Kearifan Lokal Masyarakat Baduy
Wednesday, 7 January 2015
1 Comment
Kearifan Lokal Masyarakat Baduy
Nico
Fergiyono 12413244014
Hilyatul
Jannah 12413244025
Nurizal
Ikrar L 12413244031
Mince 12413249001
Jurusan Pendidikan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
ABSTRAK
Baduy,
adalah nama dari sebuah suku yang berada di provinsi banten, baduy adalah salah
satu suku yang masih menjaga erat nilai dan norma serta tradisi atau adat
istiadat masyarakatnya. Suku baduy termasuk salah satu suku yang terisolir yang
ada di Indonesia, masyarakat baduy sengaja mengasingkan diri, mereka hidup
mandiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari orang luar, mereka mengasingkan
diri dan menutup diri dengan tujuan menghindar dari pengaruh budaya luar yang
akan masuk.
Suku
baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni, mereka selalu menjaga
dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik, sehingga dapat memberikan
hasil panen yang cukup dan melimpah untuk menghidupi kebutuhan hidup mereka,
mereka tidak ingin merusak kelestarian alam yang ada.
Ditengah-tengah
gempuran modernitas dan globalisasi saat ini, suku baduy berusaha untuk menjaga
nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya. Kearifan lokal yang
diterapkan dimasyarakat baduy memberikan banyak pelajaran berharga untuk
masyarakat kita yang sudah banyak sekali termakan oleh modernitas, oleh karena
itu banyak sekali baik individu atau kelompok yang datang dan berkunjung ke
suku baduy baik untuk melihat keindahan alam, maupun belajar akan nilai-nilai
kearifan lokal yang ada dimasyarakat suku baduy. Hebatnya lagi adalah kemampuan
suku baduy untuk bisa mempertahankan kebudayaanya dari kebudayaan-kebudayaan
luar yang masuk melalui para pengunjung yang datang.
Kata
kunci: Suku Baduy, Kearifan Lokal, Modernitas.
1.
Latar
Belakang
Suku baduy, terletak di desa Kanekes
terletak di gunung Kendeng yang sebagian wilayahnya adalah hutan. Wilayah ini termasuk
kedalam Propinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Lebak Kecamatan Leuidamar. Kelompok
masyarakat Adat Sunda tersebut terdiri dari Suku Baduy Luar dan Suku Baduy
Dalam, keduanya sama-sama tinggal di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Provinsi
Banten. Suku Baduy sudah sekian lama mendiami
desa tersebut.
Sebutan kata
Baduy untuk masyarakat desa Kanekes sebenarnya bukan dari mereka sendiri tetapi
masyarakat luar yang menyebutnya sehingga lama kelamaan menjadi sebutan bagi
mereka, orang Belanda menyebut mereka dengan sebutan Badoe’i, Badoej, Badoewi,
Urang Kanekes, dan Rawayan, (Garna 1992;
2)
Kondisi alam suku baduy terdiri dari
bukit-bukit yang tersusun berjajar, sehingga untuk berjalan dari satu desa ke
desa lainya membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak, apalagi jarak antara desa satu dan desa yang lain
jaraknya cukup jauh. Masyarakat
suku Baduy sangat mematuhi aturan adat mereka, mereka dilarang menggunakan
kendaraan dan menggunakan listrik, serta berbagai aturan-aturan adat lainya,
oleh karena itu, masyarakat baduy sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan
lokal masyarakatnya.
Kearifan lokal
masyarakat baduy menjadi sangat menarik untuk dibahas mengingat masih adanya
eksistensi sebuah suku pedalaman di tengah gempuran arus modernisasi dan
globalisasi, bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk menjaga agar nilai-nilai
kearifan lokal tersebut dapat dipertahankan dan terus dilestarikan, Tentunya
akan ada banyak hambatan dalam melaksanakan nilai-nilai kearifan lokal
tersebut, kearifan lokal masyarakat Baduy menjadi sebuah kajian yang akan kami
bahas lebih jauh, mengingat pentingnya menerapkan nilai-nilai kearifan lokal
yang saat ini sudah banyak dilupakan oleh banyak orang. Melalui suku Baduy ini
diharapkan kita dapat mengetahui nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya yang
nantinya dapat kita jadikan contoh yang baik untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat.
