-->

KULIAH KERJA LAPANGANKU YANG PENUH TANDA TANYA? (Masyarakat Baduy, LP Wanita Tangerang, & BNN, Bogor)

KULIAH KERJA LAPANGANKU YANG PENUH TANDA TANYA?
(Baduy, LP wanita Tangerang, PSK, Balai rehabilitasi besar BNN)

Senin 24 november 2014, dimana seperti biasanya aku bangun jam setengah 5, lalu menonton berita di televise, tetapi pagi ini ada yang sedikit berbeda, karena hari ini aku akan pergi ke banten dan jawa barat untuk melakukan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) jurusan pendidikan sosiologi yang ke 3, aku mulai mempersiapkan segala sesuatu yang kuperlukan dalam perjalanan nanti, tak lupa yang terpenting adalah doa dari kedua orang tua.
Pagi itu kami semua berkumpul di rektorat UNY pukul 08:00 WIB, tetapi kami baru berangkat menuju banten pukul 09:15 WIB, pada pukul 13:30 kami sampai di rumah makan jatilawang untuk istrahat siang, makan siang, dan sholat bagi yang menjalankannya. Setelah semuya selesai kami melanjutkan perjalanan ke banten tepatnya di suku Baduy, sekitar jam 04:30 pagi kami sampai di rangkasbitung, kami pun istrahat untuk sholat, perjalanan menuju ke Baduy tinggal 1 jam lagi, kami semua bersemangat, karena ini adalah pengalaman pertama untuk kami bisa mengunjungi suku yang masih pedalaman. Saya pribadi ingin sekali sampai di Baduy dan melakukan serta melihat dan mengamati aktivitas masyarakat Baduy,  ketika perjalanan hampir sampai di terminal Ciboleger, salah satu dari bis yang kami tumpangi mengalami kendala ketika ingin melintasi jembatan, roda belakangnya tergelincir dan hampir jatuh, tetapi karena kuasa dari Tuhan sehingga bisa selamat dan tidak terjadi apa-apa. Hanya saja karena hal itu, kami harus menunggu lama untuk mengevakuasi bis tersebut, setelah satu jam proses evakuasi tidak membuahkan hasil, akhirnya kami diangkut dengan kendaraan mini bus menuju terminal, diterminal kami harus menunggu kurang lebih 2 jam.an hingga akhirnya bis bisa dievakuasi, dan kami bisa mengambil barang-barang kami.
Sekitar pukul 10:40 kami berjalan menuju ke desa Baduy luar tepatnya di desa Gajeboh, perjalanan ditempuh dalam waktu 1 ½ jam, kami harus naik turun bukit, dan butuh perjuangan, apalagi setelah kami jenuh harus menunggu 3 jam tanpa kepastian tentang bis yang terkendala tadi.
Setelah sampai di desa Gajeboh, kami beristirahat sebentar untuk menunggu rombongan dari kelas A, dan setelah rombongan sampai semua, yang akan berangkat ke Baduy dalam dikumpulkan untuk makan siang terlebih dahulu, setelah kami makan siang, kami ditemani beberapa anak-anak serta orang Baduy dalam serta Tour Gate kami, melanjutkan perjalanan menuju ke Baduy dalam, perjalanan dimulai sekitar pukul 13:15 selama perjalanan saya menemukan banyak hal yang menarik, hutan yang masih asri, jalan yang naik turun bukit, melintasi sungai, dengan jembatan-jembatan buatan masyarakat disana, jembatan tersebut memang hanya menggunakan bambu yang diikat dengan tali tambang, ya disitu memang masih daerah baduy luar, maka wajar jika sudah menggunakan kemajuan zaman seperti tali yang terbuat dari plastik, tetapi selama perjalanan ada yang aneh menurut saya, ketika saya menyapa masyarakat yang kami lewati, kebanyakan dari mereka tidak menanggapi sapaan saya, padahal saya sudah menyapa dengan Bahasa sunda “punten teh/aa” tetapi mereka seperti menganggap kami tidak ada disitu, hal ini bukan hanya sekali duakali terjadi, tetapi banyak kali ketika saya menyapa dan tanggapan dari mereka sama saja, yaitu mengabaikan dan menganggap saya tidak ada, mulai timbul pertanyaan di dalam diri saya mengapa mereka seperti itu, (dalam benak saya, saya berfikir mungkin adat mereka melarang mereka untuk berinteraksi dengan orang luar), ketika ada orang yang duduk di depan rumah, saya mencoba kembali untuk menyapanya, kali ini mereka senyum kepada saya, dan menjawab sapaan saya, disitu timbul kembali pertanyaan di dalam diri saya, jika banyak yang mengacuhkan sapaan saya, kenapa ada yang mau menjawab sapaan saya? Sampai saat ini pertanyaan ini belum dapat saya temukan jawabannya, waktu yang saya miliki selama saya berada di Baduy terlalu singkat untuk saya dapat menyimpulkan mengenai hal ini.
