa saja ketika melakukan itu.
Daerah
Puncak taka sing lagi bahkan terkenal dengan kegiatan “seperti itu” sehingga
tak jarang sering dilakukan razia oleh petugas keamanan, tetapi mba Maya menuturkan hal ini tidak menjadikan
masalah, karena s”maminya” sudah kongkalikong atau sudah bersekongkol dengan
petugas, sehingga bisa dipastikan aman. Di daerah puncak atau mega mendung,
persaingan jarang terjadi tutur mba maya. Disinipu pelangganya musiman, jadi
kalo tanggal muda banyak pelanggan, tetapi kalo tanggal tua ya seepi pelanggan
seperti itu.
Sebenarnya
pernah ada upaya dari pemerintah untuk memberantas kegiatan ini, yaitu upaya
dari PEMDA yang pernah dating untuk mendata dan rencananya akan diberikan modal
usaha agar para PSK bisa berhenti total
dari kegiatan seperti ini, namun realisasinya sampai sekarangpun belum
ada, tutur mba Maya.
Saya
pribadi sangat tertarik dengan penuturan mba maya, apalagi ketika ditanya
konflik yang ada disana, saya meragukan tidak adanya konflik, apalagi mereka
dikumpulkan dalam satu mess, dan itu menurut saya rawan konflik, karena mereka
dalam mencari pelanggan itu sistimya ada pelanggan yang meminta untuk dicarikan
psk kepada calo, lalu calo itu membawa pelanggan tersebut ke “mami” dan lalu
mami mengantarkan pelangganya tersebut ke mess untuk memilih sendiri PSK yang
ada. (saya melihat pasti ada keirian ketika teman mereka banyak yang dimnati
pelanggan, sedangkan mereka tidak, disitu pasti sangat rawan terjadi konflik),
untuk sekedar informasi bahwa biasanya satu orang “mami” mempunyai lebih dari
10 orang anak asuh.
Hari
terakhir kami melakukan kuliah kerja lapangan, kami menuju ke balai besar
rehabilitasi badan narkotika nasional, kami diterima disana sekitar pukul
13:00, kami disambut oleh beberapa
pegawai yang ada disana, kami juga diberikan brosur tentang balai besar
rehabilitasi BNN. Tak lama kemudian acara dimulai, ada beberapa beberapa orang
yang mempresentasikan tentang balai besar rehabilitasi, mulai dari visi misi,
pelayanan, jenis rehabilitasi yang ada, sarana dan pengembangan rehabilitasi,
dan berbagai fasilitas lainya. Hal yang sangat menarik buat saya adalah
berbagai fasilitas yang ada dan yang mendukung balai besar rehabilitasi Lido
ini boleh dibilang sangat lengkap.
Ketika
pecandu yang sedang menjalani rehabilitasi mulai menjelaskan tentang awal
perjalanan dan kisah hidupnya dan mengapa kini akhirnya dia berada di pusat
rehabilitasi lido, dari kedua pecandu yang memberikan kesaksianya kepada kami,
saya merasa aneh, karena sepertinya mereka sudah diatur untuk berkata apa,
sehingga saya menemukan bahwa disetiap penutup penuturanya, mereka selalu
mengucapkan “banyak terimakasih” kepada balai besar rehabilitasi BNN, hal ini
menunjukan seperti adanya sebuah penghargaan, atau membentuk sebuah citra
positif dan yang baik bagi balai besar rehabilitasi, timbul pertanyaan mengapa
demikian? Dan say pun bertanya mengapa kita tidak melakukan wawancara seperti
di baduy, lp wanita, dan psk, mengapa kita di balai besar rehabilitasi badan
narkotika nasional seperti presentasi, dan Tanya jawab biasa, kami tidak bisa
mendapatkan banyak data yang menarik untuk kami kaji secara mendalam jika
situasi dan suasana yang dibentuk seperti itu.
0 Response to "KULIAH KERJA LAPANGANKU YANG PENUH TANDA TANYA? (Masyarakat Baduy, LP Wanita Tangerang, & BNN, Bogor)"
Post a Comment