2. Analisis
a. Kearifan
Lokal Suku Baduy Dalam
Sistem
perekonomian Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup, artinya aktivitas
ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi
serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka pada
umumnya adalah bertani atau bercocok tanam.Seluruh masyarakat di Baduy belajar
untuk bekerja di pertanian sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Di Baduy
terdapat aturan dalam pertanian yang diikuti oleh masyarakatnya. Ada waktu
dimana mereka harus mengolah tanah, menanam, maupun memanen hasil pertaniannya.
Sistem pertanian disana adalah dengan sistem berladang dan berkebun. Pada masa
dimana mereka tidak sedang bekerja di ladang, Baduy laki-laki bekerja di hutan
untuk berburu dan memanen madu, sementara Baduy wanita bekerja menenun dirumah
untuk membuat baju, selendang, sarung, serta kerajinan tangan seperti tas.
Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu
mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan. Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat
istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat
yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang
secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak
lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan
setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan)
kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui
bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan
masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Nilai-nilai
kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam
kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi
kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang
ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy
memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik,
sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan
menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang
menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat,
tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia
dalam pupuk yang digunakan. Selain itu Penanggulangan hama padi pada masyarakat
Baduy bersifat mengusir daripada membunuh. Dalam bertani, mereka selalu menjaga
keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam
penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy lebih memilih racikan
biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang dianggap dapat
meracuni dan merusak lingkungan. Upaya mengusir hama padi huma tersebut
tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian puso panen padi huma akibat gangguan
hama sangat jarang terjadi di Baduy. Mengapa demikian? Pasalnya, berbagai
tumbuhan untuk biopestisida atau rawun pare orang Baduy dikenal secara ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan pengusir
hama (repellent).
Hasil panenan
suku baduy yang berupa padi pun tidak boleh dijual, padi hanya untuk kebutuhan
mereka saja, tidak diperjual belikan, mereka hanya menjual hasil panenan
lainnya seperti pisang, durian, dll, aturan ini
juga dilaksanakan oleh semua masyarakat baduy. Untuk memenuhi kebutuhan
tambahan mereka seperti biaya untuk upacara-upacara adat mereka menjual madu,
kain songket, kerajinan-kerajinan tangan, tas, dll, uang yang didapatkan dari
hasil itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kebutuhan yang tidak
mereka hasilkan seperti garam, minyak, serta bumbu-bumbu. Madu Baduy sangat
terkenal di daerah Banten karena tidak dicampur dengan bahan lainnya, sehingga
sering disebut madu asli. Mereka menjual madu dan hasil kerajinan lainnya
sampai ke kota.
. Kehidupan
mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang
penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting
lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi
mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah
segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan
sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Ada dua sistem
pemerintahan yang digunakan oleh masyarakat Baduy, yaitu struktur pemerintahan
nasional yang mengikuti aturan negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat
yang mengikuti adat istiadat yang dipercayai oleh masyarakat. Kedua sistem
pemerintahan tersebut digabungkan dan dibagi perannya sedemikian rupa sehingga
tidak ada benturan dalam menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham
dan saling menghargai terhadap kedua sistem tersebut, sehingga mereka tahu
harus kemana jika ada urusan atau permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari.
Pemimpin adat
tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga
kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak
otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu
jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang
memegang jabatan tersebut.
Pelaksana
sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro,
yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan
hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka
bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di
dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah
dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro
duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara
adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan
pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot
lembur atau tetua kampung.