Selain banyak hal baru yang saya temui disana, saya juga tertarik ketika saya melihat tanaman disekitar saya berjalan, ternyata mereka menanam padi di gunung, setahu saya padi ditanam di sawah atau dataran rendah, tetapi baru kali ini saya melihat padi ditanam di pegunungan, saya berfikir bagaimana jika padi tersebut membutuhkan pengairan? Saya rasa mereka punya adat atau kebiasaan bercocok tanam yang menarik untuk diteliti. Selama perjalanan yang kurang lebih menempuh waktu 4 jam, saya menemukan banyak hal yang menarik mulai dari pemandangan yang indah, hingga sifat dari mahasiswa-mahasiswi sendiri, ada yang manja, ada yang pantang menyerah, hingga ada yang mudah putus asa.
Ditengah-tengah perjalanan saya dikejutkan dengan suara gemuruh mirip helikopter atau kendaraan mobil dengan kenalpot besar, ketika saya melihat keatas bukit tidak ada apa-apa selain sebuah kincir angin dengan ekor dibelakang kincir tersebut, saya tertarik ternyata bunyi gemuruh tersebut berasal dari kincir tersebut, saya bertanya kepada orang Baduy dalam yang bersama rombongan kami, apa fungsi dari kincir angina tersebut, beliau menjawabnya dan hanya berkata bahwa kincir tersebut hanya untuk hiburan maysrakat dan anak-anak suku baduy saja. Dalam hati saya berpendapat bahwa “oh ternyata memang suku ini masih sangat pedalaman, hingga mainan anak-anaknyapun hanya seperti itu, dan mereka sudah menyebutnya sebagai hiburan”.
Ketika kami melampaui tanjakan yang paling tinggi dengan kemiringan kurang lebih 75˚ saya bertanya kepada bapak suku Baduy, “pak apakah masih lama?” dan beliau menjawab “tinggal sebentar lagi sampai kok”, dalam hati saya sangat senang karena saya sudah cape apalagi saya membawa 3 tas, karena saya membantu teman-teman perempuan yang tidak kuat membawa tasnya, tetapi karena hujan turun dengan lebat, kami memutuskan untuk berhenti sejenak melepas lelah serta menunggu hujan agak reda, kami beristirahat disebuah rumah, kami juga diberi timun dari baduy, rasanya seperti timun pada umumnya namun bedanya jika kita memakan bijinya maka rasanya akan asam, kami makan itu disertai dengan gula aren. Ketika hujan tak kunjung reda, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan memakai jas hujan yang saya bawa, saya melanjutkan perjalanan, namun alangkah kagetnya saya, karena setelah berjalan kurang lebih 30 menit, kami belum juga sampai di suku Baduy dalam tersebut, kaki saya sudah kram karena terus-terusan berjalan dengan beban berat dan ditambah dinginya air hujan yang membasahi kaki.
Hari semakin gelap, hingga akhirnya kami sampai di sebuah jembatan yang menuju ke sebuah desa kecil, perasaan haru, bercampur keringat, serta dinginya air hujan menjadi satu, kami sampai di sebuah desa di Baduy dalam bernama desa Cibeo, lalu kami menuju rumah tempat kami bermalam, perempuan dengan perempuan dan laki-laki dengan laki-laki, setelah itu saya dan beberapa teman laki-laki menuju kesebuah pancuran dimana kami akan mandi disitu, kami mandi bersama-sama, sebuah pengalaman baru, mandi ditempat terbuka, dengan hanya berbalut kain kecil, hehe..
Setelah selesai mandi, kami kembali kerumah dimana kami bermalam, saya mencoba bertanya-tanya tentang suku baduy dalam ini kepada seorang ibu bernama mira (20) tahun istri dari bapak juli (38), mereka mempunyai seorang anak perempuan bernama jamah (3). Mereka sudah menikah selama 7 tahun, hal itu berarti teh mira menikah sejak umur 13 tahun, disana anak-anak tidak boleh pacaran, jadi pernikahan dilakukan dengan sistem penjodohan. Disanapun menikah menggunakan adat dan tidak ada catatan sipil, orang baduy dalam harus menikah dengan orang baduy dalam sendiri.