Kemampuan
masyarakat baduy yang bisa menjalankan dua sistem pemerintah baik itu sistem
adat dan sistem pemerintahan nasional, merupakan bukti kemampuan hebat yang
didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal masyarakat untuk tetap melestarikan
adat istiadat tetapi juga tetap menggunakan sistem pemerintahan nasional
sebagai rasa nasionalisme warga masyarakat baduy. Menggunakan dua sistem
kepemerintahan sekaligus tentunya jelas akan banyak hambatan yang ada dalam pelaksanaanya karena bisa saja
aturan yang ada saling tumpang tindih atau bahkan berbenturan, tetapi kemampuan
masyarakat Baduy untuk memposisikan dirinya menjadi salah satu kunci
keberhasilan dua sistem ini digunakan secara bersamaan.
Suku Baduy sangat memegang teguh pikukuh
karuhun, yakni suatu doktrin yang mewajibkan mereka melakukan berbagai hal
sebagai amanat leluhurnya (Kurnia, 2010: 28) Pikukuh karuhun tersebut
antara lain mewajibkan mereka untuk:
1.
Bertapa Bagi Kesejahtraan dan Keselamatan
Pusat Dunia dan Alam Semesta.
2.
Memelihara Sasaka Pusaka Buana.
3.
Mengasuh Ratu Memelihara Menak.
4.
Menghormati Guriang dan Melaksanakan
Muja.
5.
Mempertahankan dan Menjaga Adat Bulan
Kawalu
6.
Menyelenggarakan dan Menghormati Upacara
Adat Ngalaksa
7.
Melakukan Upacara Seba Setahun
sekali.
Upacara Seba sudah menjadi tradisi yang sifatnya wajib
dilaksanakan setahun sekali pada bulan Safar awal tahun baru sesuai dengan
penanggalan adat Baduy (berkisar bulan April-Mei pada tahun Masehi). Tujuan
dari kegiatan ini adalah ekspresi rasa syukur dan penghormatan Suku Baduy
kepada Pemerintah. Bentuk rasa syukur dan penghormatan ini dengan
mempersembahkan sesuatu yang dianggap berharga (sesaji, dalam konteks ini
adalah hasil panen) bagi Suku Baduy untuk diberikan kepada Pemerintah (dalam
hal ini Bupati Kabupaten Lebak).
Adapun mitos dibalik Upacara Seba yaitu Bhatara Tunggal dipercaya
oleh Suku Baduy sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tempat kediamannya
terletak di hulu sungai Ciujung dan Cisimeut. Tempat keramat tersebut oleh Suku
Baduy dinamakan Arca Domas, yang tertutup bagi siapapun kecuali pemimpin Suku
Baduy atau Puun (Rafiudin, 1995: 21).
Sungguh sebuah nilai kearifan lokal dimana tujuan upacara seba adalah sebagai rasa ucap syukur
kepada pemerintah, masyarakat baduy memberikan hasil panenanya kepada
pemerintah dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan tertentu. Begitu arif
masyarakat Baduy, padahal masyarakat baduy sendiri hampir dipastikan jarang
mendapat perhatian dari pemerintah, karena memang masyarakat baduy menutup diri
dari lingkungan luar, tetapi mereka tetap mengadakan upacara sebagai bentuk
rasa syukur mereka kepada pemerintah, bayangkan pada kebanyakan masayarakat
indonesia saat ini, mereka mendapat perhatian yang banyak dari pemerintah,
mereka banyak menikmati fasilitas publik, rumah sakit, sekolah, jalan raya, dll
tetapi apa mereka pernah mengadakan sebuah acara sebagai rasa syukur mereka
kepada pemerintah? Jarang, bahkan sulit ditemukan, mereka banyak yang hanya
mengkritik pemerintah, tetapi suku Baduy, yang jarang diperhatikan, tidak
banyak memanfaatkan dan menerima fasilitas publik, mereka tetap bersyukur,
begitu jelas terlihat bagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang mereka junjung.
b.
Kearifan Lokal Suku Baduy Luar
Masyarakat
Baduy Luar merupakan masyarakat yang telah diasingkan dari Baduy Dalam. Ada
beberapa alasan mengapa mereka diasingkan antara lain adalah hal tersebut
merupakan keinginan mereka sendiri untuk meninggalkan wilayah Baduy Dalam,
mereka telah melanggar adat istiadat yang berlaku di masyarakat Baduy Dalam,
ataupun kerena mereka menikah dengan orang Baduy Luar. Ciri-ciri khas
masyarakat:
·
Mereka telah
mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap
merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
·
Proses
Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy
Dalam. (BL)
·
Menggunakan
pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti
kaos oblong dan celana jeans. (BL)
·
Kelompok
masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal
di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. (BL)
Kebiasaan dan adat
istiadat yang berlaku dalam masyarakat Baduy Luar pada dasarnya masih memiliki
kesamaan dengan kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Badut Dalam akan tetapi
masyarakat Baduy Luar telah mengenal dan menggunakan teknologi, dapat
menggunakan kendaraan sebagai alat transportasi, diperbolehkan menggunakan alas
kaki, alat untuk membuat rumah pun sudah menggunakan gergaji, paku, palu dan
lain sebagainya yang dalam masyarakat Baduy Dalam itu tidak diperbolehkan.
Untuk membedakan masyarakat suku Baduy Dalam dan suku Baduy Luar itu dapat
dilihat dari pakaian mereka, jika masyarakat suku Baduy Dalam menggunakan
pakain sampai ikat kepala berwarna putih, suku Baduy Luar menggunakan pakaian
serba hitam hal itu karena mereka dianggap sudah tidak suci lagi bahkan
masyarakay suku Baduy Luar sebagian besar telah menggunakan pakaian modern.
Mata pencaharian mereka adalah bertani, menenun, membuat pakaian ciri khas suku
Baduy Luar, ataupun membuat pernak-pernik ciri khas suku Baduy.
Baduy Panamping
( Baduy Luar ), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Mereka
memiliki ciri sebagai berikut: berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru
tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi
buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum
adat karena mereka masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat. Jenis
kendaraan apapun harus ditinggalkan Desa Cibolegar dan mulailah Anda
menjelajahi alam Baduy dengan berjalan kaki. Suasana di kawasan Baduy sangat
sejuk dan alami, tidak ada polusi udara dan pencemaran lingkungan. Perjalanan
dari kampung ke kampung lainnya dilalui lewat jalan setapak yang kadang-kadang
melintasi sungai dan bukit-bukit atau melewati jembatan bambu berkonstruksi
alami tanpa menggunakan paku.
Berada di
perkampungan Baduy terasa seperti kita berada dalam suasana zaman dahulu.
Masyarakatnya masih hidup dalam nilai-nilai tradisional yang kental, tidak ada
sentuhan teknologi modern sama sekali. Jika malam tiba suasana hening, tenang
dan gelap datang menyergap. Tidak ada gemerlapan cahaya lampu listrik, yang ada
hanya kedipan sinar yang berasal dari lampu teplok yang diisi dengan minyak
kelapa atau minyak jarak dengan sumbu sabut kelapa. Di perkampungan ini yang
terdengar hanyalah suara alam dengan gemericik air dari sungai yang berbatuan,
suara kicau burung dan desau angin menerpa dedaunan.
Menurut wawancara yang kami lakukan dengan Pak Agus,
tour guide Baduy, ada beberapa hal
yang menarik tentang masyarakat Suku Baduy adalah cara hidup mereka yang
benar-benar menjaga kelestarian alam. Adapun prinsip hidup masyarakat Baduy
yang selaras dengan alam adalah petatah-petitih masyarakat ada Baduy yaitu:
Gunung tak
diperkenankan dilebur
Lembah tak
diperkenankan dirusak
Larangan tak
boleh di rubah
Panjang tak
boleh dipotong
Pendek tak
boleh disambung
Yang bukan
harus ditolak
Yang jangan
harus dilarang
Yang benar
haruslah dibenarkan
artinya:
gunung tak boleh dihancurkan
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang jangan harus dinafikan
yang benar harus dibenarkan
gunung tak boleh dihancurkan
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang jangan harus dinafikan
yang benar harus dibenarkan
Bukti bahwa
masyarakat Baduy luar juga hidup berdampingan dengan alam
secara harmonis yaitu masyarakat Baduy sangat menjaga air agar selalu jernih
dan bersih sehingga bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari. Masyarakat Baduy luar yang sebagian sudah memiliki kamar mandi maupun WC dirumah panggungnya, memiliki aturan
untuk tidak membuang sampah, menggunakan sabun, deterjen dan bahan-bahan kimia
lain yang dapat mengotori sungai. Selain itu, pembagian area-area dalam
pemanfaatan sungai juga merupakan sebuah konsep dalam memperhatikan daya pulih
air. Setiap kampung telah memiliki area-area khusus dalam pemanfaatan sungai.