Saya mengawali bertanya tentang apa saja yang biasanya dilakukan ibu mira ketika dirumah, dia menjawab biasanya kalau dirumah itu ya dikebun, mengurusi tanaman, setelah itu masak dirumah, ibu mira biasanya menanam padi dan buah-buahan, seperti pisang dan durian. Dalam mengelola tanah, suku baduy dalam menggunakan sistem gantian dalam pengolahan tanah, jadi tidak ada kepemilikan tanah, disana tanah diolah oleh setiap orang secara bergantian. Disana setiap akan panen ada upacara khusus terlebih dahulu, mereka bertanipun menggunakan pupuk organik buatan masyarakat baduy sendiri. Saya penasaran dengan adat dan kebiasaan suku Baduy, karena dalam banyak referensi yang saya baca, suku ini masih sangat asli, tidak mau mengikuti perkembangan yang ada. Oleh karena itu saya penasaran dan bertanya, jika di dalalm suku Baduy dalam, alat transaksi ekonominya seperti apa, apakah barter atau bagaimana? Saya terkejut dengan jawaban ibu mira, karena dia berkata bahwa di Baduy dalam menggunakan mata uang rupiah sama seperti kebanyakan orang Indonesia, (dalam hati saya berpendapat, wah kalo kaya  gini berarti bukan suku pedalaman lagi), kemudian saya melanjutkan pertanyaan saya, oh berarti hasil dari kebun seperti pisang, durian, dan padi dijual di Ciboleger bu? Dia menjawab, iya mas pisang sama durian dijual disana, kalau padi hanya untuk makan sendiri, jadi kami simpan di lumbung, karena penasaran saya melanjutkan pertanyaan, bu lalu uang yang ibu dapat digunakan untuk apa? Beliau menjawab bahwa uangnya digunakan untuk membeli peralatan dapur seperti wajan, dandang, termasuk juga membeli bahan kain pakaian yang mereka gunakan. (dalam hati lagi-lagi saya bertanya-tanya, berarti selama ini mereka juga sudah mengikuti perkembangan zaman dong, berarti mereka tidak menutup diri dari kemajuan teknologi dong, wah berarti selama ini banyak informasi salah kaprah yang beredar di media massa), ketika saya bertanya-tanya kepada bu mira, ada hal menarik yang saya dapati disitu, yaitu ketika jamah (3) menggunakan dan bermain bedak bayi yang banyak digunakan anak-anak seumuranya (bedaknya sih kaya bedak Cussons Babby gitu, bahkan persis seperti itu) dia memakai bedak tersebut lalu dioleskannya ketubuhnya, (lagi-lagi, kali ini dugaanku semakin menguat, bahwa sebenarnya masyarakat Baduy dalam sendiri sudah mengalami perubahan yang drastis, buktinya mereka sudah menggunakan banyak produk-produk dari kemajuan zaman, wah kalo kaya gini mah namanya mereka gak menutup diri dari kemajuan zaman).
Ketika saya melihat sekeliling ruangan saya terkejut lagi ketika melihat bahwa ada lilin disitu (lagi-lagi dan lagi, dalam hati saya berpendapat, “menutup diri dari kemajuan teknologi? Lha itu lilin apa bukan produk dari kemajuan?” saya kembali mempertanyakan kedalam diri saya, apakah benar baduy adalah suku pedalaman yang benar-benar tidak mau menerima kemajuan zaman? Saya rasa ITU TIDAK, banyak hal sepele yang saya rasa mereka sudah menggunakan kemajuan zaman tersebut).
Saya melanjutkan pertanyaan kembali, saya bertanya kemana aa juli kok tidak ada dirumah, beliau menjawab, aa lagi pergi ke Jakarta untuk menjual madu, biasanya kalo pergi ke Jakarta gitu 15 harian baru pulang, karena perjalanan dari Baduy dalam ke Jakarta saja memakan waktu 3 hari jalan kaki, di suku Baduy, ada larangan bagi orang Baduy dalam menggunakan kendaraan atau transportasi, jika ada yang ketahuan naik kendaraan maka ia akan dikeluarkan dari suku Baduy dalam.
Desa Cibeo di Baduy dalam belum ada listrik, penerangan disana menggunakan dian/ sentir (alat penerangan yang terbuat dari bekas kaleng yang diberi sumbu, dan untuk bahan bakarnya menggunakan minyak sayur. Tetapi ada keanehan lagi, ketika saya Tanya ternyata dian tersebut bukan buatan sendiri, tetapi membeli dari Ciboleger (wah… lagi-lagi ini namanya bukan tertutup dan menolak kemajuan teknologi, orang penerangan yang sederhana aja beli). Hal yang menarik lainya adalah ketika saya bertanya apakah didesa Cibeo baduy dalam tersebut ada warung atau yang jual sesuatu, dan teh Mira menjawab ada yang berjualan disana, yaitu masyarakat baduy dalam sendiri, saya tertarik dengan itu, dan apa saja yang dijual disana, tetapi karena keterbatasan waktu dan kesalahan saya tidak menyempatkan diri untuk melihat warung tersebut, tetapi saya menduga banyak barang-barang hasil kemajuan teknologi dan kemajuan zaman yang dijual disana, asumsi saya ini didasari karena berbagai hal yang saya lihat dan saya temukan di rumah teh Mira tadi.
Saya kembali bertanya karena saya penasaran dengan suku tersebut, saya bertanya bagaimana jika ada anggota suku Baduy yang meninggal dunia, teh Mira mengatakan jasadnya akan dibungkus dengan kain yang dinamakan kain kodar, dan setelah itu jasadnya dikubur di ladang tempat bercocok tanam, dan setelah 7 hari ladang atau kebun tersebut boleh diolah lagi dan ditanami kembali. Satu hal yang menarik saya dapati, bahwa disana anak-anak kecil tidak bersekolah formal, mereka hanya belajar dari ibunya, baik itu belajar berhitung dan berbicara.
Pertanyaan saya lanjutkan kembali, saya bertanya tentang pakaian, baju itu dinamakan “jamang”, celana dinamakan “samping”, dan ikat kepala dinamakan “telekung”, yang menjadi ciri khas dari orang baduy dalam adalah telekung, atau ikat kepala berwarna putih, dimanapun mereka berada pasti menggunakan telekung tersebut. Agama yang dianut masyarakat baduy dalam adalah sunda wiwitan, nabi yang dianut adalah nabi Adam, bulan kasa, kawalu, dan katiga itu adalah bulan khusus bagi agama sunda wiwitan hal tersebut dijelaskan oleh bapak Pulung (40)th kakak dari aa’ juli. Di masyarakat baduy dalam ada 3 bulan yang mereka dilarang untuk dikunjungi, yaitu bulan kasa, karo, dan katiga, selama tiga bulan tersebut, tidak ada yang boleh masuk ke baduy dalam. Di masyarakat baduy dalam ada dukun beranak (peraji) yang membantu proses persalinan, ada dua di kampung ini.
Masyarakat baduy dalam terkenal sebagai masyarakat pengrajin gelang, cincin, tas dan lain-lain yang terbuat dari bahan-bahan sederhana dari alam, jika bahan seperti kain tenun, itu sudah dihasilkan oleh masyarakat baduy luar. Hal yang menarik adalah ketika saya bertanya-tanya kemudian pak Pulung menawari saya sebuah tas yang berasal dari bahan-bahan seperti kulit kayu, yang membuat saya kaget adalah harga yang ditetapkan beliau, yaitu 120 ribu rupiah, (pikir saya dalam hati, wah tas beginian mahal ya, padahal Cuma kecil bentuknya, dan gak terlalu menarik, dan yang paling saya pikirkan adalah kenapa bapak ini sudah berorientasi pada uang, padahal harusnya jika suku pedalaman orientasinya bukan uang, ini menjadi menarik dan mendukung argument saya diatas bahwa suku Baduy dalam sudah terkena perubahan sosial yang sangat drastis, dan mereka sudah mulai berorientasi pada uang, seperti masyarakat kapitalis).
Saya mencoba sedikit menelaah apakah masyarakat disana juga ada stratifikasi sosialnya, ya tentunya selain ketua adat atau “PUUN” yang dihormati, saya menyimpulkan melalui wawancara saya, bahwa disana memang ada stratifikasi tersendiri hal ini saya simpulkan karena mereka menganggap ada orang kaya dan tidak, mereka yang kaya apabila hasil panennya banyak, pohon pisangnya banyak, pohon durianya banyak, dan lumbung padinya banyak, ini merupakan sebuah stratifikasi yang ada disana. Yang lebih menarik adalah ketika saya mendengar cerita teman, bahwa sepertinya mereka bangga jika memiliki anak banyak, hal ini terlihat dari gaya Bahasa dan cara orang-orang disana menyampaikannya, missal ketika ditanya anaknya berapa? “jawaban tegas, dan percaya diri jika anaknya banyak”, tetapi jika anaknya hanya sedikit mereka menjawab dengan nada yang “kurang percaya diri, dan pelan”, saya menilai bahwa ini juga  termasuk stratifikasi, dimana ketika mereka memiliki anak banyak berarti mereka berhasil membuat jumlah anggota suku Baduy dalam bertambah pesat. Kebanggaan tersendiri juga terlihat apabila sseorang orang tua, bisa menjodohkan anaknya dan berhasil atas penjodohan tersebut, maka mereka akan merasa bangga dan merasa berhasil dengan hal itu, tetapi jika ada anaknya yang keluar atau menikah dengan orang diluar Baduy dalam, maka orang tua tersebut merasa malu karena gagal mempertahankan dan mengajari anaknya. Hal itu berarti bisa dijadikan sebuah stratifikasi yang ada disana, karena ada sesuatu nilai yang dihargai dalam masyarakat.
Hal yang paling menarik dari suku Baduy yang saya dapatkan adalah ketika saya bertanya kepada anak-anak kecil yang ada di suku tersebut, saya bertanya apakah mereka sering main ke Ciboleger? Mereka menjawab sering, dan ketika saya Tanya kembali, kalau main ke Ciboleger ngapain aja? Mereka menjawab ya main mas, kadang cari hiburan gitu. Lalu ketika saya Tanya apakah mereka pernah masuk atau membeli di Alfamart yang ada di terminal Ciboleger, mereka menjawab sering mas, biasanya beli minuman bersoda seperti itu. (Jawaban mereka membuat saya kaget, dan menguatkan asumsi saya bahwa sebenarnya suku Baduy dalam sendiri tidak menolak kemajuan Teknologi dan kemajuan zaman yang ditawarkan, banyak bukti yang ditemukan yang menguatkan bahwa mereka juga ikut menikmati kemajuan tersebut). Hanya saja di Baduy dalam memang tidak ada listrik, karena memang masyarakatnya menolak karena tidak sesuai dengan adat.