Area sungai untuk mandi, mencuci, buang air dan konsumsi memiliki areanya
masing-masing sehingga masyarakat memperoleh air yang berkualitas sesuai dengan
kebutuhan.
Masyarakat
Baduy luar maupun
dalammenyimpan hasil panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi.
Leuit dibangun di pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit. Leuit
adalah wujud pemahaman masyarakat Baduy tentang ketahanan pangan. Kondisi
adanya leuit membuat masyarakat Baduy tidak kekurangan bahan pangan. Selain
itu, apabila masyarakat Baduy akan menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai
adalah kayu kayu yang telah kering dan tua. kayu bakar tersebut diperoleh dari
pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh
terserak. Masyarakat Baduy tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan
lokal ini menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama
ratusan tahun.
Untuk menjaga
kemurnian adat dari pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan dalam
mengunjungi kawasan pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa)
Baduy Dalam melakukan sidak ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada
benda-benda yang bisa melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita
radio yang dianggap melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa
bunyi sepeda motor, radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang
menimbulkan asap dan bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang.
Bunyi gemeletak alat penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam
di sana.
Akan tetapi,
amatlah sukar menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang serba
hiruk pikuk ini. Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang
“meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan
warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola
Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini
menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter,
akhirnya mulai terlibat proses dagang. Kaum Baduy Luar
misalnya, telah lama menjual kain sarung yang mereka tenun, selain juga
menjual madu dan gula kelapa pada orang-orang luar yang berada di sekitar
kawasan tempat tinggal mereka. Ini terjadi karena mereka butuh uang kontan
untuk membeli ikan asin, garam, dan berbagai kebutuhan yang tak bisa mereka
hasilkan sendiri.
3. Simpulan
Kearifan lokal
merupakan pengetahuan masyarakat berdasarkan pengalaman yang menjadikan
kebiasaan serta mewujudkan menjadi kebudayaan dan diwariskan secara
turun-temurun dari nenek moyangnya (Baramuli et al. 1996 : 38). Secara
sederhana dapat diartikan sebagai kebijakan setempat atau cara berfikir
masyarakat berdasarkan pengetahuannya.
Nilai-nilai
kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam
kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi
kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang
ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy
memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik,
sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan
menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang
menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat,
tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia
dalam pupuk yang digunakan.
Kehidupan
mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang
penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting
lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi
mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah
segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan
sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Prinsip
kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat
mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun
secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia,
dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy
terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan
dalam prinsip hidup sehari-hari.
Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam
ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia
yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti
memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini
jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk
menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang. Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka
untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka
dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.
4. Referensi
Garna, Judistira K. 1992. Orang Baduy Dari Kanekes: Ketegaran Dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Makalah
Seminar Sehari Dengan Orang Baduy). Bandung: Museum Negeri Jawa Barat.
Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. 2010. Saatnya
Baduy Bicara. Jakarta: Bumi Aksara bekerjasama dengan UNTIRTA.
Rafiudin, Apip Apriadi. 1995. “Masyarakat Baduy (Studi Deskriptif di Desa
Cibeo, Jawa Barat)”. Skripsi S-1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.
terimakasih banyak, sangat membantu sekali...
ReplyDeletehttp://acemaxsshop.com/