Melihat berbagai hal diatas saya menyimpulkan dari pengalaman saya disana, dari apa yang saya temukan disana dengan apa yang sering saya baca di literature-literatur banyak yang bertentangan, entah karena perubahan sosial yang sudah mulai terjadi di suku baduy atau karena hal lain, saya melihat bahwa sebenarnya masyarakat baduy tidak menolak kemajuan teknologi dan kemajuan industri yang ada terbukti mereka menggunakan bedak, uang, lilin, makanan-makanan hasil industri, minuman-minuman bersoda, bahkan untuk penerangan yang sederhanapun mereka membelinya, dan mereka juga banyak yang berorientasi pada uang, hal ini sudah melepaskan ciri bahwa mereka adalah suku pedalaman yang menolak kemajuan zaman dan kemajuan industri serta teknologi. Saya melihat bahwa sebenarnya ada keinginan dari mereka untuk menggunakan kemajuan industri tersebut, hanya mungkin karena akses menuju baduy dalam yang sangat jauh, dan harus berjalan kaki naik turun bukit, itu yang membuat desa mereka terisolir sehingga perubahan sosial sangat lambat terjadi, tapi saya percaya bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi suku baduy akan benar-benar mengalami perubahan yang sangat pesat, terbukti dengan mulainya mereka menggunakan barang-barang hasil kemajuan industri tersebut. Oh ya, saya juga menilai ada beberapa oknum yang mengemas suku baduy sebagai obyek wisata yang katanya masih pedalaman dan tidak mau menerima kemajuan, saya rasa banyak informasi sengaja dibuat agar banyak wisatawan yang tertarik untuk masuk dan berkunjung kesana.
Mengenai tata tertib larangan atau peraturan yang ada disana saya sangat ragu akan kebenaran larangan tersebut, jika memang itu larangan yang harus dipenuhi, mengapa tidak ada pengecekan secara adat atau secara tegas mengenai hal-hal yang dilarang untuk dibawa kesana, (itu juga menjadi tanda Tanya besar dalam hati saya) karena saya melihat banyak teman-teman yang membawa dan menghidupkan ponselnya ketika di baduy dalam, dan nyatanya tidak terjadi apa-apa. Saya rasa larangan tersebut bisa jadi juga dibuat agar terasa bahwa suku tersebut masih asli, dan pedalam, padahal ??????
Rabu 26 November 2014, setelah kami sampai di terminal Ciboleger, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Lapas wanita Tanggerang, kami berangkat pukul 11:00, dan baru sampai di lapas pukul 16:15, kami diterima dengan baik oleh pihak lapas, meskipun kami mundur dari rencana awal jam 13:00, dikarenakan berbagai kendala dalam perjalanan. Kami disambut dengan penampilan dari warga binaan lapas, yaitu dengan penampilan hadroh dan band yang sangat menarik, kami antusias sekali dengan pertunjukan yang ditampilkan, tak lama kemudian, kami diberi waktu untuk wawancara sekitar 15 menit, waktu yang sangat singkat, tapi dari 15 belas menit tersebut banyak hal yang saya dapatkan, yah.. meskipun saya juga meragukan beberapa keterangan dari warga binaan lapas.
Wawancara dimulai, narasumber pun memperkenalkan dirinya, ada dua narasumber, yang pertama namanya Rosalimah, lahir di Jakarta, ayah dari Sumatra barat dan ibu dari jawa barat, dipenjara karena kasus narkoba, dan Susanti dengan kasus yang sama yaitu narkoba. Kami mengawali pertanyaan dengan bagaimana kronologis mba rosalimah bisa masuk ke lapas ini, dia mengaku bahwa 3 tahun terakhir semenjak ayah dan suaminya meninggal, ayahnya meninggal terlebih dahulu kemudian 3 bulan setelah itu suaminya meninggal dunia, membuat dia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya khususnya anak-anaknya, dan kebetulan dia mempunyai teman dan menawarinya pekerjaan jual beli narkotika. Dia menuturkan bahwa hanya dengan kerja 8 jam gaji lebih dari cukup untuk makan dan segala keperluan keluarga, kerja dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam, dengan gaji 800.000, dan itu hanya gaji pokok, terkadang ketika ada pembeli, atau teman yang beli, mba rosalimah mendapatkan pemberian uang, rokok dll, kadang dalam sehari dia bisa membawa uang paling kecil satu juta, dan  paling banyak 1,5 juta dalam sehari. Dia mengaku hanya melayani pembelian ditempat dalam arti dia tidak mau mengantar barang haram tersebut.  Nama tempat bekerjanya yaitu terkenal dengan sebutan komplek ambon.
Menurut pengakuan mba Rosalimah, dia mengaku secara jujur bahwa ia menggunakan narkotika, hal itu ia ungkapkan dengan pernyataan “tidak mungkin juga kali ya saya jual barang gituan tapi gak make” tetapi dia mengaku bahwa hanya memakai sabhu-sabhu saja, yang lainya tidak. Dia mengaku harus bekerja seperti itu karena desakan ekonomi yang menghimpitnya, dia masih harus mengurusi 3 orang anak ditambah dengan ibunya mba Rosalimah, dengan biaya hidup dan sekolah anak di Jakarta sendiri sangat mahal, sehingga memaksa ia untuk berjualan barang tersebut.
Selama setahun belakangan ini mba rosalimah mengaku tidak berkomunikasi dengan orang rumah baik itu ibunya maupun anak-anaknya. Dia berkomitmen bahwa dia tidak mau sakit di lapas, sehingga dia tidak menghubungi keluarganya. Hukuman penjara yang diterima dia sebenarnya hanya 4 tahun penjara, dan itu merupakan hukuman yang menurutnya paling rendah disana, seharusnya dia sudah bisa bebas karena dia juga mendapatkan potongan hukuman (remisi), tetapi karena dia melanggar aturan dari pihak lapas dengan kedapatan membawa ponsel, maka hukumanya diperpanjang sesuai dengan aslinya.
Dia menuturkan bahwa dia beruntung bisa mendapatkan perlakuan baik ketika dalam penangkapan, berbeda dengan banyak teman-temanya yang menurutnya harus dipukul, disiksa dan lalin-lain untuk mengakui perbuatanya. Tetapi dia mengaku bahwa dia bisa ditangkap karena dia mengalami kecelakaan setelah memakai barang haram tersebut, sehingga dia mengalami kecelakaan, dank arena itulah polisi mendapati adanya barang haram tersebut di tas yang saat itu ia bawa. Dia menuturkan bahwa di dalam tas tersebut terdapat kotak kacamata yang berisi barang haram, tetapi dia merasa aneh, karena dia tidak memakai kacamata, jadi mana mungkin bisa ada kotak kacamata disitu, kemudian juga polisi menemukan permen happydent di dalam tasnya yang isinya juga bukan lagi permen tetapi barang haram. Dia merasa bahwa polisi merekayasa hal itu, dia juga menuturkan bahwa banyak kasus yang dialami orang ketika dia kecelakaan, dan tiba-tiba ada narkobanya, sehingga dijerat kasus narkoba (tetapi saya meragukan berbagai kesaksian  yang dituturkan oleh narasumber, karena tidak mungkin polisi bertindak bodoh, dengan merekayasa suatu kasus dengan cara seperti itu).
Dalam persidangan dia membela diri hingga akhirnya dia hanya dihukum 4 tahun penjara sedangkan tuntutanya adalah 6 tahun penjara. Kembali dia menegaskan bahwa yang memasukan barang haram tersebut kedalam tasnya adalah polisi, bahkan dalam keterangan, dia mengaku semua barang bukti dalam persidangan itu hilang, dan hanya tinggal sedikit barang bukti yang tersedia, dia juga mengaku bahwa ketika itu dia menyaksikan jam 2 malam ada oknum polisi yang memakai barang haram tersebut.
Kami melanjutkan pertanyaan dengan topik yang berbeda, dia mengaku bahwa selama disini (lapas) memberikan pelayanan yang baik, mereka dibina dan diajarkan untuk berkreatifitas sesuai dengan bakat dan minatnya hal ini terbukti dari ketika kami dating kami disambut dengan penampilan yang sangat istimewa dari para penghuni lapas, yaitu dengan hadroh, band, dan perkusi yang sangat menarik sekali.
Karena kami hanya memiliki waktu 15 menit untuk wawancara dan waktu tersebut habis maka kami  tidak bisa mendapatkan banyak data untuk dibahas, tetapi sebelum kami menyudahi, saya sempat bertanya kepada narasumber tentang bagaimana pola interaksi yang ada didalam lapas, dan mereka menjawab hubungan diantara penghuni lapas baik-baik saja bahkan boleh dibilang tidak ada masalah apapun baik itu yang tua maupun yang muda, yang lebih dulu masuk lapas, maupun yang baru.  Saya pribadi disini menemukan banyak hal yang sebenarnya menarik untuk dibahas, yaitu mengapa setelah kami berdiskusi dengan teman-teman, rata-rata jawaban dari kronologis mereka masuk dan dipenjara karena kasus narkoba itu sama, yaitu karena dijebak, atau direkayasa oleh kepolisian? Lalu juga saya pribadi menduga sebenarnya terjadi kesenjangan di dalam lapas, pasti ada pihak yang kuat dan yang lemah, yang dominan dan yang dikuasai, tetapi mereka menuturkan didalam hubungan antar napi sangat baik. Lagi-lagi itu hanya menjadi pertanyaan saya, dan belum  bisa mendapatkan jawaban karena terbatasnya waktu untuk kami bisa mendapatkan data yang maksimal.
Setelah selesai kami melanjutkan perjalanan menuju hotel, dan setelah makan malam kami melakukan wawancara degan pekerja seks komersial (PSK), saat itu saya medapat narasumber bernama Maya (23th) yang berasal dari Sukabumi, dia adalah seorang janda dia menikah pada usia 20 tahun, namun usia pernikahannya hanya berlangsung selama 2 bulan saja dan setelah itu kandas, dia sudah menjadi psk selama 8 bulan, dia menjadi psk dengan alasan ekonomi, dia menjadi tulang punggung bagi keluarganya di Sukabumi karena untuk biaya hidup keluarganya butuh pendapatan yang lebih banyak, sedangkan jika hanya bekerja di perusahaan dia hanya mendapat gaji yang boleh di bilang kecil, oleh karena itu dia menjadi psk.
Kepada para keluarganya di Sukabumi dia mengaku bekerja di sebuah perusahaan, jadi setau keluarganya disana dia bekerja sebagai karyawan, tarif yang diterapkan ketika dia melayani pelanggan adalah 300 sampai dengan 500 ribu untuk satu kali main (short time ) biasanya untuk short time waktunya paling lama 1 jam, tetapi ada juga yang hanya 10 menit, ada juga long time yaitu maksimal 3 jam dengan tarif minimal  900 ribu, tetapi jika dia disewa selama sehari semalam maka harganya menjadi 6 sampai dengan 7 jutaan. Harga itu merupakan patokan dari “mami” nya, harga itu dibagi 2 untuk dia dan untuk “mami”. Ketika menjalani pekerjaan ini, dia mengaku mendapatkan tekanan psikologis, dengan berbagai rasa bosan dan jenuh karena melakukan hubungan intim dengan orang yang tidak dia sukai, namun karna dia professional jadi mengabaikan semua rasa itu ketika berhubungan.
Pekerja seks komersial yang ada disana rentang umurnya rata-rata 17 th sampai dengan 25 tahun, ada yang masih bersekolah atau kuliah namun ada juga yang memang sudah tidak bersekolah dan tidak kuliah. Psk disanapun ada yang dikelola oleh “mami” tapi banyak juga yang tidak, dalam arti mereka berdiri sendiri, biasanya yang tanpa “mami” adalah yang masih kuliah maupun bersekolah. Perbedaan bagi para psk yang dikelola oleh “mami” maupun dengan yang tidak dikelola adalah, ketika psk tersebut tidak dikelola oleh mami, maka dia akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi, karena hasil pendapatanya tidak dibagi dua, sedangkan ketika psk tersebut dikelola oleh “mami” hasil pendapatanya sedikit karena harus dibagi dua dengan “maminya” tetapi kelebihan dari yang dikelola oleh mami adalah, mereka mendapatkan banyak fasilitas, Antara lain ketika melakukan hubungan intim mereka selalu diberikan alat kontrasepsi untuk mencegah penularan penyakit berbahaya, obat stamina (kaarena tak jarang dalam satu malam melayani lebih dari 10 pelanggan), nyuci baju dan masak juga disediakan oleh “mami”, selain itu mereka juga mendapatkan pemeriksaan rutin setiap dua minggu sekali, hal ini dimaksudkan agar mereka selalu dalam kondisi “bersih”. Selain itu juga mereka mendapatkan tempat tinggal (mess) oleh “maminya”, dan yang tak kalah penting adalah “mami” selalu menjaga dan mengawasi para psk yang dikelolanya, bahkan setiap kali setelah mereka “bermain” sang “mami” memerintahkan petugas kebersihan hotel untuk memeriksa apakah ada bekas alat kontrasepsi yang terpakai atau tidak, hal ini guna memastikan anak asuhnya aman, tutur mb Maya. Dalam hal ini berarti sang “mami” sudah sangat dikenal di kalangan pegawai banyak hotel ataupun villa yang ada dikawasan sekitar puncak, dalam arti kerjasama diantara mereka juga sudah terjalin lama, berarti sang mami memiliki modal sosial yang bagus.
Dalam semalam bekerja mba Maya minimal mendapatkan 3 pelanggan dan pernah sampai 17 pelanggan dalam satu malam, jam bekerjanya dari jam 21:00 sd 04:00. Terkadang tak jarang banyak pelanggan yang ditolak olehnya, melihat dari fisiknya, dia menilai orang tersebut kasar atau tidak dan lain-lain. Yang menarik adalah bagaimana solidaritas sesama PSK yang kuat, hal ini terbukti dengan tolong menolong yang ada diantara mereka, misalnya ketika ada pelanggan yang sudah terlanjur diterima, namun ketika melihat “barang” dari pelangganya ada indikasi terkena penyakit atau kotor, maka sesegera mungkin dia berusaha menolak dengan halus, dengan cara meminta kepada temanya agar menelponya dengan alasan aka nada razia maupun menggunakan alasan ada keluarganya yang sakit dan harus segera kesana. Dalam melayani pelangganpun banyak pengalaman yang diterima oleh mba maya, diantara lain pernah diajak main “kasar”, pernah diajak main bertiga “threesome” (tetapi untuk permainan ini menggunakan tariff yang berbeda yaitu satu orangya membayar 700 ribu rupiah), ada juga yang sudah melakukan namun tidak mau membayar. Biasanya mba maya dengan pelangganya melakukan ini di daerah Mega Mendung, kebanyakan dari pelangganya adalah anak-anak SMA dari kota Jakarta yang memang sering dating ke puncak untuk main dan sengaja untuk “main” yang lainya.
Mba Maya memiliki pelanggan khusus baik dari kalangan pejabat maupun dari kalangan biasa, tak jarang ada orang kaya yang ketika “main” justru membawa istrinya untuk melihat mereka melakukan hubungan badan (terlihat gila) namun ini memang tak jarang dilakukan dengan berbagai alasan, mungkin istrinya tidak mau melayani atau tidak bisa melayani sehingga harus bersikap seperti itu, dan ketika ada kejadian seperti ini mba Maya mengaku agak canggung, tetapi karena profesionalitas sehingga dia biasa saja ketika melakukan itu.
Daerah Puncak taka sing lagi bahkan terkenal dengan kegiatan “seperti itu” sehingga tak jarang sering dilakukan razia oleh petugas keamanan, tetapi  mba Maya menuturkan hal ini tidak menjadikan masalah, karena s”maminya” sudah kongkalikong atau sudah bersekongkol dengan petugas, sehingga bisa dipastikan aman. Di daerah puncak atau mega mendung, persaingan jarang terjadi tutur mba maya. Disinipu pelangganya musiman, jadi kalo tanggal muda banyak pelanggan, tetapi kalo tanggal tua ya seepi pelanggan seperti itu.
Sebenarnya pernah ada upaya dari pemerintah untuk memberantas kegiatan ini, yaitu upaya dari PEMDA yang pernah dating untuk mendata dan rencananya akan diberikan modal usaha agar para PSK bisa berhenti total  dari kegiatan seperti ini, namun realisasinya sampai sekarangpun belum ada, tutur mba Maya.
Saya pribadi sangat tertarik dengan penuturan mba maya, apalagi ketika ditanya konflik yang ada disana, saya meragukan tidak adanya konflik, apalagi mereka dikumpulkan dalam satu mess, dan itu menurut saya rawan konflik, karena mereka dalam mencari pelanggan itu sistimya ada pelanggan yang meminta untuk dicarikan psk kepada calo, lalu calo itu membawa pelanggan tersebut ke “mami” dan lalu mami mengantarkan pelangganya tersebut ke mess untuk memilih sendiri PSK yang ada. (saya melihat pasti ada keirian ketika teman mereka banyak yang dimnati pelanggan, sedangkan mereka tidak, disitu pasti sangat rawan terjadi konflik), untuk sekedar informasi bahwa biasanya satu orang “mami” mempunyai lebih dari 10 orang anak asuh.
Hari terakhir kami melakukan kuliah kerja lapangan, kami menuju ke balai besar rehabilitasi badan narkotika nasional, kami diterima disana sekitar pukul 13:00,  kami disambut oleh beberapa pegawai yang ada disana, kami juga diberikan brosur tentang balai besar rehabilitasi BNN. Tak lama kemudian acara dimulai, ada beberapa beberapa orang yang mempresentasikan tentang balai besar rehabilitasi, mulai dari visi misi, pelayanan, jenis rehabilitasi yang ada, sarana dan pengembangan rehabilitasi, dan berbagai fasilitas lainya. Hal yang sangat menarik buat saya adalah berbagai fasilitas yang ada dan yang mendukung balai besar rehabilitasi Lido ini boleh dibilang sangat lengkap.

Ketika pecandu yang sedang menjalani rehabilitasi mulai menjelaskan tentang awal perjalanan dan kisah hidupnya dan mengapa kini akhirnya dia berada di pusat rehabilitasi lido, dari kedua pecandu yang memberikan kesaksianya kepada kami, saya merasa aneh, karena sepertinya mereka sudah diatur untuk berkata apa, sehingga saya menemukan bahwa disetiap penutup penuturanya, mereka selalu mengucapkan “banyak terimakasih” kepada balai besar rehabilitasi BNN, hal ini menunjukan seperti adanya sebuah penghargaan, atau membentuk sebuah citra positif dan yang baik bagi balai besar rehabilitasi, timbul pertanyaan mengapa demikian? Dan say pun bertanya mengapa kita tidak melakukan wawancara seperti di baduy, lp wanita, dan psk, mengapa kita di balai besar rehabilitasi badan narkotika nasional seperti presentasi, dan Tanya jawab biasa, kami tidak bisa mendapatkan banyak data yang menarik untuk kami kaji secara mendalam jika situasi dan suasana yang dibentuk seperti itu. 

0 Response to "KULIAH KERJA LAPANGANKU YANG PENUH TANDA TANYA? (Masyarakat Baduy, LP Wanita Tangerang, & BNN, Bogor)"

Post a Comment

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaan)

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaa...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel